Irsyad Madjid
Redaktur Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID –“Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya, kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita gak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi”. Sepenggal kalimat dari wawancara Nadin Amizah di podcast Deddy Corbuzier yang memancing keributan di dunia maya.
Berbicara soal kelas sosial ekonomi di publik memang menjadi hal yang rentan, bun. Tapi dalam hal ini, Nadin tidak sendirian. Awal Pandemi yang lalu, Juru Bicara Penanganan Covid-19, Pak Achmad Yurianto pernah berujar, “Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya.” Tepuk tangan dulu untuk beliau.
Selaras dengan Pak Jubir, perkataan Nadin sepintas terkesan menghina orang miskin. Namun pada soal ini, saya punya stand point yang berbeda. Jika dibedah secara tersirat, menurut saya Nadin sedang melancarkan kritik terbuka pada kemiskinan. Meskipun begitu, saya tak sepenuhnya setuju dengan argumen doi. Utamanya pada perspektif “orang miskin gak punya waktu untuk berbuat baik dengan orang lain”.
Bagi saya, berbuat baik itu pilihan. Latar belakang ekonomi tidak menjadi penentu utama bagi seseorang untuk berbuat baik. Apalagi jika berasumsi “hanya orang kaya yang punya waktu cukup untuk berbuat baik”. Itu sungguh naif. Sebab, dalam realitas, sering ditemui masyarakat kelas bawah yang justru saling membantu demi bertahan hidup. Gerakan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang lahir di awal pandemi menjadi contoh.
Didorong oleh rasa empati, kalangan rakyat kecil seperti petani secara sukarela menyisihkan hasil panen yang terbatas agar diolah menjadi makanan bagi para pekerja informal di sekitar Jogja. Kelak, gerakan ini meluas hingga ke beberapa kota di Indonesia. Namun, tetap dibalut oleh spirit yang sama, “rakyat bantu rakyat”.
Berbekal keyakinan bahwa menjadi baik itu pilihan, pikiran saya justru bertaut pada poin awal yang dilontarkan Nadin. “Jika kamu kaya, kamu akan lebih mudah untuk jadi orang baik”. Sebab, rasanya hidup memang berjalan seperti bajingan bagi orang miskin di negeri ini. Eko Prasetyo pernah melahirkan adagium terkenal “Orang Miskin Dilarang Sakit & Orang Miskin Dilarang Sekolah” tatkala membahas situasi pelik terkait dunia pendidikan dan kesehatan.
Relasi antara kemiskinan dan kejahatan
Memahami kesulitan orang yang berada pada garis kemelaratan, membuat saya payah untuk membayangkan kebaikan apa yang mereka bisa berikan. Bahkan, saya rasanya tak tega untuk mengatakan setuju pada ungkapan Nadin bahwa “orang miskin akan memiliki rasa benci yang besar pada dunia”. Laporan Oxfam (organisasi internasional yang fokus pada isu kemiskinan) pada tahun 2018 berjudul “Menuju Indonesia Yang Lebih Setara” juga mengamini dengan serius kondisi ini.
Sedikit saya jelaskan terkait isi laporan ini agar seisi dunia tahu, bagaimana dampak dari ketimpangan yang terjadi. Pertama, hadirnya kalangan ultra-kaya di tengah-tengah kemiskinan yang semakin merajalela dapat memicu retaknya ikatan sosial yang ada di masyarakat. Sebab, ketika ada rakyat yang bekerja tanpa lelah tapi tidak mendapatkan upah layak, sebaliknya ada kelas masyarakat yang berleha-leha tapi mendapatkan kekayaan tambahan yang irasional.
Dengan situasi yang timpang ini, dunia terasa sebagai lelucon yang bodoh. Kedua, ketimpangan yang terjadi bukan semata-mata mengenai penghasilan dan kekayaan, tapi juga menyangkut peluang dan kesempatan. Terakhir adalah yang paling parah, kekayaan dan kemiskinan yang timpang ini akan berpengaruh pada dominasi kekuasaan. Dalam hal ini, si kaya punya peluang lebih untuk membuat aturan serta menguasai modal dan sumber daya.
Maka, kondisi ini membuat orang yang melarat harus kuat setengah mati. Sulit membayangkan mereka bisa legawa. Buktinya, sebuah studi dari Smeru Research Institute pada tahun 2015 menemukan korelasi positif antara ketimpangan dan jumlah kekerasan rutin yang kerap terjadi. Penelitian tersebut juga menemukan ketimpangan yang lebih tinggi dalam hal kekayaan berhubungan dengan meningkatnya kejahatan dan kekerasan.
Solusi UBI
Celakanya, menurut penelitian Bank Dunia tahun 2018, kemiskinan rentan untuk dirasakan oleh 70% dari total populasi masyarakat Indonesia. Bisa dibayangkan, bahkan dalam kondisi normal pun, 70% rakyat Indonesia selalu diintai dengan kemiskinan. Maka, jika kebaikan adalah soal pilihan, saya merasa kemiskinan membuat perbuatan baik bukanlah pilihan yang mudah. Sebab, kebutuhan dasar saja sulit untuk dipenuhi, apalagi membantu memenuhi kebutuhan orang lain.
Berkaitan dengan kebebasan untuk memilih berbuat baik, saya selalu teringat dengan argumentasi menarik Philippe Van Parijs. Beliau adalah seorang professor dan pegiat utama Universal Basic Income (UBI). UBI sendiri adalah bantuan secara tunai (cash) tanpa syarat apa pun (unconditional) yang diberikan negara dengan jumlah tertentu sebagai pendapatan dasar bagi setiap warga (universal).
Dalam buku berjudul: Basic Income: Radical Proposal For a Free Society and Sane Economy dan presentasi di Tedx Talks berjudul “The Instrument of Freedom”, beliau menekankan bahwa UBI adalah instrumen penting dari kebebasan. Utamanya, kebebasan memilih bagi masyarakat yang rentan. Dengan adanya pendapatan dasar, buruh bisa memilih tempat dan jam kerja (part-time/full-time) sesuai yang mereka inginkan. Mereka pun bisa lebih mudah untuk mengatakan “tidak” pada pekerjaan yang mereka tidak sukai.
Nampaknya, pendapat Philippe Van Parijs relevan dengan kenyataan. Finlandia adalah contoh negara yang sudah melakukan uji coba skema UBI pada periode 2017-2018. Dalam percobaan tersebut, 2.000 orang pengangguran dipilih secara acak berusia antara 25 dan 58 tahun serta menerima pembayaran bulanan €560, tanpa syarat dan tanpa tes.[1]
Hasilnya, kesejahteraan finansial penerima UBI dilaporkan menjadi lebih baik. Mereka mengaku lebih mampu membayar tagihan mereka tepat waktu. Sehingga, tingkat kepercayaan diri juga menjadi lebih tinggi. Mereka juga didapati menjadi lebih percaya terhadap orang lain dan lembaga sosial. Dampak yang paling signifikan, penerima UBI lebih percaya diri terhadap kemungkinan masa depan dan mengalami lebih sedikit gejala depresi dan stres.
Di Indonesia sendiri, UBI mulai disosialisasikan dengan istilah Jaminan Penghasilan Dasar Semesta (Jamesta). Bahkan saat ini sedang berlangsung Kongres Jamesta pertama. Sebuah forum yang mengumpulkan para pegiat ide UBI di Indonesia.Forum ini berisi para individu, aktivis, kepala daerah, ilmuwan, dan organisasi berbagai latar belakang. Jamesta diharapkan menjadi nyawa agar masyarakat bisa terus menyala dan keluar dari ketimpangan.
Namun jika terus berada pada situasi yang timpang, saya rasanya mafhum jika kemiskinan membuat sebagian orang benci pada dunia dan memilih berperilaku tidak baik. Untuk itu, rasanya mereka tak pantas dihukum.
Sebab, anak muda tak tahu diri yang pamer beli mobil mewah di Tiktok itu menurut saya jauh lebih kejam dibanding nenek tua yang mencuri singkong di kebun orang lain karena benar-benar tak punya stok makanan. Dalam konteks ini, pamer kekayaan rasanya termasuk kategori perbuatan kejahatan yang luar biasa. Mereka yang lebih pantas untuk dihukum.
[1] Laporan Akhir Percobaan Basic Income Finlandia – IndoBIG Network
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.