Muhammad Iqbal Syauqi
Mahasiswa UIN Jakarta
Di tengah pandemi yang masih mengintai setiap manusia, meski mungkin sedikit diabaikan secara sadar saat ini, lembaga-lembaga pendidikan mulai dari sekolah, bimbingan belajar, termasuk pendidikan agama dan pesantren melakukan banyak penyesuaian. Salah satu upaya penyesuaian itu adalah mengalihkannya ke ranah daring.
Kisah seperti ini mungkin akan sering Anda dengar dari media sosial, atau mungkin lingkungan tetangga. Orang tua mengeluhkan bahwa amat rumit mengatur anak-anak agar belajar di rumah. Susah lah, ribet lah, dan berbagai macam sambatan lainnya. Kalangan guru maupun wali murid mengeluhkan betapa sulit mengajak anak-anak untuk fokus belajar dan lebih berdisiplin mengikuti kegiatan dari sekolah.
Orang tua mengeluhkan, “Aduh, anakku kok jadi main ponsel melulu?” Pernyataan itu adalah respon bagaimana pendidikan daring membuat anak mesti berjumpa dengan para pengajarnya di dunia maya lewat beragam aplikasi.
Banyak analisis menunjukkan bahwa pembelajaran di rumah bagi para siswa ini kian membuat ketimpangan akses semakin nyata. Bayangan kebanyakan pengajar dan pendidik, pendidikan di rumah mesti disokong dengan internet. Namun kita lihat realitanya: kesulitan jaringan internet, tidak adanya gawai yang memadai, mahalnya paket data, maupun ketidakpahaman orang tua akan tuntutan dan cara belajar di rumah.
Benar belaka bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak merata, mahal serta kurang efisien dalam banyak aspek. Namun mengutip pernyataan Richard Feynman, salah satu fisikawan masyhur bahwa “Knowledge isn’t free. You must pay with attention.” Tidak ada pengetahuan yang gratis, dan sekurang-kurangnya ia mesti dibayar dengan ‘atensi’ atau ‘perhatian’.
Perhatian ini bisa diperdebatkan, apa yang dimaksud “perhatian”. Namun hemat penulis, yang dimaksud “atensi” dalam belajar bukan semata murid mau datang dan diam di kelas, orang tua membayar SPP, atau guru mengejar capaian target dan harapan pembelajaran dalam silabus dan RPP. Bentuk perhatian ini adalah kesadaran penuh seluruh bahwa pendidikan bukan hanya persoalan guru-murid di kelas dan sekolah, tapi juga dukungan orang tua yang juga mau turut selalu belajar.
Dari kesadaran yang demikian, diharapkan peranan orang tua yang semata menyerahkan sepenuhnya pendidikan siswa pada sekolah dan tanpa mau terlibat apa yang terjadi di sana, lantas mengatakan, “sekolah saiki kok ribet, sih!”, akan banyak berkurang. Lalu di masa-masa mendatang, kasus-kasus yang tidak kita harapkan dalam proses pendidikan, seperti perundungan, putus sekolah, atau konflik guru-murid-wali murid bisa berkurang.
Benar sekolah kian ribet, tapi demikianlah guru dan lembaga pendidikan mencari dan berinovasi yang mungkin sedikit banyak berimbas pada keribetan itu. Orang tua atau wali murid sebagai pihak yang “menitipkan” peserta didik juga harus merespon usaha-usaha itu dengan bijak, kritis dan berimbang.
Demikianlah elemen pendidikan berupa guru, murid, dan wali murid, perlu berdialog mencapai kesepahaman dalam “apa pendidikan yang akan dan sedang dijalankan oleh sekolah”. Selalu memposisikan murid semata sebagai objek sasaran pendidikan adalah hal yang harus dikikis. Karena merujuk keterangan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas: mendidik manusia tidak menempatkan mereka sebagai objek, tapi subjek.
Tentu yang dimaksud untuk wali murid agar turut belajar bukanlah membuat kelas-kelas khusus, dengan kurikulum yang cenderung baku seperti pada anak-anak didik. Namun hal itu kiranya dapat dilakukan sesuai konteks masyarakat yang ada.
Semisal, seputar parenting, kesusahan orang tua dalam mencapai target pembelajaran anak, kemudian melibatkan anak-anak dengan aktivitas orang tua maupun lingkungannya seperti hadir tahlilan misalnya, atau jika gurunya cukup progresif, menyadarkan bahwa banyak hal bisa dipelajari anak dalam komunitas mereka.
Sekolah tak harus mengajarkan disiplin melalui upacara dan ragam hukuman, tapi sekolah mesti membuat murid sadar bahwa mereka tidak lahir dari ruang kosong yang eksklusif di masyarakat. Disiplin tak semata soal tertib baris-berbaris. Bertanggung jawab, berani menyatakan pendapat, saling menghargai kawan, adalah hal yang sebaiknya sudah dipahami anak sedari dini sebagai bentuk kedisiplinan.
Seperti juga dalam aspek perundungan atau bullying, apalagi pelecehan kekurangan orang tua atau anak. Bagi sementara orang tua atau guru, katanya itu akan “membentuk mental” anak. Tapi tidak semua anak lahir dari lingkungan yang sama, dan bagaimanapun, sikap demikian yang dibiarkan hingga dewasa kiranya turut membentuk wajah masyarakat hari ini.
Perundungan adalah wujud penyalagunaan kuasa dalam skala kecil yang tidak disadari. Masa kecil yang polos bisa begitu brutal, dan bagi banyak orang, ia menjadi hal yang toksik bahkan membekas hingga tua. Guru mungkin tak dapat memantau semua, tapi setiap orang tua harus menyadari itu di rumah.
Banyak sekolah sudah menyadari pentingnya untuk melibatkan wali murid dalam proses pendidikan siswa. Dibentuklah struktur semacam Dewan Sekolah, atau bentuk paguyuban informal antar wali murid. Begitupun di era bikin grup koordinasi dan edukasi bisa semudah melalui grup media sosial, ruang wali murid untuk ikut “belajar” saat menyekolahkan anaknya kian terbuka dan dinamis.
Guru dan wali murid, tentu sudah hidup lebih lama dan mengalami banyak hal dalam hidup ini lebih dulu. Namun, zaman berubah, tantangan peradaban terus bergerak, dan anak-anak mungkin tak seutuhnya berada dalam kuasa orang-orang yang lebih tua.
Dalam satu kutipan dari Kahlil Gibran, “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah anak zamanmu”. Guru menyesuaikan, murid mau tak mau akan ikut serta merta mengikuti sistem yang ada, dan orang tua tetap harus senantiasa belajar dan menyesuaikan.
Gagasan di atas akan susah tercapai tanpa komunikasi yang baik antar tiap pihak. Sekolah sebagai institusi, guru sebagai pelaksana, serta murid dan walinya. Sekali lagi, guru dan wali murid perlu menginsafi bahwa pendidikan tidak seutuhnya seperti yang mereka pahami dulu. Kesadaran akan pendidikan yang lebih baik sudah banyak disuarakan, baik lewat sekolah maupun komunitas-komunitas wali murid.
Bagaimanapun konsepsi di atas, sekolah dan orang-orang yang menganggap penting sekolah diharapkan akan tahu bahwa dalam proses pendidikan seluruh elemennya utamanya mesti berpihak pada proses tumbuh kembang anak dan siswa.
Semua mesti belajar, tak terkecuali orang tua di rumah. Pada akhirnya harus diinsafi bahwa persoalan pendidikan bukan hanya di sekolah, tapi semuanya dimulai dari rumah. Mungkin pendidikan kita tak sempurna, tapi barangkali, hal itu bisa dimulai dari rumah.
Bagaimana mungkin kita mengklaim telah mendidik dan mengajar anak di kelas atau “mengirim” mereka ke sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, tapi enggan untuk mendidik, mengajari dan memperbarui diri sendiri?
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id