Tiga Tempat Menjalani Hidup; Sebuah Refleksi Akhir Tahun

Yunit Umar


PUCUKMERA.ID – Desember akan memulangkan diri beberapa hari lagi. Lalu, berganti tahun yang harus siap kita jalani sepenuh hati. Seperti tahun sebelumnya (2020), kita tidak bisa menebak kisah apa yang akan kita hadapi. Banyak porsi bahagia atau duka laranya.

Tapi, terlepas dari ketidaktahuan, kita bisa belajar dari kisah tahun sebelumnya. Memaknai hidup dan mencari sela untuk merenung di ruang sunyi. Bertambahnya waktu, maka cara kita berpikir harus bertambah dewasa. Menjalani hidup dengan menapaki kisah-kisah pembelajaran yang pernah dihadapi.

Sesekali kita perlu menjadi seorang filsuf. Bertanya segala yang ada, baik yang tampak maupun tersirat. Karena dengan bertanya pada diri sendirilah, kita bisa tahu siapa kita, apa saja yang telah dilakukan, mau kita apa, dan sudah bermanfaatkah hidup ini untuk makhluk lain?

Kita juga bisa melihat tiga tempat perjalanan hidup manusia yang ditulis oleh Soren Aabye Kierkegaard. Manusia selain menjadi makhluk sosial, ia juga makhluk individu yang terus menumbuhkan eksistensinya di dunia. Dari eksistensinya, manusia terus bergerak dari waktu ke waktu. Terutama cara ia memaknai dan menjalani hidup.

Baiklah, mari kita lihat ketiga tempat itu satu per satu. Tempat pertama, manusia berada di ranah estetis yang hidupnya dijalani menurut kesenangan pribadinya semata. Sesuatu yang membuat ia bahagia, wajib dilakukan dan diperjuangkan. Entah itu melalui cara yang baik atau tidak. Hidup seperti ini akan mengarahkan manusia untuk berperilaku hedonis, mencari kenikmatan sesaat berdasarkan kehendak hati (mood).

Seperti pengertian estetis sendiri, manusia suka dengan sesuatu yang indah. Sedangkan ukuran indah itu subyektif, tidak punya ukuran, tergantung cara pandang manusia. Sehingga manusia menjalani hidup tanpa jiwa. Ia tidak punya prinsip, akar, atau pegangan hidup.

Selain hanya menuruti kesenangannya, ia pun mengeluarkan eksistensinya sesuai kemauan masyarakat. Sederhananya, ia hidup mengikuti jamak orang dan terlalu takut untuk melawan arus. Kierkegaard mengatakan manusia seperti ini tidak memiliki passion atau antusiasme untuk melebur ke dalam realitas hidup sesungguhnya.

Pada akhirnya ia tidak bisa menentukan pilihan karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Keputusasaan adalah momok menakutkan saat manusia hedonis menjalani hidup seperti ini.

Tempat kedua, ranah etis, sebuah tempat yang dianggap Kierkegaard lebih baik dari tempat sebelumnya. Manusia menjalani hari-harinya dengan passion tersendiri. Melakukan banyak kebaikan untuk dirinya maupun orang lain. Nilai kemanusiaannya semakin hari semakin meningkat. Tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Ia mengikat dirinya dengan prinsip dan pedoman hidup agar tidak terpengaruh oleh tren masyarakat yang tidak sesuai suara hati dan kepribadiannya.

Kierkegaard mengemukakan manusia etis akan sanggup menolak tirani atau kekuasaan yang tidak sejalan dengan apa yang ia yakini. Setiap kuasa yang menurut Kierkegaard mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.

Kita bisa melihat perilaku etis yang dilakukan oleh Socrates. Manusia yang mengorbankan nyawanya untuk meneguk racun demi mempertahankan keyakinan kemanusiaannya yang begitu luhur. Ia merupakan individu yang menerima subjek “aku” yang bebas menentukan hidupnya dengan penuh kesadaran. Keyakinannya menolak akan setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Inilah hidup yang sesungguhnya, mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Manusia yang menjalani hidup di tempat ini adalah manusia yang telah menunjukkan sebenar-benar eksistensinya. Ia akan merasa sangat bersalah jika tidak memenuhi panggilan kemanusiaannya. Disinilah hidup dijalani untuk menebar kebermanfaatan.

Tempat ketiga, ranah religius, sebuah tempat tertinggi dari seluruh pilihan hidup yang ingin dijalani oleh manusia. Menjadi makhluk estetis, etis, atau religius? Manusia religius hidup menyatu dengan Tuhan dalam subjektivitas transenden tanpa ada ikatan pada sesuatu yang duniawi atau mundane.

Bagi Kierkegaard tidak dibutuhkan alasan dan pertimbangan rasional untuk hal ini. Yang diperlukan hanyalah keyakinan berdasarkan pada iman. Karena hanya keyakinan yang didasari oleh keimananlah hidup bahagia dapat diraih. Bukan bahagia sesaat seperti manusia estetis, tetapi kebahagiaan abadi dari eksistensi religius yang dijalani.

Setelah dilihat dengan seksama, hidup tampak rumit sekali. Ada tempat-tempat khusus yang harus dipilih. Manusia seperti apa yang kita inginkan? Apakah hidup yang kita jalani ini tidak perlu memilih? Hidup apa adanya tanpa ada keterikatan terhadap sesuatu? Mari kita renungkan di dalam ruang sunyi. Mengetuk pintu hati dan mulai bertanya pada diri sendiri. Bergantinya tahun sudah saatnya mengisi daya kebaikan lebih banyak lagi. Ikuti suara hati.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.


What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment