Habib Asha
Mahasiswa UM Ponorogo
Maksud saya begini, ketika dulu, saya lupa tepatnya, yang pasti saya masih belum mengenal kehidupan serunyam ini, pernah ditanya tentang akan jadi apa kelak ketika kamu besar. Bagi saya itu pertanyaan bagus. Namun kenapa, ada yang aneh saja.
Sungguh, seumpama pertanyaan itu diulang dan tepat dilayangkan kepada saya dewasa ini, tidak lain, saya akan mencoba mengalihkan pertanyaan dengan kembali bertanya; bolehkah untuk saat ini aku menjadi anak kecil kembali?
Terus terang, saya juga heran, mengapa kebanyakan dari kita pada waktu itu tidak terlalu berpikir panjang dan cepat saja bisa menjawab? Bahkan, teman di samping saya dulu pun, menjawab dengan tegas “Saya mau jadi presiden, Bu!” Ya, namanya juga anak-anak.
Saya yakin, teman saya pada saat itu mampu menjawab dengan cepat, tanpa banyak pertimbangan, tidak terlalu overthinking–begitu istilah kerennya, dan satu, visioner.
Atau barangkali, pikiran buruk saya hanya satu, teman saya tadi setiap hari ketika masuk ke dalam kelas dan duduk rapi di belakang meja, hanya satu pandangan yang dituju; foto presiden dalam bingkai pigura di atas papan tulis yang men-trigger dia, untuk berani menjawab seperti itu.
Lucunya, setiap kali itu teringat, yang saya lakukan tidak lebih dari sedikit menyesali dan bertanya, “Mengapa masa kanak-kanak berlalu begitu cepat?”Atau mungkin memang benar, bahwa kemudian apa yang kerap dikatakan: memori adalah segala sesuatu yang tidak bisa diulang, ia cukup diingat.
Namun, bagi saya, itulah wajah anak sesungguhnya. Begitu utuh, apa adanya, dengan segala hal yang tidak dibuat-buat.
Lain hal dengan kondisi saat ini. Ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan anak-anak. Entah benar atau salah anggapan saya ini.
Saya sendiri juga berpikir, lantas, ketika harus membandingkan kehidupan anak-anak zaman sekarang dengan keadaan yang pernah saya alami ketika menjadi anak-anak dulu adalah hal naif dan kurang ajar.
Maksud saya, misalnya, ketika dulu, saya bermain kelereng (walaupun banyak kalahnya) tidak dengan anak sekarang, ada pun, tak se-asyik dulu. Itu hanya semisal. Mungkin masih banyak lagi. Dan saya enggan untuk terlalu banyak memisalkan–yang ujung-ujungnya–saya banyak kalahnya, lagi.
Mungkin, dengan pemisalan seperti itu, tidak apple to apple. Kurang adil. Lha, zamannya saja sudah beda, kok–kalau orang awam bilang.
***
Barangkali saya perlu menyampaikan ini. Sebuah hal penting, ketimbang celoteh di atas.
Bahwa beberapa hari yang lalu, saya punya rekan sejawat, dia baik, selalu memberikan jawaban ketika saya tanya, walaupun tidak semua.
Kebetulan juga, dia sedang mengenyam pendidikan di jurusan yang sangat berkaitan erat dengan apa yang menjadi keresahan saya belakangan ini; anak-anak. Ini tidak main-main. Saya memberanikan diri untuk bertanya kepada sang ahli, begitu ceritanya.
Singkat cerita. Dia membenarkan apa yang menjadi anggapan saya di atas. Anak sekarang memang begini. Serba susah. Tapi setidaknya dia punya beberapa paham teori–di mana memang ada hal yang perlu menjadi perbaikan. Salah satu sebab fatal dari sekian sebab adalah pola asuh. Terlepas dari bagaimana anak itu sendiri.
Hal tersebut diperkuat dengan teori “Tabularasa.” Konsep yang dipopulerkan oleh John Locke mengenai bagaimana manusia dilahirkan dengan jiwa kosong, dan yang akan menjadikannya manusia adalah lingkungan dan kehidupannya. Ini perlu dicatat.
Ini menarik. Perbincangan itu berlangsung cukup lama, tapi tidak sampai larut. Saya juga tidak enak, terlalu mengganggu.
Selanjutnya, dia juga menyampaikan, kenapa banyak orang tua yang lebih nyaman dan tidak banyak rempong, tidak begitu direpotkan–begitu kurang lebih. Karena yang pasti anak jaman sekarang lebih memilih untuk duduk manis bermain dengan gawai berjam-jam ketimbang bermain di pekarangan rumah yang ujung-ujungnya menjadi kotor dan belepotan lumpur. Hal itu yang justru merepotkan bagi orang tua hari ini.
Dia juga menambahkan, malah, akan ada banyak hal yang didapatkan anak itu, ketika orang tua hari ini lebih membiarkan anaknya bermain lumpur, dan main kotor-kotoran ketimbang main aplikasi berbasis media sosial yang mana seharusnya hal itu bukan menjadi mainan seorang anak. Semisal, adanya stimulus fisik-motorik kepada anak tersebut ketika menyentuh tanah atau lumpur.
Saya melihat, fenomena seperti itu sudah bukan menjadi hal yang asing.
Apakah lantas semata-mata kita perlu menyalahkan keadaan? Sebagaimana semakin pesatnya perkembangan teknologi yang menggeser pola-peran-kehidupan anak-anak? Saya kira, ini bisa menjadi sebab. Tapi, tidak melulu itu.
Kalau benar begitu, pada saat saya kecil dulu, juga sudah banyak yang punya alat bermain serba canggih–sehingga menciptakan jarak antara anak orang yang mampu beli dengan anak orang tidak mampu beli. Sesederhana itu.
Hanya saja, bagi kami, anak-anak yang tidak bisa mengakses alat-alat bermain serba canggih itu juga tetap bisa merasakan kebahagiaan sederhana; ramai-ramai bermain kelereng, misalnya. Dengan begitu, kami sudah merasa bahagia. Entah kenapa, bahagia saja.
Bagi saya, bukan itu yang menjadi benang kusut. Kalau anak-anak jaman dulu asyik berkumpul dengan membawa toples kelereng, dan anak-anak zaman sekarang duduk manis dan nyaman dengan gawainya itu sah-sah saja, memang dunianya sudah berbeda.
Bahkan, mungkin, kalau hari ini masih ada anak-anak yang bermain kelereng dan begitu asing dengan perangkat teknologi canggih, apa mungkin bisa dibilang generasi ketinggalan jaman?
Namun, apa yang disampaikan teman saya tadi memang perlu untuk dipahami. Bagaimana kemudian menjadi autokritik. Dan, saya masih begitu percaya, bagaimanapun kondisinya, selama pola asuh dan pendampingan anak hari ini semakin diperbaiki, anak itu akan tetap menjadi anak, tanpa kehilangan wajah anaknya. []
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id