Tenang

Alodia Sabrina Mulya


PUCUKMERA.ID — Sejauh mata memandang, nampak luas nian lautan manusia. Sorak sorai tuan nan puan menandakan keacuhan mereka terhadap teriknya sinar mentari. Bermandikan keringat, tak gentar menyuarakan apa yang ingin mereka utarakan. Kain bertuliskan huruf-huruf besar direntangkan, seakan kain tersebut turut berbicara nyaring. Amunisi lain mereka, kertas yang sudah tertekuk-tekuk diangkat tinggi, tak peduli wujudnya, pedulikan makna kalimat yang tertera; UPAH LAYAK UNTUK BURUH!

Kemeja putih yang pagi hari tadi terlihat rapi membalut tubuh tinggi-kurus itu, kini basah dan kusut. Terkalung serampangan pada leher sang empu, sehingga menyisakan kaus putih yang ujungnya terselip dalam celana kain berwarna cokelat sebagai penutup aurat. Ia disana, berdiri tegap. Tepat di tengah keramaian atau bisa disebut di atas? kedua kaki beralaskan sepatu kulit itu antusias menghentak-hentak. Semoga saja bak mobil yang ditumpanginya tidak roboh.

“Saudara-saudara sekalian! Jangan biarkan diri kita direndahkan dan diperbudak oleh kekuatan yang tidak menghargai pekerja keras seperti kita. Bukankah kalian semua hadir disini untuk memperjuangkan hak-hak? Melawan ketidakadilan dan penindasan yang selama ini kita hadapi? Bukan sekadar meminta, kita juga memberikan tanda kepada para penguasa, bahwasanya perekonomian terancam apabila kita menderita.” Serak suaranya mulai menyalakan api semangat.

“Masihkah mereka menganggap kita orang-orang pinggiran yang hanya mampu menengadahkan tangan setelah mengetahui dampak mogok kerja dari kaum kita? Ketidakstablian politik dan ekonomi? Pertumbuhan ekonomi nasional yang terhambat? Tahukah mereka? Untuk itu, hari ini, marilah kita pastikan kenaikan upah segera disahkan, jika perlu, bersama-sama gedung megah sarang penguasa di belakang, kita runtuhkan atas nama kesejahteraan! Merdekalah! Panjang umur perjuangan!” Elok sekali gestur tangannya, naik turun, mengepal, menunjuk-nunjuk menambah gairah kalimat-kalimat yang ia lontarkan dari balik corong pengeras suara. Ratusan pengunjuk rasa sibuk bereaksi. Gemuruh tepuk tangan terdengar merdu, bersahut-sahutan.

Dalam momen tersebut, tanpa disangka, salah seorang demonstran mengirimkan sebuah ban besar dengan api yang menyala-nyala ke depan gerbang gedung megah, yang konon katanya sarang para penguasa. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kawan-kawannya yang ikut terbawa emosi mulai mengikuti hal yang sama, melempar ban, melempar batu, bahkan berusaha masuk, menerobos pagar. Bendera dikibar-kibarkan, amarah mahasiswa membara, kesetanan mereka. Ricuh sekali, mengundang puluhan aparat, lengkap beserta persenjataan. Truk-truk yang mengangkut pasukan terus melintas, menderu congkak. Aparat membubarkan massa dengan paksa. Rentetan suara senapan serta ledakan tak henti-hentinya menggelegar. Suasana semakin tak terkondisi, demonstran berlari ke arah manapun yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Aparat menggedor-gedor pintu rumah penduduk, mencari dalang keributan.

Ingatkah kalian pada lelaki di atas bak mobil tadi? Ia cepat-cepat melangkahkan kakinya tanpa berpikir panjang menuju ke suatu tempat untuk bersembunyi. Sepertinya ia sudah memiliki rencana matang. Langkahnya terhenti pada tanah lapang yang sepi tiada penghuni.

“Hei, Bakir! Jauh sekali kau berlari!” Aku membuka suara. Pemuda itu menengok ke arahku, tersenyum tipis sembari mengenakan kostum penyamaran yang entah sejak kapan ia siapkan di bawah kerikil-kerikil lapangan. Topi ember, celana pendek yang lusuh terkoyak pinggir, serta sandal jepit hitam yang solnya terkelupas. Aku tahu, kali ini dia menyamar menjadi gelandangan atau pemulung atau apalah itu. Pilihan bagus, sederhana tapi mengecoh.

 “Tak ada yang menyuruhmu untuk mengikutiku, seharusnya kau tetap di trotoar, menunggu Pak Budi menjemput.” Bakir duduk menghadapku, dengan tangan kanan membersihkan rerumputan tepat di sebelah tempat duduknya. Kemudian ditepuknya rerumputan yang bersih dari debu itu, mengisyaratkan perintah padaku untuk duduk di sampingnya.

 “Aku bukan putri raja. Hanya menonton pertunjukan setelah itu dijemput Bapak pulang ke rumah? Siapa yang mendambakan hidup seperti itu? Betapa membosankan.” Kusodorkan sebotol air mineral pada Bakir.

“Terima kasih sudah repot-repot memberikan air mineral, Brina. Betul kau memang bukan putri raja, tapi kau putri semata wayang Pak Budi. Bapakmu itu jenderal aparat, satu ultimatum darinya bisa membubarkan massa, terbirit-birit mereka ketika melihat Pak Budi. Hidupmu nyaman Brin, tak perlu berlari kesana kemari menghindari kejaran pasukan, lantas hidup seperti apalagi yang kau dambakan?” Ucapnya seusai meneguk air beberapa kali.

“Ingin aku punya kehidupan seperti corong pengeras suaramu itu.”

“Ingin menjadi corong pengeras suara? Tak salah dengarkah aku?” Bakir mengangkat satu alis.

“Begitulah, hebat benar corong pengeras suaramu itu, kau dekap erat saat berlari menghindari kejaran pasukan Bapak, kau cengkram erat saat kau berorasi. Bagian terbaiknya, corong itu bisa menyuarakan aspirasimu dengan lebih kencang nan lantang, corong putih itu senantiasa tampak dalam genggamanmu tatkala kau beraksi, baik secara nyata maupun jepretan gambar dua dimensi. Perannya besar sekali.” Aku menunduk, bermain-main rumput.

“Kau ini sedang merendah atau bagaimana? Kau kira peranmu tidak besar? Artikel-artikelmu yang dimuat dalam beragam surat kabar itu laku keras! Setiap aku mengunjungi kedai kopi, selalu kudengar bapak-bapak yang membahas artikelmu itu. Entah terbitan lama atau baru, tak jenuh-jenuhnya mereka. Brin, kebolehanmu yang satu itu benar-benar kukagumi, sayang sekali aku tak punya, hanya pandai berbicara. Jadilah aku bermain kucing-kucingan dengan pasukan bapakmu.”

Aku memang gemar menulis, diam-diam, untuk mengisi waktu luang. Menuangkan isi pikiranku saja, agar orang lain memahami sudut pandangku. Artikel-artikel berisi kritikan itu seringkali memicu argumen afirmasi maupun oposisi dari para pembaca, memicu perdebatan, aku suka. Tapi tetap saja, aku ingin menjadi sosok di depan layar, bukan di belakang. Tak ada yang bisa menandingi atmosfir demonstrasi, seronok sekali. Apalah daya, profesi bapakku menghantui, tak mampu aku beraksi. Tak mau aku jadi buronan bapakku sendiri.

“Rumput tetangga memang lebih hijau.” Jawabku singkat.

“Aku bukan tetanggamu, Brin.” Tangannya berada di tengkuk, menggaruk leher yang tidak gatal.

“Itu peribahasa, dasar otak udang!”

“Udang itu mahal kan? Memang betul aku pantas dikatakan manusia berotak mahal, dan hei, aku baru memikirkan ulang kata-katamu. Apa kau bilang tadi? Mendekap dan menggenggam corong suara? Kalau kau ingin kuperlakukan seperti itu bilang saja, Brin! Kau juga inginkah senantiasa di sandingku? Baik di dunia nyata maupun jepretan foto?” satu sudut bibirnya terangkat. Kedua netranya melirikku beserta kedua alis yang naik turun.

“Menggelikan, tak kuasa lagi aku berbicara denganmu, Bakir. Matahari sudah mulai terbenam, aku harus pulang sebelum Bapak marah.” Aku berdiri, menepuk-nepuk membersihkan belakang gaunku.

“Baiklah, Cinderella harus pulang sebelum larut malam agar mantranya tak hilang, agar tak menjelma menjadi nenek sihir. Sampai jumpa, maaf aku tak dapat mengantarmu pulang, aku belum bersedia dieksekusi bapakmu. Aku masih menunggu artikel-artikelmu yang selanjutnya.”

“Kau juga hati-hati, Bakir. Aku masih menunggu aksi-aksimu yang selanjutnya. Aku menikmati pertunjukanmu.” Kulambaikan tangan, beranjak pulang ke rumah. Dasar Bakir, Cinderella mana yang menjelma menjadi nenek sihir? Pasti itu hanya akal-akalan untuk mengejekku. Surya perlahan kembali ke peraduannya, berangsur turun, cahaya jingga terbentang di ufuk barat, sungguh amat indah. Indah namun sedikit pilu, senja kali ini haru mengakhiri pertemuanku dengan Bakir, bak kicauan burung yang menjadi alarm berakhirnya mimpi indah.


Bulatan bercahaya putih menggantikan bulatan oranye, yang telah sepenuhnya tenggelam. Langit tak lagi jingga, kini hitam legam ditaburi bintang-bintang. Budi tengah menyesap kopi di teras rumah, marah-marah kepada anak perempuannya, yang juga anak perempuanku. Bunyi teko air di dapur kecil ini sama sekali tak menyamarkan amarah Budi, suaranya terdengar sampai belakang rumah. Penat kali aku ini, usai berberes rumah, masih saja harus mendengar keributan.

 “Perlu berapa kali bapak bilang? Janganlah kau dekati lelaki banyak cakap itu! Seharusnya kau sadar akan tanggung jawabmu, seharusnya bapak tak perlu mengingatkan berulang kali. Berbusa mulut bapak, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bakir bisa mencuci otakmu, mendoktrin hal-hal yang tak betul. Kau tak kasihan pada bapak? Bagaimana pula jadinya bila rekan kerja bapak melihatmu akrab dengan pembuat onar itu? Mau ditaruh mana muka bapak?” Kuintip sekilas, Budi menghela nafas panjang. Malang nasib anak gadisku. Berkali-kali bapaknya melarang, berkali-kali pula ia langgar larangannya. Setengah jam berlalu, Brina mendatangiku dengan wajah lesu, mencari pembelaan.

“Tak perlu risau, bapakmu akan kembali tenang esok pagi, kembalilah ke kamar dan lanjutkan kegiatan yang kau sukai itu, menulis artikel.” Aku tersenyum mengusap rambutnya.

“Darimana ibu tahu?”

“Ibu yang membersihkan seluruh bagian rumah ini Brin, tentu saja ibu menemukan kertas-kertas lusuh yang kau simpan di kolong ranjang itu. Lagipula kau tak perlu menyembunyikan sesuatu dari ibu, Brin. Ibu selalu berusaha untuk mengerti, sebab kau putri ibu satu-satunya. Begitupun dengan persoalan Bakir, terakhir ibu bertemu dengannya, berulang kali ia menunduk, senyum yang terulas di wajahnya tak kunjung pudar, sopan betul. Ibu tak masalah bila kau jatuh cinta dengan lelaki baik hati itu, kau hanya berada pada waktu yang salah. Salahkan saja penguasa-penguasa itu Brin, dia yang membuat bapakmu dan Bakir bentrok. Sungguh, Ibu harap masa-masa ini segera berakhir.” Brina mendekap lebih erat. Semesta turut mendengar sepertinya, menitikkan tetes tetes air mata.

Hujan turun semakin deras dalam petangnya malam, disertai angin kencang nan dingin. Brina kembali ke kamar, melanjutkan tulisan tapi hening, sepertinya sudah tertidur. Budi masih menikmati kopi, kali ini ia pindah ke ruang tamu, menghindari potensi masuk angin. Aku berkutat mengiris bawang-bawangan, menyiapkan bahan untuk memasak sarapan, agar esok hari tak kerepotan. Tak disangka, sosok itu datang dengan tergopoh-gopoh, mengetuk pintu belakang. Basah kuyup, terguyur hujan.

“Permisi ibu, Bakir bawakan makan malam untuk ibu sekeluarga.” Ia menyodorkan seplastik sup setelah kupersilahkan masuk. Aku tersenyum hangat, menerima pemberiannya. Aku melangkah menutup pintu di belakang Bakir, agar tak dingin. Leher Bakir dihinggapi nyamuk, tanganku tergerak mengusir. Namun, darah yang keluar dari lehernya semakin deras. Bakir jatuh, pisauku masih menancap di lehernya. Malang sekali, padahal aku hanya berniat mengusir nyamuk.

Tak ada orang, kuletakkan tubuh Bakir itu di aliran sungai belakang rumah. Airnya tinggi, arusnya kencang, menghanyutkan. Tak apalah, aku sudah tak perlu lagi mendengar perdebatan Brina dengan bapaknya. Rumah ini kelak kembali nyaman. Esok pagi ‘kan kukatakan pada anakku, bahwa Bakir telah hanyut di tempat lain, bukan lagi hanyut dengan keindahan hati milik Brina.

Sudah sewajarnya bukan? Lelaki tak hanya tenggelam pada satu hati, mungkin saja memilih ruang lain yang dianggapnya nyaman untuk hanyut dalam ketenangan. Meski aku tak tahu, menurut Bakir mana yang paling nyaman, antara Brina atau sungai deras itu? Tak apalah, yang penting ia tenang, aku tenang. Tak lagi terusik.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
4Suka4Banget
Show CommentsClose Comments

19 Comments

Leave a comment