Sudut Kota

Refina Elfariana D.


PUCUKMERA.ID — Di antara padatnya kota—yang mungkin tak seperti Jakarta, gadis 20 tahun itu tetap melihat kota itu sebagai kota yang berpolusi, ramai dan sangat berisik. Kereta yang ditumpangi sang gadis kerap melewati kota tersebut saat perjalanan hendak pulang ke rumah atau pergi ke perantauan. Namun kali ini sedikit berbeda, karena untuk pertama kalinya dia menaiki sepeda motor bersama salah seorang temannya melewati kawasan kota tersebut.

Di tengah perjalanan gadis itu menyadari suatu hal, mengendarai sepeda motor akan membuat dia bisa mengamati dengan detail kota itu. Dia harus bersiap jika memori-memori lama akan kembali terputar di kepalanya. Bahkan ia akan melewati salah satu tempat yang paling ia hindari, tempat yang selama ini ia benci, tempat yang seakan haram hukumnya untuk ia kunjungi. Sebuah tempat di mana episode terburuk dalam hidupnya terjadi.

Namun rasa keingintahuannya saat ini mengalahkan rasa kebenciannya akan tempat tersebut. Teman berkendara sang gadis membawa sepeda motornya lebih perlahan, menuruti keinginan sang gadis untuk lebih pelan saat melewati salah satu sudut kota itu. Pikirannya menegaskan pernyataan itu sekali lagi, sebuah tempat dimana episode terburuk dalam hidupnya terjadi.

Gadis berstatus mahasiswi itu mengamati detail di sekelilingnya, mengais beberapa kenangan untuk kembali diingat. Meski itu artinya dia juga harus kembali menelan kepedihan masa lalunya.

Mata sendu gadis itu menahan butiran air mata, menyaksikan hiruk pikuk sudut kota yang begitu ia benci, tapi hatinya masih ingin terus mencari tempat yang diam-diam selalu ia rindukan. Tampaknya kota itu semakin padat. Kepadatan itu membuat sang gadis semakin sulit untuk mengingat, di sudut manakah rumah masa lalu itu pernah berdiri.

Ditemani gumpalan awan yang tidak lagi biru, tubuh mungilnya ke sana kemari mencari. Di satu titik di sudut kota itu dia yakin bahwa rumah masa lalu itu dulu pernah berdiri di sana. Hingga akhirnya harus ditinggalkan karena rasa keegoisan dan keraguan yang tak terbendung milik seseorang.

Langkahnya mendekat pada seorang pemilik becak tua yang mulai tergeser keberadaannya. Melihat sang gadis mendekat postur bapak paruh baya itu tanpa sadar bersiap dengan sedikit mengubah posisi duduknya. Mungkin beliau mengira gadis yang membawa ransel biru itu hendak menggunakan jasa becaknya. “Permisi, Pak. Maaf mengganggu waktunya, apa saya boleh bertanya?” ujar sang gadis.

Ya, boleh,” jawab pemilik becak, “Sekitar 18 tahun lalu, ada gedung bekas bioskop di sekitar sini. Apakah sekarang masih ada ya, Pak?” dengan nada yang lirih gadis itu bertanya pada sang Bapak. Ya, pertanyaan yang puluhan tahun dia pendam dan hari itu dia berani melontarkan kepada orang asing yang sama sekali tidak dia kenal.

Mendengar hal itu, sang bapak menarik nafas panjang, mungkin sembari mengingat, beberapa detik kemudian beliau menjawab, “ Ooh, sekarang sudah jadi minimarket, Mbak!” jawab Bapak Tukang Becak. Kemudian bersama dengan temannya, ia menuju minimarket tersebut tanpa lupa mengucapkan terima kasih pada sang Bapak Tukang Becak.

Kedua mata milik gadis itu tak bisa lagi berbohong, air mata yang selama ini dia sembunyikan dengan tawa menetes deras. Dia masih tidak menyangka, langkah kecilnya sampai pada tanah yang menyangga rumah masa lalunya.

Benci dan kecewa kini memenuhi ruang pikirnya, namun dengan segera dia memutuskan untuk berpikir dengan kepala dingin dan dada yang lapang, bicara pada dirinya sendiri, untuk segera menyudahi emosi dan mencoba melihat hal lain dari sudut kota ini. Sampai kedua matanya berhasil menangkap seluruh pemandangan kehidupan di sekitar sana. Sudut kota ini benar-benar sudah berubah.

Gadis itu menyadari bahwa memang di tempat itu takdir memilihnya untuk dilahirkan dari pasangan yang ternyata tak sejalan. Tempat yang selama ini membuat dia menganggap bahwa hadirnya adalah sebuah kesalahan. Tempat awal mula kepedihan yang ia rasakan sekarang. Namun, itu adalah masa lalu. Masa lalu miliknya sendiri, bukan orang lain. Dia sadar bahwa kota itu akan selalu menyediakan ruang nyaman untuk setiap penduduk yang menetap, pendatang yang baru saja tinggal atau musafir yang rehat sejenak untuk melepas penat. 

Memang tidak seharusnya gadis itu terus-terusan berpikir dan mengatakan hal buruk tentang satu kota, hanya karena satu memori buruk di masa lalu, di satu sudut kota. Padahal masih ada ribuan sudut di kota itu, masih ada begitu banyak memori baik sekaligus harapan yang bisa dibangun untuk melanjutkan kehidupan, ada kumpulan kebaikan lain yang ikhlasnya tidak bisa diragukan, ada pula cahaya ketulusan yang bisa memeluk semua orang datang.

Setelah azan Magrib berkumandang, gadis itu kembali melanjutkan perjalanan, sembari hatinya berucap, Andai saja kau tau, aku pulang. Aku ada di sini. Bukan lagi alam bawah sadar yang selama ini jadi tempatku menyandarkan kerinduan. Melainkan bentuk nyata, di sebuah tempat yang selama ini membuatku bisu setiap kali menyebutnya. Tempat yang menciptakan jutaan tanya ini telah menjadi belenggu kami bertahun-tahun untuk tidak kembali mendatanginya. Ya, bagiku dan ibu, tempat ini akan selalu menjadi bagian dari memori buruk.

Entah dengan kau yang sama atau kau yang sudah berbeda, di manapun kau berada, kota dan tempat ini akan selalu menyimpan banyak cerita. Menjadi buku cerita yang kapan pun bisa aku baca ketika aku merindukanmu, yang akan selalu aku ingat pada halaman berapa kamu pergi tanpa berpamitan. Sekarang, di tempat ini aku hanya ingin mengatakan, Selamat Hari Ayah untukmu yang memilih menyerah.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka5Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Utivafe
    Posted September 1, 2024 at 7:11 pm 0Likes

    West and her child were returning home from the post office, authorities have said priligy fda approval Given that these therapies are now the standard treatment for many cancers, they warrant further time and research

Leave a comment