Toxic Positivity: Kognisi Agama yang Tak Menenangkan



Nashir Efendi
Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat, Universitas Brawijaya
@iluminashir

Bagaimana pandangan keagamaanmu kawan? simak tulisan Nashir berikut 🙂


“Kamu hanya butuh beriman kepada Allah, sehingga kamu bisa berada di tempat yang kamu inginkan bersama-Nya.”

Kalimat itu adalah kata-kata yang sering saya dengar saat tumbuh dewasa, terutama dari guru-guru agama di sekolah, pun di beberapa pengajian yang saya hadiri saat kecil. Tampak meyakinkan pada saat itu. Kenapa tidak? Kata-kata itu menenangkan perasaan gelisah yang saya miliki untuk sementara waktu, berpikir bahwa yang harus saya lakukan adalah bersikap baik dan sabar terlepas dari apa yang dilemparkan kehidupan kepada saya, karena Allah selalu ada. Saya diajarkan, itulah yang lebih baik untuk membuktikan iman, selain berserah diri kepada Yang Mahakuasa.

Namun seiring bertambahnya usia, saya mulai frustrasi. Saya merasa kurang diajarkan bagaimana menghadapi keputusasaan yang berakar dari pengalaman ketidakadilan. Berkaca pada kelompok muslim minoritas, misalnya, apa yang diajarkan Islam kepada kita ketika berhadapan dengan rasisme, islamophobia, dan pelecehan? Bagaimana kita menghadapi tekanan emosi yang berasal dari ketidakadilan ini? Kita tidak berpikir sejauh itu.

Itulah toxic positivity. Diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan didorong oleh influencer muslim di media sosial, yang juga menghapus bagian penting dari agama, yaitu keadilan sosial. Mengajarkan seseorang hanya untuk menempatkan keyakinan penuh pada agama dan Allah tanpa bentuk tindakan apa pun. Itu semua, tidak hanya membungkam penindasan, tetapi juga menghapus aspek penting dari problem solving dalam Islam.

Semuanya terlihat dari pelajaran agama di sekolah dan di pengajian yang acap kali hanya fokus pada ritual—berapa kali Anda berdoa, seberapa sering Anda berpuasa, atau seberapa kerap kita membaca Quran. Pesan empati dan kemanusiaan hilang ketika kita membungkam tangisan mereka yang membutuhkan bantuan. Kita cepat mendiagnosa agama sebagai solusi untuk masalah-masalah, seperti narkoba dan kemiskinan, tanpa melihat realitas sosial masyarakat. Sistem pendidikan mendorong kita menerima ajaran tanpa mempertanyakan ulang, sementara kebijakan yang terus-menerus menimpa masyarakat, menghasilkan kelompok pemonopoli kebenaran mutlak.

Di sisi lain, Toxic positivity dalam agama Islam juga dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap mereka yang rentan. Orang diajarkan bahwa ayat-ayat tertentu dalam Quran ada karena suatu alasan, dan kita harus memiliki keyakinan pada agama Islam tanpa mempelajarinya dengan segala bentuk konteks dan dengan cara yang kritis.

Dalam kelompok Muslim minoritas, trauma akan problematika agama sulit diatasi. Para pemimpin agama Islam dan influencer media sosial yang menggunakan spiritualitas sebagai bentuk pelarian terlihat tak serius menyikapi trauma tersebut. Mereka justru mendorong orang berpikir positif tentang Allah, percaya bahwa ada hikmah di baliknya, dan berdoa agar hilang rasa sakit dan sedih atas segala permasalahannya. Tetapi, semua rasa itu tidak pernah benar-benar hilang. Dan, pada akhirnya, semuanya hanya akan memanifestasikan dirinya dengan cara lain.

Ambil contoh, ketika kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani kalangan agama Islam, perempuan sering diajarkan untuk tulus beriman kepada Allah dan dalam beberapa kasus mereka akan dihargai karena kesabarannya dalam berpasangan dengan suami yang represif dan keras. Beberapa narasi yang saya dengar dari kelompok ini mengatakan bahwa mereka adalah orang terpilih dari Allah untuk menjalani ujian. Pada konteks ini, pendekatan toxic positivity menghilangkan perjuangan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku atas segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan segala tindakan buruk lainnya.

Tidak satu pun dari narasi ini yang membahas trauma yang disebabkan oleh kekerasan rumah tangga. Bahkan ketika trauma ditangani, agama Islam segera diambil sebagai solusi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan korban. Inilah masalahnya, agama Islam itu sendiri telah digunakan sebagai alat oleh pelaku untuk melecehkan dan menindas korban. 

Toxic positivity juga menjadi lebih kuat dosisnya ketika pelaku memegang otoritas keagamaan. Proses hukum terhadap pelaku tidak ketara. Selain itu, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kekerasan berisiko terjebak dalam lingkaran tidak sehat jika mereka tak menerima dukungan yang tepat.

Beberapa teman menghadapi pelecehan online oleh seorang pria yang hanya karena tidak setuju dengan pekerjaan yang telah ia tekuni. Toxic positivity menciptakan monolit ide. Hanya membela pemikiran tertentu dan menghancurkan setiap potensi ruang aman masyarakat yang perlu memahami kondisi privat dan publik.

Namun, ketika mereka berjuang untuk keadilan sosial dan berbicara menentang penindasan, seketika itu menjadi selektif dan bahkan berpura-pura diam. Mereka mendefinisikan kemanusiaan berdasarkan iman, gender, kelas, dan seksualitas. Siapa pun yang tidak termasuk ke dalam kelompok mereka, segera dianggap menyimpang. Mereka, tengara saya, tidak pernah mengatasnamakan kebaikan dan kemanusiaan.

Alih-alih menangani masalah secara terbuka dan memastikan keselamatan, korban justru didorong berpikir positif. Seseorang boleh saja mengatakan harus husnudzon (berfikir positif), akan tetapi jangan sampai asumsi itu diucapkan terus menerus sebagai bentuk keheningan terhadap protes pelecehan dan tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.

Jangan memaksakan sikap positif pada diri sendiri atau orang lain. Berusahalah memvalidasi segala bentuk emosi, termasuk emosi dalam beragama. Ketika kita melakukannya, kita meningkatkan kemampuan secara konstruktif untuk menghadapi situasi sebagaimana keadaan itu harus diatasi. []

What's your reaction?
0Suka2Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment