Surat dari Malaka


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Semoga sehat dan selamat senantiasa melingkupi hari-harimu. Segenap kebahagiaan dan rejeki yang berlimpah menyeruak di dalam kehidupanmu. Ibu, apa kabar? Bagaimana tulisan tanganku? Bagus, kan? Sesungguhnya ada yang lebih bagus dari pada tulisan tangan ini, Bu. Yakni jari jemariku. Ia mampu dengan lincah menuai kata demi kata diatas secarik kertas, yang kini mungkin sudah ditanganmu yang bisa jadi indah juga itu.

Oh iya, ada juga yang lebih indah daripada jari jemariku dan jemarimu. Ialah fajar di laut selatan. Indah sekali, Bu. Percayalah. Aku bisa dengan jelasnya merasakan bau ombak yang perawan bangun membelai belai pantai. Juga karang karang yang mulai tampak runcing runcingnya. Semua tetumbuhan seperti bersiap untuk menyambut sang ratu jagad raya. Semua seolah bersiap sedia. Terkadang ada angin yang melambai lambai menyejukkan suasana sekitar. Burung burung bangun, pasir pasir menghangat. Langit seperti membuka sedikit demi sedikit tirainya.

Jika saja kau tau Bu, ternyata garis itu benar benar ada. Garis yang memisahkan laut dan langit, itu benar benar nyata adanya. Hingga Sang Suryalah yang menyatukan mereka berdua. Seolah merajuk antara keduanya untuk saling berdamai, bersalaman, berpelukan, kemudian menyeruakkan warnanya masing masing untuk berbaur, bergelut dalam keindahan. Itulah fajar pertama yang kulihat, Bu. Fajar di tepi pantai selatan yang kulihat setelah sekian lama mataku terpejam.

Ibuku yang tersayang, sebulan ini aku telah mengingat semua kejadian 10 tahun yang lalu. Aku telah berhasil merangkai semua jalan cerita itu hingga sampailah aku mengirimkan surat ini padamu. Ibuku yang tak pernah ku tau bagaimana rupa cantikmu, Bapak paruh baya yang menemukanku terapung di atas sekoci itu benar-benar baik padaku. Aku ingat betapa tangannya yang hangat telah mengangkut tubuhku yang telah membiru menuju bahteranya yang tak terlalu besar itu. Aku dapat mendengar riuh orang terkaget-kaget menemukan seorang anak yang tangannya terikat diatas sebuah sekoci, terombang-ambing di laut lepas. Orang bilang mungkin aku adalah selundupan, atau korban dari perompakan yang memang sering terjadi di jalur niaga selat Malaka. Aku tak peduli, Bu. Sungguh aku tak peduli. Aku hanya memikirkan satu hal saat itu. Sesuatu yang terasa mengganggu dan benar-benar menakutkan. Selama itu, hingga seseorang mengangkutku aku baru sadar bahwa semuanya benar-benar gelap. Sesekali mungkin cahaya seperti sekelebatan menerobos pandangku, namun semua sia-sia. Aku tak menangkap apa-apa, bahkan aku merasakan retinaku telah berusaha sekeras mungkin untuk menangkap cahaya, sayangnya itu semua percuma. Aku hanya merasakan dahaga, kicauan burung, meliuk-liuknya pijakan karna ombak yang bergoyang, dan hawa mulut Bapak itu, membacakan ayat-ayat Al-quran ditelingaku seolah mencoba memberiku kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Dan ia berhasil.

Semenjak itu pula aku telah menjadi warga Tanjung Beringin, anak  Haji Samun bin Khoirudin. Seorang nelayan kapal ilegal terkemuka di Desa itu. Terlepas dari piciknya pekerjaannya Bu, dia adalah lelaki tua yang sangat menghargai waktu, membuatku menjadi orang yang disiplin. Dia tak peduli apakah aku buta atau pikun sekalipun, Haji Samun akan tetap memperlakukanku layaknya seseorang yang waras, seseorang yang normal. Istrinya selalu memperhatikan kesehatanku. Makanku tiga kali sehari ditambah dengan cemilan malam sebelum tidur. Mereka merawatku seperti putrinya sendiri, bahkan mereka tak pernah menanyakan darimana asalku, siapa namaku, siapa ibuku, dan lain sebagainya. Mereka menamaiku Malaka, sesuai dengan nama selat dimana aku ditemukan. Malaka binti Samun.

Ibuku yang senyumnya manis. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat itu? Aku sempat terkekang oleh kondisi yang ada. Semuanya membuatku terjebak dalam keluarga yang sudah terlampau sempurna. Aku memiliki kakak baik, adik yang menggemaskan, bahkan orangtua yang mendidik dengan kasih sayang. Semua terasa seperti mimpi, Bu. Sayangnya saat itu aku tak mengingat satupun kejadian yang telah kualami hingga aku sampai di keluarga ini. Bahkan aku tak sekalipun mengingatmu. Namun, ada ruang hampa di hatiku, Bu. Setiap malam aku harus bermimpi tentang tanganku yang terikat, mulutku yang dibungkam, dan wajahku yang lebam-lebam. Satu malam aku bermimpi dikoyak oleh buaya, malamnya lagi aku dililit oleh ular, dan malam malam selanjutnya berganti pulalah hewan yang menyiksaku. Tiap kali aku terbangun, maka wajahku telah dibanjiri oleh air mata, bulu kudukku berdiri dan seluruh ruangan terasa sangat pengap seperti ada tungku api dibawahnya. Ada sesuatu yang hilang, Bu. Sesuatu yang sangat penting untuk hatiku yang seolah terpotong ini. Sebuah potongan yang entah dimana Tuhan menyembunyikannya. Sebuah potongan yang tak pernah kutau bentuk, aroma serta suaranya. Setiap yang kutau, setiap kali mataku dibanjiri oleh air mata, ia seperti sedikit menangkap cahaya yang entah darimana datangnya. Sekilas menenangkan, kemudian membuatku kalut dalam pilu yang membiru. Membuatku meringkuk lemas, memeluk lutut, dan bergumam tak tentu arah. Seperti merindu pada diri sendiri, seperti merindu pada kesunyian yang menyayat-nyayat hati.

Ibuku yang lembut hatinya, suatu hari ada seorang lelaki datang padaku. Ah.. bukan datang, ia menyelinap, menarik tanganku dan membawaku berlari menjauh dari rumah. Kakiku yang telanjang sesekali tertusuk batu batu yang tajam, perih. Tapi dia tak mau berhenti berlari. Inginku berteriak, namun malam seakan mencekik tenggorokanku yang masih kering. Aku diculik, Bu. Dia terus terusan berlari, entah sampai mana aku tak tau. Yang jelas kakiku sudah lemas. Tepat disaat aku terjatuh, diapun berhenti, meninggalkanku bersama angin yang tenang, pasir yang dingin, dan deru ombak yang mengalun lirih. Sesekali aku bertanya padanya siapa kamu? tapi tak kunjung ia menjawab. Dia berdiri tepat disampingku, dapat kurasakan hawa hangat dan tarikan nafasnya yang masih tersengal-sengal. berapa umurmu sekarang?, katanya memecahkan keheningan. Kujawablah dua puluh tiga, kira kira. Kamu siapa? Kenapa kamu menculikku?.

Aku menolongmu, tandasnya. sudah lima tahun ini aku memperhatikanmu bersama keluarga Haji Samun. Aku ada di kapal itu ketika kamu diangkat dari sekoci lima tahun yang lalu. Haji Samun akan mengirimmu ke Malaysia segera, Mala. Kamu harus berhati-hati. Saat itu aku merasakan hal yang aneh, Bu. Mengapa dia memperhatikanku selama lima tahun ini. Siapa dia sebenarnya. Jika memang benar aku akan dikirim ke Malaysia bukankah itu sudah setimpal dengan apa yang Bapak berikan padaku selama ini, Bu. Tapi aku sadar sekarang, pikiranku memang tak jernih waktu itu. Aku telah terjebak, benar-benar terjebak. Dia bilang aku bodoh, umat manusia mana yang mau di jual kepada orang lain. Dijadikannya budak, ataupun pelacur. Mana ada umat manusia yang suka rela menjadikan dirinya seperti itu.

Lelaki itu memberikanku petunjuk Bu. Dia memberikanku sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh orang lain. Sesuatu yang membantuku menambal hatiku yang terpotong. Sesuatu yang tenang setenang angin yang melambai lembut, bebarengan dengan ombak yang kian lembut menderu pantai. Dia bilang padaku bahwa malam itu ada satu bintang dari selatan yang bersinar terang, suatu hari nanti dia menginginkanku untuk juga menikmati terangnya. Memecah kegelapan di daratan yang rapuh ini. Menuntunku menuju sejatinya asa dan kehidupan yang seharusnya. Dia menitipkan sesuatu yang hangat di dadaku, Bu. Dia memberiku cinta, mata, dan sebuah kantong yang dia temukan di sekoci yang membawaku lima tahun yang lalu.

Malam itu merupakan malam terakhirku bersama keluarga Haji Samun. Sebab aku telah diculik oleh Lelaki yang bernama Falah, ia membawaku malam itu juga keluar dari Desa menuju suatu tempat yang sangat jauh, menyebrangi pulau dan memasuki wilayah yang tak seorangpun kami kenal. Lusanya ia mempersuntingku, oleh sebab itu ia memberiku cinta, Bu. Cinta yang suci dan tulus, sebuah cinta yang berbeda daripada cintanya keluarga Haji Samun padaku. Cinta yang berhasil menambal separuh hatiku yang terpotong. Hingga hanya menyisakan sedkit lubang saja. Ibu, jika kau bertemu dengannya maka kau akan merasakan hangat cintanya membanjiri sanubarimu, melebarkan senyummu dan membesarkan rasa syukurmu.

Namun, sebulan kemudian dia berkata padaku bahwa cintanya akan berubah menjadi cinta yang abadi sebentar lagi. Sesuatu yang jahat telah menyerang paru-parunya, Bu. Sebab itulah sering kudengar nafasnya tersenggal-senggal dan batuk-batuk. Dia bilang sakitnya telah lama ada sebelum dia bertemu denganku. Semuanya telah ia perkirakan, termasuk rencananya untuk memberikan matanya kepadaku setelah dia mati. Tangisku pecah malam itu di tubuhnya yang kurasa semakin kurus. Sesekali aku memakinya sebab tak pernah memberitahuku perihal ini. Tapi dia hanya membelai rambutku dengan lembutnya, seperti ombak yang menyentuh pantai di malam kita bertemu. Seminggu kemudian barulah ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan teratur, dengan dua kalimat Syahadat yang dia lantunkan perlahan meskipun bibirnya gemetar dan air matanya jatuh perlahan. Tangannya menyentuh ubun-ubunku, dan berakhirlah perjalanannya di dunia ini. Dengan menghadiahkanku sepasang mata, sekaligus sebuah kantong yang baru sebulan lalu aku buka.

Ibu, betapa dahsyatnya gelombang panas di hatiku tatkala kubuka kantong lusuh itu. Sebuah buku catatan kecil dan beberapa kapsul warna merah di dalam plastik. Kubaca lembar demi lembar buku catatan kecil itu. Kata obat, psikiater, khayalan, melukai diri, hingga skizofrenia berkali kali disebutkan dalam buku catatan itu. Berkali-kali hingga kepalaku berat, seperti menggali memori yang tersisa di otakku yang kecil ini. Apapun itu aku telah menemukan secercah petunjuk tentang kehidupanku sebelumnya. Tertera dihalaman 29, tertanggal 6 Januari 2000, nama lengkapku adalah Nur Cahya Azizah Putri, Perempuan, tempat tinggal di Medan, Sumatera Utara. Mengidap gangguan mental sejak berusia 5 tahun. Skizofrenia tepatnya, memiliki 6 teman khayalan, Miko, Kara, Tralala, Mahar, Kisa, dan Banyu. Terobsesi pada laut dan suka memakan rumput. Sebab buku itulah aku juga akhirnya mengetahui namamu dan alamatmu. Sebab itu pula aku memberanikan diri mencarimu, mengirimkan surat padamu. Aku percaya selama ini sesuatu telah kau bawa, Bu. Sesuatu yang akan menambal lubang dihatiku. Lubang yang membuat tahun-tahunku penuh dengan kekosongan dan kegalauan yang teramat dalam.

Apabila surat ini telah sampai padamu, kuharap kau juga akan berusaha menemukanku. Jikalau penyebab dari semua ini adalah penyakitku, maka kini kau tak usah risau. Sebab aku telah sembuh seutuhnya, bahkan kini aku bisa melihat segalanya, sudah tak ada lagi luka-luka ditubuhku, sudah tak lagi aku memakan rumput atau meminum air laut seperti yang ada di buku catatan itu. Sejujurnya aku rindu, Bu. Seindu-rindunya.

Ibuku, Nur Jamilah Ayu Ratnasari. Ibuku yang cantik, Ibuku yang lembut perangainya. Apabila tiba masa kita saling bertemu, tunjukkan padaku bagaimana hidup yang sesungguhnya. Tunjukkan padaku arti cinta yang sesungguhnya, beserta segala ilmu kehidupan yang kau punya. Jadikanlah aku anakmu kembali, dengan sisa-sisa darahmu yang masih mengalir dalam tubuhku.

Jakarta, 6 januari 2017
Anakmu, Nur Cahya Azizah Putri

Penulis : Mufardisah
Editor : Novania Wulandari

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment