Siapa yang Memujimu Cantik Hari Ini?

Ede Tea
Mahasiswa Institut Digital Bisnis Indonesia yang bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.


“Siapa yang memujimu cantik hari ini?” tanya Zak seraya menggenggam tangan wanita tua yang duduk di samping tempat tidurnya. Sun seketika berpaling dengan wajah yang memerah. Bibirnya melengkung serupa perahu. Lelaki tua itu memang pandai membuatnya tersipu.

“Kau sudah memujiku sebanyak tiga kali hari ini,” sahut wanita tua itu kemudian.

Zak memandangi wajah Sun dengan berbagai perasaan. Sedih, takut dan bingung. Semuanya bercampur baur. Sudah dua bulan ini ia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Kesehatannya kian hari makin melemah. Dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa lagi berpikir. Hanya sekelebat bayangan buruk yang mungkin saja akan terjadi: maut menjemputnya lebih cepat dari apa yang pernah ia duga.

Sun mematik wajah Zak sambil berkaca-kaca. “Aku ingin kau selalu memuji kecantikanku. Meskipun kantung mataku sudah turun dan keriput di wajahku tak terhitung.”

Zak membalas, “Keindahan tak pernah abadi, Sun.”

“Karena ketidakabadian itulah yang menjadikannya berharga!” kata Sun kemudian.

Seketika itu Zak menurunkan pandangannya. Ia mendadak gamang atas apa yang istrinya harapkan. Zak merasa segalanya terasa semakin sulit untuk dilewati. Entah berapa lama lagi ia bisa memuji kecantikan Sun yang tak ada tandingannya itu. Sementara napasnya mulai pendek-pendek. Dan pandangannya perlahan kabur.

 

***

Zak masih ingat paras cantik Sun saat pertama kali bersemuka. Ketika itu Sun sedang mencari sebuah buku untuk kebutuhan skripsinya di perpustakaan. Lalu Zak membantunya dan berkenalan. Segalanya terasa sangat cepat berlalu. Tetapi juga tidak mudah untuk saling percaya bahwa mereka memiliki perasaan yang sama.

“Aku belum pernah melihat wanita secantikmu masuk ke perpustakaan ini,” ujar Zak ketika itu. Suaranya yang berat dan basah merambat ke tiap lorong perpustakaan. Di hadapannya Sun hanya mengulum senyum.

“Aku sedang mencari buku,” sahut Sun sedikit malu-malu.

“Buku apa yang sedang kamu cari? Aku sudah mengunjungi perpustakaan ini sebanyak seratus delapan puluh dua kali. Aku bisa menemukan buku yang kamu inginkan dengan cepat dan tepat,” ucap Zak penuh ambisi.

“Tidak perlu!” tolak Sun.

Kedua mata yang tadi memberinya sapaan hangat dalam sekejap berubah menjadi sangat dingin. Zak melemparkan pandangannya tanpa berani berpaling.

“Baiklah. Kamu bisa mencarinya sendiri di antara seribu tujuh ratus lima puluh satu buku di tempat ini.”

Zak enggan menoleh lalu berjalan meninggalkan Sun yang kebingungan. Tak berapa lama gadis itu berseru memanggil namanya. Ada debaran yang berbeda saat ia berbalik dan menatap kedua mata gadis itu. Tak ada sedikit pun keraguan bahwa pada hatinya Sun telah tertanam.

“Aku butuh bantuanmu!” ujar Sun sedikit berteriak.

Zak tersenyum, “Kau memilih orang yang tepat, Nona!”

Zak menuntun gadis itu menyusuri rak buku setinggi 2 meter. Tanpa sadar, mata Sun memicing curiga kepada lelaki yang berjalan selangkah di hadapannya. Tepat pada langkah ke-27 Zak berhenti. Lalu ia menaiki sebuah anak tangga untuk mencapai rak paling atas. Kemudian ia menjulurkan sebuah buku tebal kepada Sun.

“Ada lagi yang bisa aku bantu?”

Sun menggelengkan kepalanya dengan gugup. Ia sampaikan ucapan terima kasih dengan dada yang berdegup. Detik itu juga Sun percaya bahwa Zak adalah lelaki yang bisa diandalkan.

***

Zak menoleh ke samping tempat tidurnya. Ditatapnya lamat-lamat wajah Sun yang terlihat letih.

“Kau tidak usah mencemaskan itu. Meskipun nanti tidak ada lagi yang akan memujimu, setidaknya kau tahu bahwa kau memang pernah cantik.”

Dengan cepat rona merah menjalar di pipi Sun. Wajahnya serupa udang yang baru saja direbus. Dengan perasaan gugup Sun membenarkan anak rambutnya yang berantakan. Seperti buih di laut, rasa cintanya kepada lelaki bermata elang itu tak pernah dapat dihitung. Entah sudah berapa ribu syukur juga diluahkannya pada langit malam.

Sun membalas senyuman suaminya dengan perasaan getir. Lelaki itu memang selalu bisa membuatnya merasa takjub. Bahkan di saat masa terburuk sekali pun, seperti ketika dokter memvonisnya tidak bisa memiliki keturunan, tatapan penuh cinta yang Zak pancarkan tak pernah sedikit pun berkurang.

“Sebaiknya kamu menikah lagi, Mas,” ucap Sun ketika itu, setiba dari rumah sakit dengan air mata yang menggunung.

Di hadapannya Zak terperengah. Seketika itu Zak memeluk tubuh Sun dengan dekapan paling kuat. Ia berbisik sambil menahan tangis.

“Ini hanyalah cara Tuhan untuk menguji, seberapa tabah kita saling mencintai.”

Saat itu Sun menangis dalam pelukan Zak. Ia merasa bahwa dirinya adalah wanita yang paling beruntung. Dan kini setelah waktu 30 tahun terlewati, segalanya terasa begitu cepat berlalu. Hari-hari yang begitu indah laksana ombak mengikis pantai. Pertemuan dan perjalanan seperti badai yang melenyapkan waktu dalam sekejap. Tentu saja kisah kasih mereka tidak bisa didongengkan oleh siapa pun, kecuali oleh mereka sendiri.

“Terima kasih atas segala cinta yang sudah kau berikan!”

Sun mencium punggung tangan Zak dengan lembut. Kemudian ia menenggelamkan wajahnya di samping tubuh Zak yang terbaring.

Zak mengelus rambut Sun yang terikat karet gelang itu. Tidurlah, Sun, kau pasti kelelahan, ujarnya dengan nada lemah lembut. Tetiba seorang perawat masuk ke ruangannya. Mengecek cairan infusan dan membawa menu makan siang. Zak meminta perawat itu untuk tidak bicara terlalu kencang.

“Istri saya sedang tidur. Semalaman ia terjaga untuk menemani saya.”

Perawat itu mengangguk tanda setuju. Entah kapan terakhir kali ia melihat sepasang suami-istri yang begitu harmonis di rumah sakit. Setelah cukup lama memandangi dengan perasaan iri, perawat itu berjalan keluar dengan hati-hati. Zak melihat pintu rungan yang tertutup. Lantas ia kembali mengelus rambut Sun dan memujinya sekali lagi.

“Rambutmu lembut dan wangi. Hari ini kau benar-benar terihat cantik, Sun!”

Zak menggenggam kedua tangan Sun, rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya.

Lalu sore menyingkap. Zak terbangun dari tidurnya. Ia melihat Sun yang masih terlelap di sampingnya dengan posisi menunduk. Ia membangunkan Sun agar membantunya ke kamar mandi. Tapi Sun tak kunjung bangkit. Zak menyentuh tangan Sun dan seperti ada aliran listrik yang merambat ke ujung jarinya. Zak kembali memanggil nama Sun. Tak ada suara lain selain tetesan air di keran kamar mandi. Detik itu juga Zak merasa ada yang tidak beres. Ia memandangi tubuh Sun dengan air mata yang hendak jatuh. [*]


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment