Tubuh Perempuan dan Skala Kecantikan Budaya Populer


Nindia Syamsi A



“Perempuan ini cantik gak, Nin?”

“Lebih cantik mana, Nin, si A atau si B?”

Sering kali pertanyaan semacam itu terlontar kepada saya, dan sering kali pula saya merasa bingung untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut. Cantik merupakan sesuatu yang mempunyai tolak ukur relatif. Setiap orang punya definisi masing-masing tentang cantik dalam diri mereka. Meskipun sebenarnya saya mengerti maksud dari pertanyaan tersebut adalah cantik skala konvensional, yakni hal-hal yang dilekatkan pada tubuh perempuan dengan ciri-ciri berwajah ideal sesuai perhitungan golden ratio, berkulit putih, berambut lurus, atau bertubuh proporsional. Hanya, saya mungkin masih sulit menerima apabila standar kecantikan diukur melalui kriteria mulut tetangga, seolah-olah standar kecantikan sekarang adalah tentang mengubah apa pun yang Tuhan berikan ke tubuh kita yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Hingga jawaban saya atas pertanyaan di atas harus berakhir dengan pertanyaan kembali: Ini cantik standar siapa?

Dominasi standar kecantikan budaya tertentu, kecantikan konvensional misalnya, “cantik adalah berambut lurus”, “cantik adalah berkulit putih”, dan sebagainya, membuat perempuan-perempuan di luar kriteria tersebut mengalami bermacam pengalaman yang kurang menyenangkan, baik di dalam diri mereka sendiri maupun di lingkungan sosialnya. Mendadak masyarakat menilai bahwa semua perbedaan dalam tubuh yang membuat mereka jauh dari kriteria cantik adalah sesuatu yang harus disembuhkan. Perempuan secara tidak langsung ditekan untuk malu mengakui tubuhnya sendiri, malu dengan identitasnya. Hingga timbul perasaan merasa kecil, tidak bahagia dengan yang ia punya, dan tidak memiliki kendali atas tubuhnya sendiri.

Whelehan (2002) menjelaskan bahwa fenomena sosial yang kita jumpai saat ini adalah fenomena yang percaya bahwa tubuh yang memiliki ciri-ciri yang dianggap sempurna lebih dihargai daripada hal-hal positif yang lain, “bodily perfection in women is consistenly valued above all other virtues.” Fenomena tersebut mengagungkan penampilan tubuh dan mengecilkan peran kecerdasan, kemampuan bekerja, karier yang baik dan kebahagiaan yang dimiliki seorang perempuan.

Pada Shopaholic, tubuh cantik tidak pernah dideskripsikan di luar konteks komoditas yang dipakai untuk membungkus tubuh. Kriteria tubuh perempuan cantik selalu dihubungkan dengan dandanan, pakaian, dan aksesori lainnya yang menghias tubuh, jadi konsep cantik yang digambarkan tidak pernah lepas dari komoditas mahal yang dikonsumsi oleh tubuh.

Syarat pemicu dari ketidakbahagiaan akibat penampilan fisik adalah media. Media-media terlalu sering memberikan standar tak realistis dan membuat orang tidak bahagia dengan apa yang sudah diberikan Tuhan sejak lahir. Selama standar ini lestari, maka selamanya pula ada orang-orang yang terus-menerus dilanda kekhawatiran atas ketidaksempurnaan fisiknya.

Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, sebenarnya makna cantik sendiri sangat bersahabat dengan perempuan mana pun dan dengan kondisi apa pun. Perempuan akan terlihat cantik cukup ketika dia tersenyum. Perempuan akan terlihat cantik ketika melakukan hobinya. Perempuan akan terlihat cantik ketika dia bisa berteman baik dengan Tuhan dan manusia-manusia di sekelilingnya. Perempuan akan terlihat cantik ketika dia percaya diri bahwasannya tubuhnya memiliki keistimewaan lebih dari sekedar ukuran-ukuran proporsional. Perempuan akan terlihat cantik ketika dia berani berpendapat dihadapan khalayak dan menyebarkan kebaikan. Bahkan perempuan akan terlihat cantik cukup dengan bersyukur dan berfikir bahwa dia cantik. 

Bagi saya, cantik adalah tentang penerimaan diri. Sejauh mana kita bersyukur atas pemberian Tuhan. Fokus pada kelebihan dan berdamai dengan kekurangan. Sebab, kalau bukan kita yang memulai untuk menerima tubuh kita, bagaimana kita bisa meminta orang lain menerima kita. Prinsipnya, segala sesuatu mesti dimulai dengan menerima diri sendiri terlebih dahulu.

Saya yakin, sudah banyak perempuan yang mulai keluar dari jebakan definisi keelokan skala kerumunan. Perempuan-perempuan yang mulai sadar akan kecantikan yang sesungguhnya tidak dapat dinilai dari fisik semata. Namun bukan berarti perempuan yang memegang standar cantik dari fisik bisa serta merta kita salahkan. Mungkin itu cara mereka untuk diterima dan berbaur dengan lingkungannya. Namun sangat disayangkan apabila konsep kebahagiaan dan kepuasan diri hanya berdasarkan standar orang lain. Karena sejatinya sumber kebahagiaan manusia itu berbeda-beda. Tapi kembali lagi, mungkin memang itu sumber kebahagiaan mereka alih-alih bersyukur yang nantinya pasti akan membawa kebahagiaan dengan sendirinya.

Lagi pula konstruksi sosial masyarakat Indonesia mengenai standar kecantikan konvensional sudah mengakar kuat. Yang bisa kita lakukan adalah beradaptasi dan memulai dari diri kita sendiri dengan tidak fokus pada kekurangan fisik. Berhenti mengomentari bentuk tubuh orang lain dengan melontarkan basa-basi semacam “Ih, kamu gendutan” , “makin item aja deh”, dan sebagainya. Kalimat-kalimat tersebut mungkin terlihat sepele karena sering kali kita lakukan tanpa sadar hanya sekadar untuk mencairkan suasana. Akan tetapi kita tidak pernah tahu dampak body shaming tersebut bisa saja membuat orang yang menerimanya kehilangan kepercayaan diri hingga depresi karena merasa insecure dengan penampilan fisiknya saat itu.

Lalu bagaimana cara kita untuk menerima kekurangan diri sendiri ?

1. Anggap ia sebagai keunikan
Kita harus mulai dari pola pikir bahwasannya kekurangan tubuh kita adalah suatu identitas yang membuat kita berbeda dan mudah dikenali.

2. Ambil waktu untuk berproses, perlahan-lahan.
Good things take time. Penerimaan memang membutuhkan waktu hingga kita benar bisa berhenti fokus pada kekurangan tubuh dan mensyukurinya.

3. Mulai memberi perhatian pada bagian yang tidak disukai.
Kenali karakter setiap jengkal tubuh diri sendiri, kita akan menemukan keistimewaan-keistimewaan kecil dari bagian tersebut yang tidak kita duga sebelumnya.

4. Mencari tau cara yang tepat untuk merawat diri.
Merawat adalah usaha berdamai dengan diri sendiri, dengan memelihara keunikan bagian tubuh dengan baik, demi rasa nyaman. Akhir kata, saya ingin menulis sebuah catatan kecil. Catatan ini ada sebagai perlawanan terhadap stereotip masyarakat luas, penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri.

Akhir kata, saya ingin menulis sebuah catatan kecil. Catatan ini ada sebagai perlawanan terhadap stereotip masyarakat luas, penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri.


 

CATATAN KECIL UNTUK PUAN

Apa kabar puan yang cantik, sangat cantik, dan akan selalu cantik ?

Semoga puan puan dianugrahi kecantikan dimanapun puan berada.

Puan, dengarkan.

Mari keluar dari keterjebakan cantik skala kerumunan.

Kemanapun puan melangkah, melompat, berlari, puan akan membawa serta tubuh puan.

Jadi, berhenti mengasingkan tubuh tempatmu pulang, puan.

Puan cantik ketika berani merayakan perbedaan tubuh puan sendiri.

Puan cantik ketika puan menerima tubuh puan dengan baik dan merawatnya dengan layak.

Puan, mari menjadi cantik untuk diri kita sendiri, bukan orang lain.

Karena puan berhak punya kendali atas tubuh puan sendiri.

Puan, catat.

Menjadi cantik itu menyenangkan.

ketika cantik puan menyakiti dan meninggalkan luka, hentikan.

Tenang saja puan-puan.

Percayalah, setiap puan sudah cantik dengan caranya masing-masing.

What's your reaction?
3Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment