Terus Melawan! Catatan dari peringatan 17 tahun aksi kamisan

PUCUKMERA.ID Dua kata ini memang pantas disematkan kepada aksi kamisan. Waktu tujuh belas tahun sudah sangat menggambarkan, mengapa penggunaan kata “terus” menjadi kontekstual. Secara harfiah, kata “terus” dipahami sebagai kata keterangan untuk menunjukkan sebuah aktivitas yang tidak berhenti, tetap berlanjut. Kemarin, aksi kamisan digelar untuk ke delapan ratus dua kali.

Jika rata-rata menghabiskan waktu selama dua jam tiap kali aksi, sudah ada 1.604 jam waktu yang telah dihabiskan untuk melawan. Suasana politik bangsa ini yang makin suram tampaknya menjadi pertanda bahwa energi besar harus terus dikeluarkan untuk melawan impunitas. Di tengah suhu bumi yang semakin panas, rasanya masih akan banyak hari Kamis sore terik lagi yang harus dilewati oleh aksi kamisan.

Tapi kemarin sore, langit terasa begitu romantis. Saat aksi kamisan hendak berlangsung, matahari yang awalnya terik tiba-tiba mengalah lalu mereda. Ia seperti mempersilahkan para peserta aksi untuk datang dan duduk dengan nyaman di jalanan aspal depan istana negara.

Panitia bilang, mungkin karena momentum 17 tahun aksi kamisan, massa aksi sore itu bertumpah ruah. Banyak di antara mereka yang mengaku baru datang pertama kali. Terlihat dari banyak pakaian warna warni yang melintas. Aksi kamisan sesungguhnya identik dengan warna hitam. Tapi aksi ini bukan tentang warna pakaian.

Eko Prasetyo, aktivis jalanan, pegiat literasi sekaligus pendiri Social Movement Institute membuka refleksi aksi kamisan sore itu dengan kalimat-kalimat tajam. Nadanya menukik, urat-urat di lehernya kelihatan menyembul. Menurutnya, aksi kamisan adalah tentang menetapkan garis batas tentang siapa kita dan siapa mereka, tentang memberi batasan antara siapa yang sesungguhnya membela demokrasi, dan siapa yang menghancurkan demokrasi.

Kalimat itu amat bagus. Apalagi menjelang agenda politik lima tahunan bangsa ini. Banyak di antara kita yang keluar batas. Bung Eko tanpa tedeng aling-aling menyerang rekan-rekannya sesama aktivis yang menyebrang keluar batas. Misalnya, mereka yang merelakan dirinya bergabung satu kubu dengan penculik, bahkan, mendukung para penculik, pelanggar HAM, untuk mengambil alih tampuk kekuasaan negeri ini.

Maka garis batas menjadi penting untuk kita tebalkan lagi. Sebab kebenaran akhir-akhir ini mau digiring menjadi komoditas politik yang nilainya gampang diputarbalikkan. Muncul rasionalisasi munafik untuk mengaburkan kebenaran. Seperti katanya, bahwa menculik justru dilakukan untuk menyelamatkan.

Jika seperti itu logika yang dipelihara, maka sebaliknya kita tak perlu repot-repot memburu koruptor. Kita juga tak perlu marah pada mafia tanah. Sebab, banyak di antara mereka yang punya argumen serupa. “Lebih baik saya yang ambil daripada dimiliki oleh pihak asing” katanya.

Aksi kamisan menjadi batas penegas, bahwa apapun bentuknya, pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas adalah luka yang masih dan tidak akan pernah sembuh. Ada ibu Sumarsih, ibu Suciwati dan para keluarga korban HAM lainnya yang masih mencari kebenaran. Dan mereka dengan tegas menolak para pelanggar HAM menduduki jabatan apapun di negeri ini. Sebab jika itu terjadi, masa depan penegakan dan penyelesaian kasus HAM semakin tak jelas arahnya.

Ketegasan itu seringkali dianggap bernilai politis. Agenda penegakan HAM yang memang menyasar pejabat utama di negeri ini. Apalagi peringatan tujuh belas tahun aksi kamisan digelar kurang sebulan menjelang pemilu. Para pendukung pelanggar HAM merasa isu ini hanya memojokkan calon tertentu dan diungkit hanya tiap lima tahun sekali.
Tuduhan itu dibantah Ibu Suciwati, aktivis HAM dan istri dari almarhum Munir. Berdiri sambil mengenakan jas hujan hitam, Suciwati berteriak lantang dengan nada serak dan dialek khas orang Jawa Timur. “Hei, setiap kemmis kami berdiri di sini. Ngomongin soal penculikan dan pelanggaran HAM. Bukan hanya tiap lima tahun sekali. Kalian aja yang budeg!”

Ia terus melanjutkan narasinya dengan menggebu-gebu. Peserta aksi dengan sabar diam menunggu. Suciwati juga menyangkal tuduhan jika kasus penculikan harusnya tak diungkit lagi karena yang diculik sudah dikembalikan. “Itu hukumnya siapa? Kalau menculik terus mengembalikan berarti tidak bersalah sama sekali? Hingga tak perlu dihukum? Itu hukumnya siapa!”

Saat Suciwati berorasi, langit seolah ikut larut dalam sedih. Rintik hujan jatuh kian deras. Payung hitam segera dibentangkan. Beberapa peserta memilih menyingkir. Awak media merelakan bajunya basah karena payungnya dipakai untuk melindungi kamera. Tujuh belas tahun aksi kamisan kelihatannya mendapatkan atensi publik yang begitu besar.

Tapi nada Suciwati tak mengendur. Ia terus menyerang, “Saya harus cerita apa ke anak saya jika para penjahat HAM maju dalam pemilu bahkan menjadi presiden?” ujarnya dengan raut wajah tegas. Meski tengah bercerita kepada peserta aksi, ekspresi bingung bercampur sedih terlihat di raut wajahnya. Pertanyaan itu seolah amat berat jika harus dilontarkan. Mungkin karena ia sendiri sampai sekarang belum tahu jawabannya.

Kumpulan pertanyaan yang masih belum terjawab adalah dasar argumentasi dari pelaksanaan aksi kamisan. Mereka telah menunggu tiga kali pemilu, namun tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara. Aksi kamisan kini menjadi monumen tragis bagaimana negara mengacuhkan hak dasar warga negaranya untuk mendapatkan keadilan. Siapa pun presidennya.

Sejatinya, aksi kamisan terinspirasi dari perjuangan para ibu korban pelanggaran HAM di Argentina. Saat itu Argetina tengah dipimpin oleh kediktatoran militer. Sejak 1977, lebih dari tiga puluh tahun para ibu tersebut menggelar aksi protes mingguan setiap Kamis di Plaza de Mayo, depan Istana Kepresidenan Argentina.

Kasus penculikan, penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM memang tak memiliki lokus tertentu. Ia konsisten hadir pada setiap rezim pemerintahan di belahan dunia manapun yang punya sejarah masa lalu tak tuntas. Oleh karena itu, aksi kamisan kembali lagi berdiri sebagai pengingat agar kasus serupa di masa depan tak terulang.

Refleksi itu diucapkan dengan lantang oleh Asfinawati, Aktivis HAM sekaligus mantan ketua YLBHI. Ia mengulas secara khusus makna tujuh belas tahun aksi kamisan. Nafas panjang aksi kamisan penting untuk terus dijaga. Sebab cerita tentang pelanggaran HAM adalah kisah yang terus berulang.

Ia menyebutkan contoh kasus peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) di awal tahun 70-an di mana persekusi terhadap kaum minoritas dilakukan. Berpuluh tahun kemudian, persekusi itu kembali terjadi saat peristiwa reformasi 98. Semuanya hanya berlalu tanpa penyelesaian. Tokoh utama pelanggar HAM dibalik peristiwa-peristiwa itu melenggang bebas.

Secara resmi, akhir tahun lalu rezim Presiden Jokowi mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi antara 1965 hingga 2003, yaitu: 1. Peristiwa 1965-1966; 2. Peristiwa penembakan misterius 1982-1985; 3. Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989; 4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; 5. Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; 6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998; 7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; 8. Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; 9. Peristiwa simpang KKA, Aceh, 1999; 10. Peristiwa Wasior, Papua, 2001-2002; 11. Peristiwa Wamena, Papua, 2003; dan 12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh, 2003.

Namun hingga saat ini, tindak lanjut berupa pemenuhan hak-hak korban termasuk menyeret para aktor pelanggar HAM ke meja pengadilan berjalan di tempat. Para tokoh yang terlibat di aksi kamisan mengirimkan pesan tegas terkait hal ini. Mereka menolak tegas penyelesaian yang bersifat non-yudisial.

Bu Sumarsih, aktivis HAM dan keluarga dari Wawan, Mahasiswa korban Tragedi Semanggi 1, bahkan menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Baginya, setelah pengakuan presiden Jokowi tersebut, status Prabowo Subianto bukan lagi sebagai terduga. Menurutnya ia adalah dalang dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tahun 98, sehingga pantas dicap sebagai penjahat kemanusiaan.

Aksi kamisan menjadi ruang bagi para keluarga korban pelanggaran HAM, seperti Ibu Suciwati dan Sumarsih untuk berbicara bebas dan menagih janji penguasa untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM tersebut. Selama janji penyelesaian dan keadilan itu belum dipenuhi, seperti tagline edisi ke 802, aksi kamisan akan tetap berdiri.

Aksi kamisan menjadi bukti cinta saya kepada Wawan, anak saya.
Ketika anak saya ditembak, cinta saya bertransformasi menjadi cinta pada sesama.
Saya berdiri di sini bukan hanya menuntut keadilan untuk anak saya semata,
Tapi juga kepada semua korban pelanggaran HAM lainnya.
-Bu Sumarsih-

Siaran ulang 17 tahun aksi Kamisan


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

8 Comments

Leave a comment