Lusi Hanasari
Anggota Komunitas COMPETER
Angin berdesir lembut. Daun-daun berwarna kuning berguguran. Di bawah sebuah pohon di salah satu sudut taman, aku melihat seorang wanita duduk bergeming. Matanya hampa tanpa semburat cahaya. Entah apa yang meracau dalam hatinya, ia hanya menatap lurus ke depan. Bibirnya pucat. Perlahan matanya mengeluarkan butiran air mata dan pipinya mulai basah.
Ia seorang diri melahap sepi di sekeliling. Tidak ada seorang pun yang menghiburnya. Wanita setengah senja yang bermandikan luka-luka. Hatinya tersayat luka dimana butuh waktu lama untuk sembuh. Angin menggerakkan rambutnya perlahan, memberinya sedikit kesejukan. Aku menghampirinya, menatapnya lekat-lekat. Ia tak menyadari kehadiranku hingga kuberanikan diri duduk di sampingnya. Sampai akhirnya wanita itu menoleh kepadaku.
“Maaf, boleh saya duduk di sini? Tapi jika kehadiran saya mengganggu Ibu, saya akan pergi.” tanyaku. Wanita itu tetap terdiam. Sepertinya lebih baik aku pergi, pikirku. Namun, wanita tersebut menarik tanganku saat hendak beranjak dari duduk.
“Jangan pergi,” lirihnya.
Aku mengangguk. “Baik, Bu. Saya akan menemani Ibu di sini.”
Kami duduk bersama. Ia tetap terdiam tanpa suara. Saat menatap matanya, entah mengapa aku merasa sungguh mengerti betapa besar kesedihannya. Kesedihan wanita itu kembali tak terbendung. Butiran air yang menjajah kelopak matanya turun semakin deras. Bersamaan dengan itu, ia mulai melontarkan sebuah cerita. Aku menyiapkan diri untuk menyimak.
“Saat itu aku dan suamiku hendak menjemput si kembar di asrama sekolah. Kami ingin mengajak mereka liburan bersama setelah waktu ujian selesai. Kami sangat merindukan mereka. Sepanjang perjalanan, aku menghubungi si kembar. Memastikan mereka sudah siap saat kami tiba.” Wanita tersebut mengambil nafas panjang.
“Mereka sangat senang. Ini memang pertama kali kami mengajak mereka berlibur bersama ke tempat yang cukup jauh. Ramai sekali mereka saat berceloteh di telepon. Antusiasnya membuatku sangat bahagia. Tak lupa, seperti biasa, mereka memintaku membawa buket bunga kesayangannya.” Sekejap ia membisu. Lalu beberapa saat kemudian wanita itu melanjutkan ceritanya “Akhirnya kami tiba di asrama. Mereka masuk ke dalam mobil dan aku memeluk keduanya dengan sangat erat.”
“Perjalanan kami kali ini sangat panjang. Mereka tertidur lelap sambil memeluk bunga kesayangannya. Di tengah perjalanan, aku meminta suamiku untuk berhenti sejenak agar ia bisa beristirahat. Tetapi ia tidak mau membuang-buang waktu karena ingin cepat sampai tujuan. Tanpa lelah ia menyetir sepanjang hari. Rasa kantuk mulai menyelimutiku dan aku tak sanggup menahannya. Akhirnya aku tertidur pulas.”
Sesekali ia memandangi setangkai bunga ditangannya. Bunga berwarna putih berukuran kecil serta daunnya yang bulat berwarna hijau. Lalu aku mencoba bertanya bunga apakah yang sedang genggam.
“Ini adalah bunga kesukaan si kembar, Nubi dan Naura. Mereka sering memintaku membawakan bunga ini saat pergi menjenguk. Mereka rajin sekali merawatnya. Mereka berharap bunga tersebut tumbuh cantik dan tidak mudah layu, sehingga bisa membawa kebahagiaan bagi siapapun yang melihatnya. Mereka menamainya dengan bunga kebahagiaan.”
“Tetapi yang ada sekarang bunga ini hanyalah pembawa kesedihan.“ suara wanita itu bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.
Aku reflek bertanya, “Bagaimana bisa bunga cantik ini membawakanmu kesedihan? Dan di mana Nubi serta Naura sekarang?”
“Semua keluargaku telah tiada. Kami mengalami kecelakaan saat liburan yang aku ceritakan tadi. Di sini aku hanya sendiri meratapi nasib. Aku belum tenang karena belum sempat melihat anak-anakku dan suamiku untuk terakhir kalinya. Sekarang hanya bunga ini yang tersisa dengan secercah kenangan sekaligus kesedihan.” Isaknya semakin keras.
Tiba-tiba semerbak wangi bunga yang dibawa wanita tersebut tercium memasuki rongga hidungku. Menyengat sekali. Kutatap wanita di depanku lekat-lekat. Entah mengapa aku menemukan kejanggalan dalam perilakunya. Ia menangis dengan air muka yang datar dan wajahnya terlalu pucat. Aku berusaha menghiburnya tetapi ia tak lagi merespon. Tiba-tiba saja matanya menyorot tajam ke arahku dan mengatakan hal yang tak kuduga.
“Takdir yang membawamu kemari dan takdir pula yang membawaku dalam kepahitan hidup ini. Tidak ada yang tahu takdir apa yang menunggu setiap manusia. Dunia ini penuh misteri dan kita sama sekali tidak bisa menebak apa yang terjadi. Siapa pun yang datang suatu saat akan pergi. Siapa pun yang bertemu, pasti akan berpisah.”
Aku mencerna apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Kalimatnya betul-betul sarat akan makna. Tampaknya wanita ini begitu babak belur saat menjalani takdirnya. Namun dari situ pula ia belajar banyak hal tentang kehilangan. Sampai yang tersisa hanya bunga kesedihan dalam genggamannya.
Bunga itu kembali mengeluarkan wangi yang menyengat. Saat aku mencoba menyentuhnya, aku tersentak kaget. Tiba-tiba tubuhku terjatuh dari atas bangku taman. Sejenak mataku terpejam dan saat membuka mataku dan tak ada seorang pun di sekelilingku.
“Pergi ke mana ibu itu? Apakah ini mimpi? Kenapa terasa nyata sekali?” Aku gelisah sendiri. Kepalaku penuh pertanyaan.
Lalu aku teringat Irma. Sebelum aku berangkat pergi ke taman ini, ia sempat mewanti-wantiku untuk berhati-hati. Katanya, ada wanita penunggu bangku taman di sini. Arwahnya mencari teman untuk menemani kesepiannya. Ia kesepian karena seluruh keluarganya meninggal dalam sebuah kecelakaan maut. Jasad suami dan anak-anaknya sudah dikebumikan saat ia masih dalam kondisi kritis.
Akhir cerita, ia merasa hidupnya tidak lagi berarti. Tepat di bawah pohon ini ia gantung diri. Itulah mitos yang didapatnya dari warga sekitar. Mulanya aku tidak percaya dan tetap duduk di bangku ini sendirian. Aku ingin membuktikan kebenaran mitos tersebut.
Samar-samar aku mencium aroma wangi tetapi aku tidak tahu dari mana asalnya. Angin berdesir membelai rambutku perlahan dan tengkukku merasakan hawa hangat dan dingin secara bersamaan.
“Tunggu, sepertinya aku mengenal wangi ini,” gumamku dalam hati.
Aku melihat sekitar. Mataku mencuri arah ke sana kemari. Tak ada seorang pun di taman ini. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Aku baru saja teringat wangi yang kucium saat ini adalah wangi bunga yang digenggam wanita dalam mimpiku tadi. Tanpa pikir panjang, secepat kilat aku berlari menjauhi bangku taman tersebut.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
2 Comments
ayu
buat lebih banyak dongeng versi jawa kak
Учетная запись в binance
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.