Rino Hayyu Setyo, Jurnalis, Mahasiswa Pascasarjana UM dan Siswa Sekolah Indonesia Bernalar.
Sebagai masyarakat yang tidak pernah mengunyah ‘camilan’ kelas bahasa, maka jajanan baru ditelinga ini mungkin menarik perhatian. Setiap tahun, camilan wajib penunggu tahun baru ialah jajanan bermerek ‘resolusi’. Renyah dan gurih di gendang telinga. Apalagi bumbu dan topping jajan ini ialah ‘kampanye’ dengan mesin khusus, Instagram, WhatsApp, Facebook, dsb.
Kerenyahan yang bertahun-tahun dihidangkan dalam meja perayaan tahun baru mendapatkan tempat khusus di kepala. Melalui terowongan kecil telinga. Lantas sebenarnya apa itu resolusi?
Rasa penasaran tentang makna resolusi, saya dapatkan pengertian melalui KBBI online. Mesin Google itu menyebut jika resolusi ialah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat. Bahkan, untuk memberikan tuntutan terhadap sesuatu hal perkara.
Misal, 5 atau 6 tahun lalu saat masih asyik dalam pembahasan aksi massa, senior-senior kami juga selalu menuliskan ‘Tuntutan atau Resolusi’. Jauh, dari masa itu ternyata KH Hasyim Asy’ari juga menyampaikan itu untuk mengusir Belanda, yang biasa dikenang dengan Resolusi Jihad. Sekarang diperingati menjadi Hari Santri Nasional pada 22 Oktober.
Kini setiap orang yang memegang berbagai akun media sosial sibuk mengucapkan: 1) Terima kasih 2019; 2) Resolusi 2020; 3) Resolusinya lebih baik lagi tahun mendatang.
Melihat keramaianya itu, saya ingin bertanya beberapa hal? 1) Apa yang dimaksud resolusi atau harapan; 2) Jika berharap tahun kedepan, mengapa tidak ada pemberitahuan laporan tanggung jawab / target tahun sebelumnya? 3) Sebenarnya apa yang memang disiapkan untuk tahun baru?
Saya curiga setiap apa yang disampaikan, kita tidak pernah belajar memahaminya. Mencari arti dan maknanya. Ditambah lagi, sindrom memilih kata indah sedang menjalar dalam nadi.
Berkelindannya apa yang kita sampaikan ialah informasi. Di dunia maya, hampir kita tidak tahu mana yang bermakna dan tidak. Semua bercampur aduk jadi satu. Sampai sulit dibedakan antara sampah informasi atau pengetahuan.
Kehati-hatian dalam mengungkapkan informasi, saya jadi teringat kelas Komunitas Indonesia Bernalar di Malang. Tentang berbahasa dari konsep Saussurian. Hal yang terpenting dalam bahasa ialah struktur dan maknanya. Dia adalah simbol-simbol yang berbunyi, terstruktur dan bermakna. Oleh karenanya, simbol itu disampaikan.
Lalu dalam melihat kemajuan mesin yang tak bisa ditolak ini, maka pesan Matthew Lipmann tentang paradigma pendidikan reflektif di masyarakat. Sebuah praksis pendidikan yang merangsang anak untuk terus berlatih, mencoba, dan mencipta sepanjang hayat. Ini perlu dilakukan bukan hanya untuk menjadi masyarakat yang gemar belajar (learning society) namun diharapkan bisa menjadi masyarakat penyelidik (community of inquiry).
Jadi, anak-anak kita tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam media sosial yang sulit dipisahkan dari tangannya melalui berbagai akun yang dimiliki, termasuk ingin berkata resolusi. Tak hanya menyampaikan, tapi semangat penyelidik ini tentu juga agar masyarakat terbebas dari informasi hoaks, minimal memilih mana informasi yang valid. Sekarang eksis disebut dengan literasi media.