Waktu dan Jarak, Kalian Jahat!

PUCUKMERA – Masihlah ingat waktu itu di hari Minggu, 6 Agustus 2017 kami harus pulang dan meninggalkan Sepunggur. Pagi itu koper-koper kami sudah diangkut oleh Viar menuju dermaga RT 32, sedangkan pemiliknya masih tersangkut di kediaman Mbah RT 31 karena sungkan untuk tidak mencicipi hidangan yang telah beliau dan istri persiapkan untuk kami.

Aku dan Sulis berjalan beriringan menyusuri 4 kilometer jalan yang biasa kami lewati. Sempat kulihat si Ari yang berjalan dengan kaki pincangnya akibat terperosok jembatan rusak beberapa hari yang lalu. ‘Begini toh’ rasanya bila harus pisah dengan mereka ketika sudah nyaman-nyamannya. Mereka warga yang selalu menegur sapa ketika kami melakukan perjalanan, mereka para ibu-ibu PKK yang mungkin jenuh mendengar penyuluhan kesehatan yang kami lakukan, mereka anak-anak Sepunggur yang hampir tiap hari main ke pondokan. Mengingat hal yang kiranya tidak akan terjadi lagi itu membuat aku tertegun dan menangis. Ah, Rara cengeng sekali kau ni.

Teringat lagi, di pagi itu ada hal dimana ia membuat tangisan ku semakin menjadi, ia Nafisa, sang gadis cilik nan cantik berkata dengan polosnya “Kami libur kok mbak pulang sih,“ ya ampun rasanya rongga dadaku memanas, ditengah perjalanan berkilo-kilo pagi itu aku dibuatnya nangis sejadi-jadinya. Terlebih lagi ketika aku bertemu dengan bu Ali, kader di RT 32 yang sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Dari Bu Ali ini lah aku yang orangnya ngga suka basa-basi bisa ngobrol berdua berjam-jam lamanya, entah ngobrol apa sampai lupa karena saking banyaknya. Ku peluk bu Ali, di atas bahunya ku tumpahkan air mataku.

Sayangnya saat itu, mbak Wati salah satu kader kesehatan yang sudah seperti kakak sendiri tidak turut serta menemani kepergian kami. Mau ke kota katanya. Sempat sedih sih kenapa perginya ngga ditunda saja, kenapa perginya bertepatan saat kami pulang. Tapi prasangka itu berubah ketika kami tahu, bahwa mbak Wati pergi bukan tanpa alasan. Kata warga, mbak Wati selalu melakukan hal itu ketika para anak KKN pulang. Menghindari perasaan sedih yang berlebih katanya. Aaaa mbak Wati, aku kembali tertegun.

Akhirnya 2 Speedboat kami datang. Barang-barang berat telah kami naikkan. Satu persatu kami masuk kedalam kendaraan itu untuk diangkut kembali menuju Yogyakarta. Terlihat para warga melambaikan tangan diatas dermaga kayu nan kecil itu. Dermaga yang menjadi saksi kepergian kami. Dermaga kecil yang dipenuhi oleh banyaknya warga yang entah rela atau tak rela melepas kepergian kami, seperti halnya kami yang tak rela pergi. Aku tau bahwa perpisahan itu memang menyakitkan, tapi aku tak menyangka bahwa perpisahan itu bakal sesakit ini. Kalau seperti ini aku merasa jarak dan waktu seakan menjadi jahat sekali. Oh jarak, oh waktu, kalian tega sekali memisahkan kami. Itulah yang selalu menjalar di pikiran sejak kami melangkah keluar dari Sepunggur.

Setelah satu setengah jam kami berada diperairan, sampailah kami di pelabuhan Tanjung Selor. Di sana kami memutuskan untuk mampir kerumah Bupati Bulungan terlebih dahulu. Tau apa yang kami rasakan ketika memasuki rumah Bupati? Seperti orang ndesa. Ya wajarlah sekolahnya juga di Universitas yang katanya ndesa. Jadi menghayati gitu yaaa. Hahaha. Di sana pula kami beristirahat sejenak dan mengistirahatkan kaki Ari yang sedari tadi bengkak dan memerah. Ya walau terperosoknya sudah beberapa hari yang lalu, kaki Ari tidak menampakkan perkembangan yang baik. Bahkan sebaliknya, kedaan kakinya semakin parah setelah terperosok untuk yang kedua kalinya dikaki dan didaerah yang sama: di dermaga Sepunggur tadi pagi, Ariii… Ari… malang benar nasib mu, nak.

Tidak lama kemudian kami pun beranjak menuju rumah milik saudaranya Falah. Rumah yang kami singgahi sembari menunggu hari esok. Ya jadwal penerbangan kami dari Tarakan menuju Yogyakarta masih esok pagi. Sengaja kami berangkat sehari sebelumnya karena tidak mau mengambil risiko apabila tertinggal pesawat karena tidak adanya kendaraan yang berangkat ke Tarakan sepagi itu.

Singkat cerita kami sampai di Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Akhirnya aku merasakan kembali suasana kota pelajar ini. Sepertinya sudah lama sekali ku tak merasakan kenyamanan ini. Menikmati hiruk pikuk kota kecil ini. Setelah 2 bulan meninggalkannya, aku merasa asing, merasa siapa kami? Benarkah ini di Jogja? Kami merasa berbeda melihat mbak-mbak dan mas-mas mahasiswa setengah tua yang hitam kulitnya dan lusuh bajunya. Semua terasa asing. Tapi harus kembali ku yakini bahwa Jogja tetap seperti 2 bulan yang lalu, tetap istimewa dengan segala keramahannya.

Meskipun ada sedikit kekhawatiran yang muncul dalam benakku. Aku merasa takut, takut kehilangan semua yang selama ini aku rasakan. Keluarga. Teman-teman diskusi senjaku, teman minum air rasa asam kelogam-logamanku, teman piket masak dengan penerangan yang seadanya, teman berjalan kakiku, teman yang kadang peka dan kadang ngga, teman yang tahu kapan aku sedih dan bahagia, teman yang sering buat aku jengkel tapi bisa membuat aku bersikap dewasa, teman aku yang kadang bertingkah konyol tapi mereka hebat juga.

Tidak dapat dipungkiri menyelesaikan apa yang kami mulai ternyata membatasi intensitas pertemuan kami. Ngelab, Skripsi, Tugas Akhir, praktik lapangan dan sebagainya menjadi seribu satu alasan kami untuk tidak bertemu. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, bila ingin ketemu bebas kapan saja selama dua bulan lamanya, kini bertemu satu bulan sekali saja sudah Alhamdulillah. Sudahlah tak apa. Semangat dan selamat menyelesaikan apa yang telah dimulai untuk memulai hal yang baru kawanku, karena Indonesia tak sabar menunggumu.

Oleh : Arina Nursafrina Rahmatina
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Didin

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment