Tangisan Sebutir Nasi

Salma Farikha


PUCUKMERA.IDJam makan malam telah tiba, saatnya keluarga Reni berkumpul. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dari ayah Reni untuk sebisa mungkin makan bersama di satu meja saat jam makan malam telah tiba. Ayah Reni merasa itulah waktu yang tepat untuk mempererat rasa kekeluargaan mereka.

“Ren, Reni! Ayo kita makan malam dulu!” teriak Ibu dari ruang makan kepada Reni yang masih sibuk bermain ponsel di dalam kamarnya. “Ren, ayo kita makan malam! Ibu sudah masak makanan kesukaanmu, nih.” Teriakan sang ayah yang sudah berada di meja makan menyusul.

Reni, seorang gadis belia yang baru saja duduk di bangku SMP itu cukup sulit untuk makan, apalagi jika menunya tidak sesuai dengan apa yang dia suka. Tanpa memberi jawaban, Reni langsung menuju meja makan. Begitu dia sampai di meja makan, Reni masih berdiri di samping ayahnya sambil melihat apa saja makanan yang tersedia di meja makan.

Ayah Reni menyambutnya dengan tersenyum, “Lihatlah, Ren! Ibumu sudah memasak sup ayam dan menggoreng kerupuk kesukaanmu, ayo duduk dan makan!”

Reni pun duduk di kursi sebelah kanan ayah, tepat berada di hadapan ibunya. Setelah ibunya mengambilkan makanan, mereka pun menikmati menu makan malam dengan asyik, diselingi beberapa obrolan ringan. Namun sayang, baru beberapa suap Reni menikmati nasi putih dengan sup ayam dan  kerupuk, ia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya.

“Kenapa Ren? Udah kenyang?” tanya Ibu.

Reni mengangguk.

“Hmmm…Reni kebiasaan deh,” sahut Ayah. Rupanya Ayah sudah tak asing lagi dengan perilaku anak perempuan satu-satunya itu. Setiap hari, Reni hampir tidak pernah menghabiskan makanannya.

“Reni, dengarkan Ayah.” Ayah Reni ikut meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya, “Kamu tau? Nasi bisa menangis kalau kamu perlakukan seperti itu terus.”

Reni yang mendengar ‘nasi bisa menangis’ langsung mengernyitkan dahi.

“Apa? Nasi menangis? Ayah pasti bercanda”

“Ada sebuah kisah, Ren. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat pernah mendengar suara tasbih dari makanan yang mereka makan. Jadi, sebenarnya ‘nasi yang menangis’ hanya perumpamaan saja. Bahwa bisa jadi nasi bisa merasakan kesedihan saat kita menyia-nyiakannya. Seperti yang sedang kamu lakukan, tidak menghabiskan makanan dan akhirnya makananmu harus dibuang, bukan dimakan habis”

Mendengar penjelasan ayahnya, ia langsung teringat pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolahnya. Gurunya pernah membacakan sebuah ayat Al-qur’an yang berbunyi:

السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لاَّتَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيْمًاغَفُوْرًالَهُ السَّمَاوَاتُتُسَبِّحُ

Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS al-Isra: 44)

***

“Tok…tok…tok!” bunyi pintu dari arah depan, “Assalamu’alaikum!”

“Sepertinya ada tamu. Ayo, Yah! Kita lihat siapa yang datang.”

“Ayo, Bu!” Jawab Ayah.

Kini tinggallah Reni seorang diri di meja makan. Tiba-tiba, terdengar suara isak tangis. Reni melirik ke sekelilingnya, namun ia tak menjumpai siapa-siapa.

“Hu…hu…hu” suara tangisan kembali terdengar.

“Siapa yang menangis ya? Atau hanya perasaanku saja?”

“Hu…hu…hu. Kenapa kau begitu kejam kepadaku, Reni? Apa salahku sampai kamu tega membuang dan menyia-nyiakanku?”

Reni tersentak. Badannya merinding dan gemetar. “I-itu suara siapa? Haloo? Apakah ada orang lain disini?” Reni memandang ke sekelilingnya. Namun, lagi-lagi dia tak menjumpai seorang pun.

“Hai manusia, lihatlah orang di luaran sana! Masih banyak yang membutuhkanku, kalau kau memang tak suka denganku, janganlah kau perlakukanku seperti ini!”

“Tidaaak! Stop, stop! Ayah, ibu, aku takuut..,” teriak Reni.

“Kenapa kau takut kepadaku?”

Reni semakin gelisah, “Sebenarnya kau ini siapa? Tampakkanlah wujudmu kepadaku!”

“Aku berada tepat di depanmu, Lihatlah!”

Reni kaget sekali. Ia sampai merasa jantungnya hampir copot. Reni tak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Sisa nasi di piringnya yang mengeluarkan suara tersebut. Ia menepuk-nepuk pipinya, berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi.

“J-jadi cerita tentang nasi yang menangis itu benar adanya? K-kalau begitu maafkan aku ya, Nasi. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka kalau kau akan mendatangiku seperti ini. Aku sungguh menyesal, Nasi. A-aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. T-tolong maafkan aku, Nasi!”.

“Aku tidak percaya dengan janjimu itu.”

“Aku bersungguh-sungguh, Nasi. Percayalah padaku! Aku benar-benar akan menepati janjiku ini padamu.” Reni mulai terisak dengan keras. Ia merasa sangat menyesal.

***

“Reni, bangun! Kenapa kamu tidur sambil menangis?”

Reni terbangun dan langsung memeluk ibunya. Air mukanya terlihat sangat lega, “Ternyata hanya mimpi, syukurlah”

“Bu, aku berjanji kepada diriku sendiri, aku tidak akan membuang nasi atau makanan apa pun lagi. Aku juga berjanji akan makan makanan apa saja yang telah ibu masak, maafkan aku ya, Bu. Kalau selama ini aku sering merepotkan Ibu saat soal menu makanan”

Mendengar perkataan Reni, Ibu tersenyum. Ibu ingin melanjutkan penjelasan Ayah saat makan malam tadi, tapi Reni sudah terlihat mengantuk. Jadi mungkin ini saat yang tepat.

“Reni, Rasulullah juga memerintahkan agar jangan menyisakan makanan sedikit pun, walaupun itu sebutir nasi yang jatuh. Beliau menyeru untuk mengambil makanan yang jatuh tersebut, membersihkan kotoran yang ada, kemudian memakannya. Karena kita tidak tahu di mana letak keberkahan makanan itu, apakah terdapat pada makanan yang telah kita makan atau ada pada sisa makanan di piring atau bahkan yang jatuh.”

Ibu terdiam sejenak sebelum melanjutkan penjelasan, “Bukan berarti kita harus memakan makanan yang sudah kotor, tapi dari situ terlihat betapa Rasulullah begitu memuliakan makanan, Reni. Kita harus meneladaninya”

“Baik, Bu. Reni akan berusaha” jawab Reni dengan sisa isakan tangis.

“Ingat dan janji ya! Jangan membuang dan menghambur-hamburkan makanan. Makanlah apa yang sudah ibu siapkan karena masih banyak orang di luar sana yang bahkan kesulitan mencari makan”

“Lain waktu kita bantu mereka, boleh, Bu?”

Ibu menatap Reni sejenak dan kembali memeluknya, “Boleh sekali, Reni. Terima kasih sudah menjadi anak yang baik, ya!”


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
2Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment