Teruntuk Arina

*) Kholid Yahya
Penikmat Sastra, tinggal di Malang.

Marina Nurulfa, namaku. Aku adalah seorang santriwati di salah satu pesantren ‘khusus perempuan’ yang terletak di antara perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Seperti nama ‘khusus’ pesantren itu, tak ada laki-laki dalam kamus kehidupan pribadiku. Lebih-lebih, doktrin pesantren dan agama semakin memperkuat citra itu dalam diriku.

Terhitung sudah enam tahun aku menimba ilmu di pondok pesantren ini. Semuanya berjalan normal, menurutku. Tak ada santri laki-laki pun tak jadi masalah bagiku. Toh, laki-laki hanyalah spesies manusia biasa yang berlainan jenis saja denganku. Begitu pikirku suatu waktu.

Hingga akhirnya, di suatu pagi, kegiatan rutinan di pesantrenku mewajibkan semua santriwati untuk mengaji kitab kuning-gundul dengan pelajaran yang berbeda-beda setiap harinya. Masjid pondok menjadi pilihan pengasuh untuk menjalankan program tersebut.

Bangku pojok-kiri-depan sudah jadi langganan tempatku untuk meletakkan kitab, pensil, serta kepalaku ketika mengantuk. Namun, pagi itu, aku merasa ada yang aneh, karena sudah ada secarik kertas yang dilipat persegi empat dengan penghapus kecil yang menindihnya.

Kubuka pelan-pelan dengan rasa penasaran yang sangat. Isinya begini:

Teruntuk Arina, tenanglah dulu tatkala kau baca surat pendek ini. Aku pun sama dengan kau di sini, hanya santriwati biasa yang sedang bingung dan resah dengan perasaan yang sedang melanda hati dan diriku. Enam tahun juga aku telah menghabiskan waktuku. Bahkan mungkin memenjarakan diriku, di pesantren ini. Kau pun tahu, tak ada satu pun laki-laki di lingkungan ini. Mungkin hanya waktu aku pulang kampung saja kutemui laki-laki. Selebihnya, mereka seakan hilang begitu saja.

Arina, aku tak ingin terus membohongi diriku sendiri. Entah bagaimana permulaannya, aku telah suka dan sayang dengan santriwati yang cerdas, sopan, pandai bergaul, dan mandiri. Dan, mungkin, deskripsi itu cocok dengan dirimu. Ya, dirimu. Kau jangan salah paham dulu. Entah ini pernyataan yang salah atau perilaku yang dapat dibenarkan, keadaanya memang seperti itu.

Arina, bila kau ingin membalas, taruhlah balasanmu di bawah pohon beringin depan masjid sebelum azan subuh, kapan pun kau mau.

Salam,

XCX

Sontak isi surat itu membuatku merinding. Surat itu langsung kututup lagi, agar ‘pesan rahasia’ itu tak diketahui teman-teman sebelahku. Bagaimana aku seharusnya? Mengapa kau pilih aku sebagai subjek cintamu? Dan, yang terpenting, siapa kau dibalik nama pendek XCX? Pertanyaan-pertanyaan itu berlalu lalang di alam bawah sadarku hingga ucapan ‘Assalamualaikum’ dari Kiai yang mengawali kajian pagi itu membuyarkan lamunan pagiku.

**

Aku pun menulis surat balasan:

Teruntukmu, aku benar-benar tak tahu siapa kau, berasal dari mana, dan bagaimana latar belakangmu hingga kau merasa seperti itu. Aku juga tak bisa menyalahkan perasaanmu, meskipun entah itu kodrat atau kau sendiri penciptanya.

Sebaiknya kita bertemu terlebih dahulu, tak layak dan tak lazim jika kita bersembunyi di balik kertas dan coretan tinta seperti ini. Semakin lama kau memenjarakan dirimu, semakin hancur kepribadian dan karaktermu.

Aku tunggu di ruang kelas IIIA, sehabis salat duhur. Ada 30 menit waktu istirahat, saya rasa cukup untuk membuktikan, bahwa apakah cinta itu murni untuk siapa pun atau kepada gender yang berbeda?

Salam,

Arina

Segera kututup surat kecil itu dan kuarahkan pada tujuan yang dimaksud pengirim, persis di bawah pohon beringin. Kusenyapkan langkah kakiku, kutundukkan kepalaku, badanku kubungkus dengan jaket tebal demi menangkis hawa subuh.

**

Treett…treett…treett!!

Lonceng Madrasah berdering menandakan jam istirahat telah tiba. Satu per satu santriwati perlahan-lahan meninggalkan ruang kelas IIIA.

Aku memilih berdiam diri di salah satu sudut kelas. Memainkan pena di kedua jemariku. Mata terus manatap dengan tatapan yang mengambang dan pikiran tak henti melayang.

Kini, kelas tinggal tiga orang. Aku, Maryam, dan Irene. Irene dan Maryam persis berada di depanku. Kelihatannya sedang asyik mengobrolkan sesuatu, entah apa itu.

Sepuluh menit kemudian, Maryam beranjak dari tempatnya. Kini, tinggallah aku dan Irene. Suasana semakin sunyi senyap, meskipun di luar kelas gaduh dan ramai mewarnai madrasah ini.

Irene tetap bergeming tak bergerak. Sialan, apa dia di balik pengirim surat itu? Perasaan khawatir dan penasaran terus berperang di dalam naluri bawah sadarku. Apa iya, teman sekamarku sendiri mempunyai perasaan kepadaku? Mengapa dia dengan sifat kepala batunya itu meminta pengurus pesantren agar dia sekamar terus denganku? Apakah itu alasannya?

Irene perlahan-lahan memalingkan muka kehadapanku. Tatapan tajamnya semakin meyakinkan dugaanku. Lalu dia bangkit dari tempat duduknya, mendekatiku.

“Semoga kau tak marah”, kata Irene kepadaku

“Aku ingin penjelasan”, ucapku.

“Sudah jelas, Arini. Seharusnya yang bertanya itu aku. Bagaimana denganmu?”, muka Irene serius.

“Aku? Aku tak pernah dan semoga tak akan pernah terperangkap pada dosa seperti ini”

“Dosa katamu? Kau sendiri yang mengatakan, apakah ini kodrat atau aku sendiri yang menciptakan. Aku merasa tak pernah sama sekali menciptakannya”

“Kalau ini memang kodrat Tuhan, pemberian Tuhan, atau apalah itu namanya, sepertinya memang akulah subjek cinta yang Tuhan berikan”, kataku.

Kami berdua saling pandang, pandangan yang tajam. Irene tiba-tiba meletakkan tangan lembutnya ke pipi kiriku. Jarak muka kami semakin dekat. Dan, kecupan itu pun tak terelakkan. Dengan mesra dan penuh kasih sayang Irene berbisik: “I love you”. []

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment