Utopia yang Lain

Julian Sadam


PUCUKMERA.ID — Jam tangan tua Pak Warno menunjukkan pukul sebelas siang. Dagangan yang dijualnya mulai sepi pembeli. Bapak-ibu dan muda-mudi apartemen biasa berbelanja di satu waktu yang bersamaan, yakni sekitar pukul delapan pagi. Mereka satu per satu telah pergi meninggalkan lapak Pak Warno setelah mengantongi beberapa kebutuhan sehari-hari yang mereka inginkan. Kini, hanya dua orang yang tersisa di lapak Pak Warno di waktu yang mulai terik itu, Paimo dan Udin.

Pak Warno adalah bakul mlijo di depan Apartemen Kertajaya. Dahulu kala, ibunya adalah seorang militan semasa pendudukan Inggris di Surabaya. Nama Warno sendiri diambil ibunya atas dasar rasa muak akan perang dan agresi yang terus terjadi. Terutama suara tembakan yang tak henti menemaninya mengejan saat melahrikan Warno ke dunia saat itu. Ibu Pak Warno menggabungkan dua suku kata dalam bahasa Inggris menjadi satu sebutan nama bernuansa jawa; War dan No. Maka tersebutlah, Warno. Terdengar serasi dengan nama dua teman dekatnya saat ini; Paimo dan Udin.

Paimo dan Udin adalah dua penganggur profesional yang hidupnya ditopang oleh belas kasih keluarganya masing-masing. Kadang kala, mereka mengambil pekerjaan serabutan hanya untuk bersenang-senang. Paimo pernah mendapat pekerjaan memasang beberapa baliho partai politik di sepanjang ruas jalan-jalan saat memasuki musim pemilu. Keesokan harinya, baliho yang sudah terpasang itu ia rusak sendiri. Paimo melemparkan bom telur berisi cat akrilik yang ia beli dengan uang hasil memasang baliho kemarin. Paimo berfikir bahwa deretan janji yang tercetak di baliho yang telah ia pasang itu sepenuhnya adalah omong kosong belaka.

Sedangkan Udin, sering kali menjadi pengasuh anak bagi putra-putri kerabat-kerabatnya. Buruknya, kesempatan mengasuh anak ini digunakan Udin untuk shoplifting di pusat perbelanjaan. Anak-anak itu ia jadikan tameng untuk aksinya mengutil beberapa botol minuman berenergi, beberapa kaleng kornet daging dan bermacam-macam cemilan. Udin memasukkan ke dalam ransel mereka, jadi jika ketahuan petugas, ia tinggal berpura-pura tidak tahu atau sudah tentu ia akan menyalahkan anak kerabatnya demi mendapat pemakluman oleh petugas karena dianggap ulah iseng anak-anak saja

Belakangan ini Paimo dan Udin ingin berinvestasi di lapak mlijo Pak Warno. Udin memulainya lebih dulu pekan lalu dengan membelikan pak Warno kaos bertuliskan Indonesia Cannabis News and Movement yang kebetulan siang itu sedang dipakai oleh Pak Warno berjualan.

“Sedang liat apa sih, Pak?”

Udin memecah sunyi dengan menanyai Pak Warno yang sedari lapakannya sepi, memilih untuk sibuk menatap gawai pintarnya.

“Sidang MK, Mas. Masalah ganja.”

Siang itu lembaga Mahkamah Konstitusi  memang sedang diadakan sidang lanjutan uji material UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Akhirnya, Paimo dan Udin pun terbawa untuk ikut menonton jalannya sidang di ponsel pintar Pak Warno. Paimo di sebelah kanan Pak Warno dan Udin di sebelah kiri. Sedangkan layar gawai 8 inchi yang mereka gunakan untuk menonton kokoh bersandar pada kalkulator di atas kotak sterofoam ikan yang dibalik.

“Di Inggris, ganja ini telah dipindahkan ke kategori II. Artinya, ganja dapat digunakan sebagai obat, dengan bukti adanya keamanan dan efika…” belum selesai seorang saksi ahli asal Inggris menyampaikan keterangannya, paket internet Pak Warno tiba-tiba habis dan mereka tak bisa melanjutkan jalannya sidang itu.

“Halah, Pak! Nggak punya paketan kok maksa YouTube-an.” Paimo berkata dengan nada mengejek.

“Iya, nih. Padahal sedang seru. Yasudahlah, besok juga hasil sidangnya dibagikan.” jawab Pak Warmo.

“Iya dibagikan, tapi ngelihatnya juga tetap butuh paketan, Pak. Lagian sidang itu buang-buang waktu.  Semua orang juga tahu kalo negara lain di belahan dunia banyak yang sudah melegalkan ganja untuk keperluan medis, bahkan untuk rekreasi.” 

“Paling tidak petinggi-petinggi negara ini mulai membicarakannya.”

“Lah, emang dari dulu sibuk apa? Nangkepin orang-orang yang pakai ganja?” Paimo mencerca dengan skeptis.

“Kamu ini kenapa, sih? Bukannya senang ganja akan dilegalkan di Indonesia malah skeptis begitu.” sahut Pak Warno di samping Udin yang menyimak dengan bosan.

“Jika nanti beneran legal, polanya juga sudah terbaca, Pak.” tiba-tiba percakapan itu menjadi perdebatan ringan yang cukup seru.

“Emang apa harapan Bapak jika ganja bisa legal?” tanya Paimo pada Pak Warno.

“Kualitas hidup orang-orang bisa jadi lebih baik, Mas. Terutama anak-anak yang sakit dan membutuhkan obat yang berasal dari tanaman ganja.”

“Hmm, humanis sekali sampean, Pak. Kalo kamu,  Din?” pertanyaan yang sama dilempar ke Udin.

“Ya biar Pak Warno bisa jualan ganja di sini, lah. Nanti dijejerkan sama daun bayam dan daun kenikir itu.” mendengar jawaban Udin yang sembarangan, Paimo dan Pak Warno seketika tertawa.

“Masuk akal, Mas Udin. Biar rame terus lapakku ini, Mas.” cetus Pak Warno.

“Emang ada jaminan kalau ganja legal sampean bisa jual di sini?” Paimo meneruskan pertanyaan.

“Ya nggak sih, Mas. Tapi kan setidaknya anak-anak yang butuh obat dari ekstrak ganja itu bisa hidup lebih baik dan berkualitas.”

“Iya, dengan harga yang juga mahal.”

“Hah? Kok bisa?” Udin menyahut sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Tentu banyak kepentingan bisnis farmasi yang mengantri di balik legalisasi ganja. Ganja akan menjadi komoditas baru yang akan dieksploitasi demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.” 

“Ya gak apa-apa toh mas, saya juga jadi bisa jualan.” Pak Warno menjawab dengan santai

“Mungkin, tapi jelas dengan berbagai syarat yang akan mendiskreditkan orang-orang kecil seperti kita, Pak. Rakyat biasa yang bukan siapa-siapa. Tidak ada jaminan kalau ganja nanti dilegalkan, kita bisa sama-sama menikmatinya. Malah justru itu akan membuat peredaran gelap semakin masif dan kreatif merekayasa produk mereka seperti di negara-negara lain yang lebih dulu melegalkan ganja.”

Mendengar perkataan Paimo, Udin mantuk-mantuk seperti seorang yang sedang mendengarkan alunan musik hip-hop.

“Terus harapan sampean apa, Mas Paimo?”  Pak Warno sekarang yang melempar pertanyaan yang sama ke Paimo. Paimo sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Pak Warno akan membalikkan pertanyaannya.

Akhirnya Paimo menjawab, “Aku ingin bisa menikmati sore yang indah dengan menyirami tanaman ganja dalam pot di belakang rumahku sendiri sembari meminum kopi. Lalu bisa saling tukar benih dengan orang-orang lainnya yang juga menanam ganja.”

Pak Warno tergelak.

“Wah asik tuh, Mo. Aku juga mau, haha. Sayangnya itu terlalu utopis.” timpal Udin.

“Memang, tapi menaruh harapan regulasi yang sehat untuk legalisasi ganja pada otoritas yang sama yang melegitimasi pembakaran hutan dan menindas para petani adalah utopia yang lain.”

Udin terdiam, Pak Warno juga, sambil perlahan mencerna ucapan Paimo. Paimo melanjutkan dengan serius, “Mendukung legalisasi ganja dengan membeli kaos campaign sebuah komunitas atau dengan menonton persidangan Mahkamah Konstitusi itu omong kosong. Yang harus kita lakukan adalah menggugat total fundamentalisme pasar dan menempatkan ibu bumi kembali pada kedudukan yang semestinya.”

Pak Warno kemudian mengambil spidol merah di meja yang biasa ia gunakan untuk mencatat pesanan belanjaan, mencoret tulisan Indonesia di kaosnya.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
5Suka2Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment