*) Azhar Syahida
Maksud tulisan pendek ini mengomentari ‘nasib’ Sjafruddin Prawiranegara yang cukup memilukan di hadapan sejarah.
Nama Sjafruddin memang tak lagi mentereng. Saya saja baru mengenalnya saat memasuki tahun kedua di perguruan tinggi. Tepatnya ketika saya membaca buku-buku Dawam Rahardjo, yang Kebetulan, dalam buku itu, Dawam Rahardjo cukup banyak mengutip gagasan Sjafruddin.
Rasa tertarik membawa saya berkeliling kedai buku untuk mencari tulisan-tulisan Sjafruddin. Kebetulan, saat itu saya menemukan buku biografi Sjafruddin yang ditulis oleh Ajib Rosidi, “Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT”. Meski bukan cetakan asli, setidaknya buku itu cukup memenuhi dahaga informasi tentang Sjafruddin.
Kedua, ada buku kecil yang cukup bagus, karya Dawam Rahardjo, ditulis untuk memperingati 100 tahun Sjafruddin Prawiranegara. Isinya kurang lebih tentang gagasan dan kebijakan Sjafruddin sewaktu menjadi teknokrat. Termasuk, pergulatan intelektual Sjafruddin dengan Sumitro Djojohadikusumo soal program industrialisasi di awal tahun 1950-an.
Sangking perdebatan Sjafruddin dengan Sumitro terjadi begitu sengit, sampai-sampai Dawam Rahardjo (2016) kembali mengulasnya dalam, “Nasionalisme, Sosialisme, dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo”. Saya sendiri terkagum-kagum melihat perdebatan berkelas itu, yang mungkin di zaman sekarang tidak mudah kita saksikan lagi, ya, kecuali perdebatan ecek-ecek di media sosial.
Belakangan setelah perdebatan hebat itu mereda, Sumitro justru mengakui kritik Sjafruddin-lah yang tepat dan gagasan industrialisasinya merupakan kesalahan. Dalam mana Sumitro lupa tidak memperhatikan sektor pertanian sebagai pendukung utama industri.
Sumitro lantas menulis ungkapan yang begitu tulus untuk Sjafruddin, “…Pandangan Saudara Sjafruddin yang diutarakan di tahun 1950’an mengandung banyak hal yang benar… dan selama tiga dasawarsa lebih sampai saat ini hubungan pribadi antara Saudara Sjafruddin dan saya tetap terpelihara dengan baik” (Sumitro Djojohadikusumo, 1989, Kredit Rakyat di Masa Depresi, hal. xxi).
Dalam hal ini Sjafruddin dikenal sebagai sosok yang berintegritas, kritis, dan memiliki dedikasi yang baik pada bangsa. Berkat ketiga hal itu, karir Sjafruddin yang awalnya petugas pajak terus bergerak cepat hingga ia dipercaya menjadi menteri dan Direktur terakhir De Javache Bank, kini Bank Indonesia.
Namun, karir Sjafruddin yang mentereng rasanya tak linier dengan pengakuan orang terhadap jasanya pada bangsa Indonesia, sehingga bagi saya, Sjafruddin adalah sosok yang malang. Mengapa, begitu? Setidaknya ada dua alasan kuat yang saya ajukan, berikut:
Tak diakui sebagai Presiden
Sepanjang catatan sejarah yang saya baca, jarang sekali ada yang menyebut Sjafruddin sebagai presiden kedua Republik Indonesia. Baik, mari kita ajukan sebuah pertanyaan reflektif, siapa presiden kedua Republik Indonesia? Mayoritas pasti menjawab Soeharto.
Padahal, dalam jejak sejarah Indonesia Sjafruddin pernah berjasa mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang ketika itu bermarkas di Bukit Tinggi (terhitung sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949).
Selama 207 hari, Sjafruddin dibantu oleh Susanto Tirto Projo, wakil ketua PDRI, bersusah payah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya berkat perjuangan mereka Belanda menyerah di Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
Pada titik ini, kayaknya kita betul-betul berdosa, bagaimana tidak? beberapa saat setelah penyerahan kembali kekuasaan ke tangan Soekarno, justru Ranah Minang dibombardir oleh pesawat Soekarno. Jakarta menuduh rakyat Minang makar. Menyedihkan? memang!
Kita mengenal perisiwa itu sebagai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Beberapa tokoh PDRI ikut terlibat di dalamnya. Jelas, mereka kecewa dengan pemerintah pusat. Tapi, Sjafruddin dan kolega rela hati dan mengabaikan ketidakadilan sejarah itu.
Tak diakui sebagai Pemikir Ekonomi Islam
Alasan kedua, tak banyak kita tahu bahwa Sjafruddin sejatinya adalah sosok pemikir ulung di bidang ekonomi Islam. Bukan hanya pemikir loh, tapi juga praktisi. Sejarah mencatat ia pernah mendirikan Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (HUSAMI) tahun 1967, sebuah usaha perlawanan terhadap politik ekonomi Belanda, Cina, dan Arab yang memang satu tangga di atas pribumi ketika itu.
Tulisan-tulisannya tentang ekonomi Islam juga bertebaran di berbagai media sejak 1950-an. Lebih-lebih ia menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia dalam konferensi Internasional ekonomi Islam di London, tahun 1971. Kala itu Sjafruddin mempresentasikan makalahnya yang bertajuk, “Is there any particular Islamic economic systems?”
Tak berhenti sampai di situ, Sjafruddin kemudian membuat sebuah pemikiran yang begitu besar, yakni argumennya tentang kunci ekonomi Islam yang terletak pada spirit “Moral-sosial”, sehingga konsep sederhana ekonomi Islamnya mengarah pada penghapusan eksploitasi manusia atas manusia. Berkat gagasan itu, Dawam Rahardjo lantas menjulukinya sebagai sosok yang berpaham “sosialisme religius”.
Lebih lanjut, tafsir lainnya yang paling progresif dan fenomenal adalah ketika ia menyebut “bunga bank bukanlah riba” dengan syarat tak terlalu besar.
Sjafruddin mengartikan riba sebagai tindakan eksploitasi manusia atas manusia, sehingga menurutnya, bunga bank yang sifatnya kecil hanyalah biaya administrasi. Paham ini juga dianut oleh M. Hatta yang kemudian hari menggagas neo-kolektivisme melalui koperasi.
Namun seribu sayang, gagasan Sjafruddin yang begitu berani dan maju di zamannya tak pernah diakui. Saya, yang pernah menjadi mahasiswa ekonomi Islam tak pernah diberitahu sosok Sjafruddin Prawiranegara.
Ya, paling memang inilah kebiasaan kita, tak pernah menghargai gagasan intelektual para pendahulu. Maka jangan salah jika kritik Kuntowijoyo demikian lugas atas perkara ini: Ilmuwan Indonesia harus selalu kembali belajar berjalan laiknya bayi akibat keengganan membaca karya pendahulu.
Ya, begitulah, tak pernah ada upaya penghargaan, dan inilah yang dirasakan Sjafruddin.
Nah, maka sekarang, guru-guru sejarah, dosen, penulis, pembaca, atau siapa pun, harusnya menyadari persoalan seperti ini supaya takdir orang berjasa tak lagi bernasib malang. []
1 Comment