Silent

Oleh: Wimpi Gea Seprina Putri (@wimpigea)
Pendongeng di Komunitas Gerakan Mendongeng, Aktif Juga di Rumah Belajar Polehan, Asal Riau 


Gundukan tanah merah itu masih basah ketika ia berdiri di sana. Rasanya baru saja ia bahagia karena melihat kembali wajah sahabatnya yang telah lama berpisah dengan dirinya. Bagaimana cara gadis itu tersenyum, masih jelas terpatri pada ingatan Shofia.

Gadis itu menangis sesenggukan membersihkan sekujur tubuh Shofia yang terkena tepung, telur, dan air got seraya membuka simpul dari tambang yang membelit tubuh sahabatnya.

“Selamat ulang tahun, anak emas!” Ucapan ‘manis’ yang diterima Shofia sebagai kado ulang tahun yang ketujuh belas dari teman-teman semasa kecilnya. Shofia, Ria, Irene, Clarisa, dan Reny, telah bersahabat sejak di Taman Kanak-kanak hingga SMA. Tujuh tahun setelah mereka lulus SMA, ketiga temannya yang lain tak pernah terlihat. Namun masih hadir menghantui setiap menit hidup Shofia. Hanya Ira yang masih bersahabat baik dengannya hingga sekarang. Dan sebentar lagi sahabat terbaik Shofia itu akan menikah. Ia berjanji untuk menghabiskan masa lajangnya menemani Shofia hingga novel kesepuluhnya terbit.

Perlahan matahari mulai tergelincir di ufuk Barat. Membentang permadani jingga di cakrawala, lalu dalam waktu yang tak begitu lama, malam menenggelamkan semua keindahan senja yang selalu menjadi primadona. Bersamaan dengan hilangnya senja, hawa dingin pegunungan menyeruak di tubuh-tubuh penduduk yang mendiami lereng gunung itu. Berbeda dari malam-malam Shofia biasanya, hari ini malam datang begitu cepat tanpa aba-aba. Tidak seperti di kota yang mataharinya terasa melek lebih lama, malam datang ditandai dengan temaram kilauan lampu-lampu jalan dan sorak-sorai mesin tua kendaraan dari orang-orang yang telah lelah beraktifitas seharian.

“Bunda harus pergi sekarang, supaya besok pagi tidak terlambat ke sekolah.” Pamit bunda pada Shofia lalu mencium pipinya.

“Ria sudah jalan? Jadi kan menemani kamu?” tanya bunda cemas. Tentu perasaan khawatir bundanya itu bermuara. Meninggalkannya di tempat asing, sunyi, jauh dari rumah-rumah selanjutnya dan jalan raya. Hanya ada pohon pinus yang mengelilingi rumah kayu itu. Shofia kemudian memberikan isyarat bahwa Ria sudah dalam perjalanan dan sebentar lagi akan sampai. Bunda kemudian beranjak meninggalkan beranda menuju mobilnya. Keraguan untuk meninggalkan Shofia sebelum Ria tiba tentu tergambar jelas pada raut wajah bunda. Namun perlahan memudar saat Shofia meyakinan ia akan baik-baik saja dan akan bertemu dengan orang baik yang ada di sekitar sana.

Sesaat kemudian wanita berumur 40-an itu menghela nafas panjang.

“Hahh… yasudahlah kalau begitu. Tetap kabari bunda. Jika sudah selesai bertemu dan wawancara dengan narasumber, segera kirim pesan supaya bunda bisa segera jemput kamu.” Shofia menjawab dengan simpul senyum yang bersahaja. Tentu bunda sangat ingin tinggal, namun kewajibannya sebagai guru, ditambah dengan jadwal ujian akhir para siswa yang semakin dekat, membuat bunda harus kembali segera ke kota tempat mereka tinggal.

Kembali kepada rutinitasnya. Ia mengambil laptop yang tergeletak di atas ranselnya dan duduk di atas kursi rotan yang ada di rumah itu. Kursi itu sangat berdebu dan penuh sarang laba-laba. Cat pernis yang mengelupas di beberapa bagian kursi itu menggambarkan jelas berapa usianya. Tampak jelas rumah ini sudah lama kosong. Ada sebuah bantal di atas kursi rotan itu.

***

“Hah…” gadis bermata coklat itu terperenjat dan sedikit melompat menjauhi kursi rotan yang ingin didudukinya tadi. Ada beberapa bangkai cicak di balik bantal itu. Ia segera membuangnya keluar.

“Jadi ini tempat petapaan Shofia yang baru. Hah, belum apa-apa sinyalku sudah hilang timbul.” Seorang gadis terlihat kerepotan dengan beberapa tentengan yang dibawanya sambil menyeret koper menuju rumah yang akan mereka tinggali beberapa hari ke depan selama Shofia mewawancarai narasumber untuk novel terbarunya yang akan diangkat ke layar lebar.

Senang bukan kepalang ia ketika Ria datang. Ketakutan di hatinya karena kejadian beberapa menit lalu seketika runtuh. Mereka kemudian melepas dahaga rindu dan kemudian masuk ke dalam rumah kayunya. Mereka menghabiskan malam dan menumpahkan segala yang mereka temui dan lakukan melalui cerita masing-masing. Obrolan mereka begitu hidup meskipun Shofia hanya menggunakan bahasa isyarat.

“Tidak pernah ke therapist lagi?”

Shofia menggeleng seraya mengatup rapat kedua bibirnya dan menaikkan alis mata kanannya. “Apa gunanya lagi? Aku sudah cukup bahagia bisa menyampaikan suaraku dan bicara melalui tulisan-tulisanku. Ini juga bisa ku gunakan untuk sedikit congkak pada Alex yang sudah meninggalkanku.” Goda shofia.

“Hahahaha tidak perlu kita ungkit tentang laki-laki kurang ajar itu. Tapi, apa kabar ya dia sekarang? Aku penasaran. Ria balik menggoda sahabatnya. Ibarat sebuah perangkat penyimpan memori, Ria mengetahui banyak rahasia Shofia dan keluarganya. Bagaimana ia jatuh bangun menjadikan nyata mimpi dan harapannya dari sekedar tulisan harapan yang menempel pada dinding kamar hingga menjadi penulis ternama dan bahkan beberapa karyanya sudah difilmkan. Bagaimana hancur hatinya saat mengetahui ayahnya selingkuh, dan menyiksa ibunya bahkan dirinya setiap malam karena terlambat membukakan pintu untuk ayahnya yang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Belum lagi dengan cemoohan yang ia terima justru karena dia selalu unggul dan berprestasi di sekolahnya. Masih sangat jelas pada ingatan Ria saat seragam putih Shofia berlumuran darah segar akibat tusukan dari pensil dan jarum jangka, pelakunya tidak lain tidak bukan adalah sahabat mereka sendiri, Irene, Clarisa, dan Reny, hingga dia dan bundanya harus menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap Apraxia akibat trauma yang dialaminya dan mengakibatkan kehilangan kemampuannya dalam berbicara.

Pukul 01.15 AM.

Sudah terlalu larut, kamu pasti sangat lelah.

“Hmmm aku masih ingin cerita tapi, ya sudahlah kita lanjutkan besok. Selamat tidur cantikku.” Goda Ria sambil menarik selimut menutupi sekujur tubuhnya hingga yang tersisa hanya mata dan hidungnya.

Suara-suara itu kembali hadir bagai gemuruh gendang perang yang ditabuh. Tidak ada seorang pun di luar sana yang mampu mendengarnya, namun terlalu nyata untuk diyakini sebagai ilusi. Shofia membuka kembali laptopnya berharap tulisannya akan selesai malam itu. Dia hanya perlu menuliskan bagian akhir cerita dari banyak alternatif yang ada dalam kepalanya.

“Tring…” suara dari sebuah ponsel, terdengar asing. Dia menoleh ke arah jendela, dan tidak mendapati siapa pun ada di sana. Sesaat kemudian dia merasa sedikit tenang karena mengira suara tersebut berasal dari ponsel Ria, namun seketika ia melihat sebuah ponsel berwarna merah sedang dalam keadaan tidak aktif dan dicas di atas sebuah meja kayu. Dia beranjak perlahan dari tempat tidur agar tidak membangunkan Ria. Setelah mengambil sebuah jaket dari dalam ransel dan menyalakan senter dari ponselnya, dengan terpaksa demi menuntaskan rasa penasarannya ia keluar dari kamar dan menyisir rumah kayu itu. Nihil, ia tidak menemukan apa pun di dalam rumahnya. Ia mengambil sebatang sapu bergagang kayu untuk berjaga-jaga lalu menuju beranda depan.

Tidak ada siapa pun.

Mungkin hanya suara di kepalaku saja.”

Mencoba membesarkan hatinya sendiri. Dari beranda samping, ia melihat wanita berkelebat di sekitar kamarnya. “Kasian Ria sampai terbangun, mungkin aku terlalu berisik tadi.” Ia segera kembali masuk ke rumahnya.

“Kreeek”, Shofia membuka pintu kamar yang juga terbuat dari kayu, sedikit menyeret sehingga menghasilkan suara yang berisik.

“HAH!!” Dia tersungkur terduduk tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ria telah tewas bersimbah darah. Kepalanya tertutupi oleh bantal, dan isi perutnya berhamburan. Shofia terkulai lemas dan menangis sejadi-jadinya. Dari tubuhnya ia mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. Ia masih terus menampar pipinya berharap bahwa yang dilihatnya saat itu hanyalah mimpi. Seketika ia terhenti dari ratapannya dan terfikir bahwa tubuh wanita yang dilihatnya tadi berarti bukanlah Ria. Ia bangkit dari duduk dan menghapus air mata. Dengan sorot mata yang tajam, ia berjalan menuju dapur dan mengambil sebuah pisau. “Ya Tuhan, masih tidak ada sinyal sama sekali.” Mencoba menggoyang-goyangkan ponselnya ke udara dengan harapan dapat menemukan sinyal untuk menelepon polisi.

Suara-suara itu kembali terdengar dan berputar di kepalanya. Suara-suara saat ia kecil yang menawarkan alternatif-alternatif dari setiap cerita yang dia buat dan membantunya saat dihadapkan dengan pilihan dari kemungkinan-kemungkinan yang ada.

“Kita tidak bisa diam dan bertahan di sini. mungkin saja mereka ada di dalam rumah.”

“Kita tidak mungkin keluar. Tidak ada tetangga, tidak ada kendaraan, dan jarak menuju jalan raya memakan waktu 45 menit dengan kendaraan. Kita masih belum tahu, apa yang sedang kita hadapi.”

Matanya menyisir seluruh ruangan, mulai mengatur strategi dan menyisakan cerita untuk sebuah akhir, apakah ia akan menang, atau malah sebaliknya. Dia kemudian memberanikan diri dan melalukan berbagai rencana yang sudah disusunnya. Pertama dimulai dengan pergi keluar dan mencari bantuan. Saat dalam perjalanan datang tadi, ia melihat beberapa rumah yang ada di lereng gunung itu. Bergegas ia berlari ke sana.

“Arrgh…” rintihnya. Kakinya terjerat sebuah kawat duri yang digunakan untuk menangkap babi hutan. Belum sempat ia melepas jerat itu, tiba-tiba ia merasa tubuhnya perlahan tertarik ke atas, seseorang telah menarik kawat itu. Dia berusaha sangat keras, mengambil pisau yang sejak tadi ada di saku belakang celananya dan memotong kawat itu. Dengan terpincang dan menangis menahan sakit, ia berlari menuju rumahnya. Darah segar terus menetes dari kakinya.

“Sluup” sebuah anak panah menyerempet lengan kirinya. Lukanya cukup dalam sehingga membuat keran baru yang meneteskan darah segar dari tubuhnya. Ia segera masuk ke rumah dan mengunci semua pintu. Menutup tirai bambu yang menjadi penghalang bagi penglihatan dari luar pada jendela kaca rumah itu. Segera ia membalut luka tadi dengan kain seadanya agar tak kehabisan darah. Pandangannya mulai kabur dan tubuhnya mulai memucat. Shofia mulai kehilangan kekuatannya. Sebelum jatuh pingsan, dengan mata coklatnya ia membaca sebuah tulisan menggunakan kapur yang ada pada pintu kayu kamarnya.

“Halo sahabat lama. Sudah 7 tahun kita tak berjumpa. Kau masih ingat kami?”

“Bagaimana mereka bisa tahu aku di sini?”

“Tidak. Kita tidak bisa diam saja di sini.”

“Kita coba sekali lagi untuk keluar, tapi hati-hati. Balut luka agar darahnya berhenti dan bawa alat yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan sekali digunakan.”

“Kita bisa mati jika kita coba sekali lagi.”

“Tapi bertahan di sini tidak ada gunanya. Kita akan kehabisan darah.”

“Sembunyi.”

“Tidak ada akhir yang baik, kita akan mati. Kecuali kita memiliki rencana lain.”

“Melawan.”

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Utivafe
    Posted August 30, 2024 at 7:29 pm 0Likes

    However, the truth is that there are no such capsules or pills neither for male nor for sale Priligy SCIENTIFIC RESEARCH AND ESSAYS 2008; 3 10 515- 517

Leave a comment