Titik Lelah dan Kekuatan Cinta

Holy I. Wahyuni


Hanya diri sendiri yang dapat mengukur, sampai mana daya dan kapasitas kemampuan kita. Namun saya selalu sepakat dengan ungkapan bahwa dalam diri manusia ada banyak variabel tak terkendali yang hadirnya tak terduga.

Jika titik lelah dikenal sebagai jurang bagi terseoknya langkah, tetapi bagi sebagian manusia pada titik lelahnya kadang kala menuai energi yang datang dari arah tak disangka. Ini seperti adegan Ultraman yang hendak kalah lalu meronta memenangkan segala, termasuk memenangkan peperangan dengan diri sendiri dan segala insecure-nya.

Saya teringat hal ini saat menjalani studi S2. Kuliah, bekerja, dan merangkap menjadi ibu rumah tangga membuat atmosfer idealitas saya sebagai mahasiswa rasanya agak berbeda. Saya tak bisa berkumpul untuk sekedar sharing bersama teman kelas selepas jam kuliah berakhir, atau sekedar semedi di perpustakaan. Tuntutan jam kerja membuat saya harus mobile antara kampus dan kantor bolak-balik.

Sempat beberapa kali merasa bahwa saya mulai ingin mengangkat bendera putih. Saya sadar, saya tak seenergik ketika menjadi mahasiswa S1 dulu. Pulang dini hari, rapat organisasi, ala-ala konsolidasi warung kopi, kuat saya jabani. Namun kini, merangkap menjadi karyawan, dengan rutinitas bak pengulangan jarum jam setiap hari menciptakan pemicu stressor tersendiri. Belum lagi, bahtera rumah tangga, bukan rahasia lagi jika tanpa terpaan angin problematika.

Memasuki gerbang seminar proposal, bebarengan dua garis merah pada test pack setelah sekian tahun saya menanti hadirnya buah hati. Bahagia, cemas bercampur aduk, bahagia sebab doa saya diijabah, cemas apakah saya mampu menuntaskan perjuangan studi ini.

Usai seminar proposal, tibalah saatnya penelitian lapangan, kebetulan penelitian saya tentang kadar logam berat pada tubuh kepiting bakau pada tiga kabupaten di Jawa Timur. Dokter kandungan saya mewanti-wanti agar di trimister satu saya tidak dulu pergi keluar kota dan melakukan aktivitas berat. Tetapi saya memaksa, dan satu demi satu pengambilan sampel pun terlampaui.

Flek dan kram perut tentu saya alami, apalagi ditambah pekerjaan di kantor. Sempat saya konsultasi dengan seorang psikiater perihal segala kecemasan yang datang berulang-ulang. Kini bukan lagi persoalan apakah studi saya akan tuntas, akan tetapi ada yang lebih perioritas, keselamatan janin saya yang telah saya nantikan sekian lama.

“Janin itu kuat dan jenius, Mbak, afirmasi positif akan membuat Mbak kuat, dan debay (Adik bayi) kuat juga. Bahkan ada beberapa kasus, janin yang diupayakan oleh sang Ibu untuk gugur, qodarullah, janin itu tetap bertahan,” jelas psikiater yang membuat saya begitu tenang.

Saya pun melanjutkan misi demi tuntasnya studi. Namun masalah datang kembali. Memasuki trimister dua, kandungan saya divonis plasenta previa totalis (letak plasenta di bawah dan menutup seluruh jalan lahir). Kondisi ini beresiko terjadi perdarahan hebat, bahkan jika tak berhenti, janin bisa dilahirkan lebih dini (prematur) untuk keselamatan.

Membaca penjelasan dokter, dan Google membuat saya ngeri. Dilema pun terjadi, padahal justru saat itu, tahapan preparasi sampel dan analisis baru dimulai. Berjibaku menguliti kepiting, duduk seharian, dan tentu saja tahap uji laboratorium.

“Kamu sudah menunggunya lama, seharusnya kamu perioritaskan anakmu, tidak dunia saja yang kamu pikirkan.”

Sekiranya cibiran senada beberapa kali saya terima. Namun, entahlah, saya merasa, bahwa sedikit lagi, sedikit lagi, kok, agar tahapan yang satu ini usai. Saya mencoba meyakinkan, bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berhenti. Bukan berarti saya tidak memperioritaskan bayi saya, saya paham mana kondisi emergensi yang mengharuskan saya jeda, atau meneruskan langkah.

Memasuki trimister tiga, saya sudah semakin payah. Kondisi lemah, frekuensi dan intensitas kram lebih sering saya alami. Saat itu, saya berkata kepada partner penelitian saya yang mengambil topik serupa bahwa saya, jeda.

“Majulah terlebih dulu, saya jeda hingga melahirkan, kamu masih muda, belum ada tanggungan, jangan tunggu saya. Nanti, saya akan menyusulmu mengenakan toga, dengan menggendong anak saya.”

“Tapi, Mbak, saya ingin kita lulus bersama.”

“Jangan tunggu saya, kamu berhak melangkah tanpa jeda.”

“Baiklah, Mbak, Mbak semangat ya, Mbak kuat,” pungkasnya, dibarengi dengan air mata yang menganak sungai di sudut mata saya.

Bimbingan pasca penelitian baru saya lakukan satu kali. Revisian mangkrak dan saya biarkan begitu saja usai saya memutuskan jeda. saya ingin menyambut kelahiran anak saya, saya tak ingin anak saya lahir prematur. Saya ingin bertahan hingga usianya matang dan siap dilahirkan, meski dengan kondisi plasenta saya yang tak bergeser sedikitpun menutup jalan lahir. Saya sudah dipastikan menjalani kelahiran dengan sectio caesaeria (SC), tidak bisa dengan jalan pervaginam.

Awal tahun Januari, saat pandemi belum terendus di tanah air, putri saya lahir ke dunia. Terlarut pada euvoria kelahiran putri saya, juga masa pemulihan luka jahit yang menyisa perih tak tertahan membuat saya sejenak melupakan studi saya. Sampai akhirnya saya mendapat info bahwa saya telah terlambat melakukan pembayaran UKT semester dan masa pengisian KRS telah berakhir.

“Tidak! Saya tidak boleh cuti, masa studi saya akan semakin lama.” seruak batin saya seketika. Tetapi apa yang harus saya lakukan? Bahkan masa nifaspun belum usai. Saat itulah, saya baru tahu dan merasakan yang namanya baby blues. Produksi ASI saya bermasalah, saya menangis sejadi-jadi, saya bingung, hati saya poranda dan benar-benar gamang.

“Saya mau berhenti kuliah, saya mau berhenti kerja, saya mau fokus dengan putri saya,” teriak saya di suatu sore, sambil memeluk anak saya di atas pangkuan.

Keluarga terdiam, saya sadar keputusan spontan saya ini terdengar mengecewakan bagi keluarga besar. Sebab, sebetulnya lanjut studi ini bukan hanya asa saya —melainkan asa banyak orang. Keputusan saya semakin bulat untuk berhenti, tatkala teman-teman angkatan saya sebagian besar telah berada di pintu ujian tesis. Sementara saya; apa kabar diri saya dan ketidakberdayaan ini?

Satu hal yang perlu diingat, dukungan keluarga dan kemauan diri sendiri untuk bangkit memanglah support system paling dahsyat. Saya sadar, bahwa saya sudah menyelam terlalu jauh, bukankah sayang jika saya kemudian memutar arah dan menyerah begitu saja. Tidak! Saya akan menuntaskannya.

Akhirnya, hari itu tiba. 12 Agustus, hari di mana saya menuntaskan ujian tesis meski harus molor satu semester. Saya menangis sejadi-jadi, saya berkata lirih kepada putri saya, “Nak, Bunda lulus.”

Jalan terjal terlewati, terseok bersama semangat yang naik turun. Menjelang ujian, saya harus berjauhan dengan si kecil. Si kecil dijaga oleh neneknya di kampung. Saya bukan mengorbankannya, tetapi kacamata pandang saya geser menjadi “mengajaknya berjuang”, jika ditanya apakah saya rindu, maka jawabannya bukan hanya rindu, tetapi ini rindu paling candu yang pernah saya rasakan, berjauhan dengan si kecil.

Suatu hari, saat dia besar nanti, saya berharap dia akan mengerti —bahwa pada gilirannya, segala pahit, getir, atau manis yang kami jalani bernaung atas nama kebaikan dan perjuangan.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment