Surat untuk Pi’i


Rilo Pambudi



Jika Anda pernah membaca atau menyaksikan kisah-kisah memukau tentang petualangan masa kecil, tetang fantastisnya dunia imajinasi anak-anak, atau tentang megahnya cita-cita masa kecil, barangkali banyak dari kisah-kisah itu tak pernah jauh dari latar sekolahan. Ya, sekolahan. Sekolah dasar, tempat yang jika dikenang adalah tempat di mana imajinasi, semangat, cita-cita dan gairah petualangan itu dilahirkan dan mulai dibentuk.

Dari sekian panjang kisah tentang masa sekolah dasar yang pernah ku jalani, beberapa serpihannya pernah kutulis dalam bentuk surat-surat untuk sahabat-sahabat kecilku dulu. Sahabat-sahabat sekolahku di SDN pesisir 02, sebuah kampung nelayan di pesisir Utara Jawa Tengah.

Surat-surat itu tak pernah secara langsung kukirimkan kepada mereka, melainkan kusimpan sendiri walaupun sudah beberapa kali aku menulis surat untuk mereka satu per satu. Isi surat-surat itu di antaranya tentang kerinduan, nostalgia, atau sekadar basa-basi omong kosong mencari perhatian.

Salah satu surat yang ingin sekali kusampaikan adalah Surat Kepada Pi’i, Ahmad Shofi’I Bin Mat Icik. Anak tercerdas di kelas kami.

Kepada Pi’i sahabatku,

Pi’ bagaimana kabarmu? Terakhir kali kudengar kabar tentangmu, kau merantau ke Kalimantan. Kabar-kabar yang kudengar tentangmu selalu hanya sebatas di mana dirimu berada. Sedang pekerjaanmu aku tak tahu. Simpang siur kabar tentangmu. Ada yang bilang kau telah menikah dan punya satu anak. Itu juga aku tak begitu saja percaya. Siapa istri dan anakmu, aku tak tahu jelasnya. Tentang pekerjaanmu sebelumnya, di Jakarta, aku juga tak tahu. Tentang perahu bapakmu yang kau gunakan melaut sejak lulus SD dulu? Heh, masihkah? Siapa yang menjalankan jika sekarang kau di Kalimantan, sejak kau di Jakarta tepatnya. Ah sudahlah… semoga kau baik-baik saja, dan selalu dalam lindungannya di mana pun kau berada.

Ngomong-ngomong soal perahu Pi’, ingatkah kau tentang pelajaran menggambar di SD dulu? Kau dan Luthfi yang paling juara soal menggambar. Gambar Joko sebenarnya juga tak buruk, tapi sayang ia tak pandai mewarnai. Jika anak-anak umumnya selalu menggambar pemandangan gunung, sawah, sungai dan tetek bengeknya, kita menggambar perahu. Gambar perahu kita waktu itu bermacam-macam, mulai dari yang berlayar, bermesin, Cantrang, Stombut, bahkan Titanic. Selalu tentang perahu dan laut. Bu Markonah dan pak Bisri sampai muak dengan kita.

“Anak-anak ini, dari lahir mereka sudah dimandikan air asin. Setiap hari makan ikan laut. Melihat laut dan naik perahu, sampai sekolah masih juga gambar perahu.”

Ingat kau kata-kata pak Bisri yang itu? Namun yang paling mengesankan adalah ketika kita berlomba-lomba dan saling membanggakan gambar perahu milik bapak kita masing-masing. Gambar andalan pasti tentang perahu bapak.  Ah ya, perahu bapakku yang paling kecil jika dibandingkan perahu bapakmu, atau milik bapaknya Huda yang benderanya masih terlihat kibarnya meski telah mendekati cakrawala, atau perahu milik bapaknya Joko yang katanya, jika melaut muat sampai dua ton ikan kembung. Setiap perahu memiliki ciri gambar dan semboyan-semboyan yang dilukis pada lambungnya, dalam hal itu perahu bapakku tak mau kalah, walaupun kecil tapi semboyannya sangat membara. Mengesankan. Sampai pada detail itu pula kita selalu menggambarnya.

Joko sekarang sudah punya anak Pi’, menikah dini dan sekarang telah membangun rumah di tanah bekas tambak dekat rumahku. Huda si klowor itu, ke manakah dia sekarang? Sama sepertimu, aku tak tahu kabarnya. Tentang si klowor itu kau pasti tak lupa peristiwa hari H lomba renang se-kabupaten tingkat sekolah dasar dulu. Aku sering terpingkal kalau mengingatnya. Kita sampai repot-repot harus melabrak rumahnya karena sang juara renang itu ternyata sangat bodoh. Dia mengira bahwa lomba renang se-kabupaten itu akan diselenggarakan di sungai dekat sekolah kita. Dan karena sungai sedang banjir, dia kemudian takut dan tidak hadir pada hari H perlombaan, padahal bus menuju kolam renang Kota sudah disediakan. Atas perintah Pak Bisri, kemudian kita harus berbondong-bondong ke rumahnya dan membujuknya, sial. 

Surat ini kutulis untukmu yang tak pernah kujumpai lagi sejak kita lulus sekolah dasar dulu. Kau siswa tercerdas di kelas, kenapa kau tak berminat meneruskan sekolah dan malah melaut? Jika soal ekonomi, bukankah kita semua sama? Anak nelayan memang punya apa? Tapi tidak ingatkah kau kata Bu Tri dulu waktu kita mau ujian sekolah.

“Kalian anak anak para nelayan, jangan sampai karena tak punya uang kalian tak sekolah. Kalian dianugerahi Tuhan otak yang cerdas, otak yang sejak bayi diberi nutrisi dari terasi, udang segar, ikan kembung, rajungan bahkan kepiting bakau, kalian tidak kalah dengan anak-anak kota. Sekolahlah, sekolah yang tinggi dan gapai cita-cita kalian.”

Kau ingat itu, dan kaulah yang selalu peringkat satu di antara anak-anak nelayan yang amis itu Pi’. Yang selalu bau lumpur setelah jam istirahat karena tak pernah punya uang jajan kemudian menghabiskan waktu istirahat dengan mandi di sungai.

Kudengar bahwa Pak Mat Icik sebenarnya telah memasukkanmu ke SMP N 1, tapi hanya satu bulan kau memberandal, berhenti sekolah dan malah ikut melaut bapakmu. Jelas bukan karena bapakmu tak mampu, itu pilihanmu. Memang, aku ingat betul cita-cita kecil kita, anak-anak para nelayan dulu. Kita selalu ingin jadi nelayan dan pelaut ulung seperti bapak kita. Jika guru bertanya tentang apa cita-cita kalian nanti, kita semua pasti menjawab ingin jadi seperti bapak. Nelayan atau paling mewah nahkoda kapal. Joko, Huda, Diki, Hanif, dan Wawan juga kemudian menyusulmu mewujudkan cita-cita kecil itu.

Sejak bapakku meninggal, perahunya telah dijual. Dan oleh ibuku aku diminta belajar dengan tekun dan dilarang jadi nelayan. Sejak itu aku bekerja di pasar ikan setiap subuh dan sering bertemu ibumu yang menjual hasil tangkapanmu sampai aku lulus SMA. Setelah itu aku meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan di Kota dan melanjutkan sekolah. Kini aku hampir sarjana, sedikit lagi setelah pendidikanku selesai aku berniat mengunjungi anak-anak SD N 02 Pesisir di kampung nelayan kumuh itu. Kuharap nanti ketika aku pulang aku bisa menemuimu juga di sana.

Salam. Kawan Kecilmu (Lilo).

Surat kecil untuk Pi’i adalah satu dari serpihan catatan yang berisi kenangan masa kecil kami di SD N 02 Pesisir. Kisah tentang cita-cita kecil anak-anak nelayan yang mungkin tak fantastis, namun memikat jika dikenangkan. Sekian.

What's your reaction?
1Suka3Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Farkhan Nooriswar
    Posted July 31, 2019 at 1:27 pm 0Likes

    Sad 🙁

Leave a comment