Tak Lagi Berarti

Clean Qurrota


“Kamu masih suka latihan taekwondo?” tanyamu.

Bahkan setelah beberapa tahun kita tak bersua kamu masih saja menanyakan sesuatu yang tidak penting seperti itu.

“Masih,” kataku lirih.

Sungguh, aku betul-betul geram atas semua ini. Kamu masih terus bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Kita masih saja berlari beriringan mengelilingi taman kota. Putaran kedua dengan kecepatan sedang, tidak cepat ataupun lambat. Sesekali kau memandangi wajahku, menatap lekat-lekat. Aku? Masih saja pemalu untuk sekedar menengok ke arahmu. Ah, sudah sejak dulu seperti itu.

Tak lama kemudian, setelah pada putaran keempat, aku memutuskan berhenti. Duduk di antara pepohonan. Kamu lantas mengikuti. Memilih duduk bersisihan denganku. Menyeka peluh yang berjatuh dari dahimu. Lima tahun rasanya tak mengubah apa pun. Kamu masih saja seperti dulu. Diam tapi peka keadaan.

“Jam tangan yang kau gunakan kenapa mirip sekali dengan jam pemberianmu kepadaku dulu? Kamu membelinya sepasang?” tanyamu lagi.

Aku spontan melirik ke arah jam tangan yang kugunakan. Rasanya jantungku berdegup sangat kencang. Benar. Kenapa aku baru mengingatnya. Jam ini memang mirip sekali dengan jam pemberianku. Tapi tunggu…

“Aku boleh bertanya?” tanyaku ragu.

“Boleh, asal jangan bertanya siapa penemu alfabet, aku tidak mengingatnya.” katamu mencoba melempar candaan meski terdengar memaksakan. Aku, demi melihat sorot matamu kemudian tertawa lirih, sangat lirih.

“Apa kamu masih menyimpannya?” Kali ini pertanyaanku melesat begitu saja. Tanpa perhitungan. Sepertinya tepat sasaran, karena sepersekian detik kemudian mimik wajahmu berubah.

“Pertanyaan macam apa itu? Jelaslah aku masih menyimpannya. Juga surat-surat yang kau tuliskan untukku. Semuanya masih rapi di kotaknya.” katamu tegas.

Demi mendengar kata-kata yang begitu jelas keluar dari mulutmu, rasanya ada sedikit rasa senang menyelimutiku. Namun, setelah kata terakhirmu itu, tidak ada lagi kata yang bisa keluar dari mulutku. Beku, rasanya lidahku kelu.

Sial, kenapa aku selalu dihadapkan pada persoalan di mana aku tidak punya nyali untuk memperjelas semua ini. Bahkan hanya untuk sekadar bertanya, “Kenapa masih kau simpan?” Aku mengutuk diriku sendiri. Mati-matian bersikap biasa-biasa saja demi mendengar hal yang begitu membahagiakan atau mungkin tidak. Bahwa kau masih menyimpannya. Kau, masih menyimpan semua pemberianku.

Selang beberapa menit kemudian, hpmu berdering. Kemudian kamu melihat sekilas ke arahku.

“Ibu menelfon, kuangkat ya?” Aku hanya tersenyum tipis.

“Silakan.”

Ingatanku kemudian melayang ke masa enam belas tahun yang lalu.

Pagi itu langit cerah. Hari pertama masuk sekolah bagi murid kelas satu SD di sebuah desa. Seorang anak perempuan berjalan menyusuri koridor sekolah dengan mendekap sebuah boneka. Lalu, tidak sengaja seorang anak laki-laki yang sedang berlari, menabraknya. Gadis kecil itu terjungkal. Lututnya memar. Si anak laki-laki kemudian segera menolongnya, mengulurkan tangannya, membantunya berdiri.

“Azzam.”

Kata anak laki-laki yang sekarang berdiri tepat di samping gadis kecil yang sedang meringis memegangi lututnya.

“Wow, lututmu memar. Pasti sakit ya? Sepertinya Ibuku bisa menyembuhkannya. Dia di sana, kamu mau?”

Gadis kecil hanya mengangguk.

Si anak laki-laki itu membawa gadis kecil ke Ibunya. Sang Ibu, setelah mendengar penjelasan dari anaknya, kemudian sigap mengobati luka memar di lutut gadis kecil.

Hari itu adalah hari dimana aku berkenalan denganmu sekaligus ibumu. Sungguh hari yang cukup menyenangkan.

“Chika? Aku sudah selesai menelpon. Kamu melamun?” tanyanya sambil melambai-lambai kan kedua tangannya di depan mukaku.

Astaga, tanpa sadar aku membuka lagi luka itu.

“Tidak, hanya melihat sesuatu di sudut sana.” aku menunjuk sudut lapangan. Mencoba menutupi kenyataan bahwa aku memang benar melamun.

“Aku sudah harus pergi, kamu tidak apa-apa kan kutinggal duluan?”

Hahaha. Pertanyaan aneh setelah lima tahun kamu pergi.

Aku hanya mengangguk.

“Aku duluan, sampai bertemu di lain waktu.”

Langkah kakimu menjauh. Sayup-sayup kulihat kamu sempat menengok ke arahku beberapa detik. Aku sengaja tidak menengok. Takut hujan lokal di mataku tidak terkontrol. Baru setelah punggungmu berbalik, aku berani menatap lekat-lekat kepergianmu. Pertemuan kali ini tidak membuahkan kejelasan apapun. Justru semuanya semakin abu-abu.

Asal kamu tahu, setelah kamu pergi dari tempat itu, aku tidak bisa serta merta beranjak. Aku bertahan di sana, satu jam atau bahkan lebih. Perasaan yang ada dalam hatiku beberapa tahun belakangan tidak bisa kupaksa pergi. Ia tetap di sana meski sudah tahu kamu tidak akan kembali.

Ya, mungkin kembali, tapi bukan aku lagi rumahnya. Apa kamu tidak tahu bahwa sampai hari ini aku masih menunggumu? Menunggu sebuah kesia-siaan yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Karena bagimu, semuanya tak lagi berarti. Ah, sungguh menyedihkan.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment