Dion Pardede
Penulis Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID –Lewat Voting Bersejarah, PBB Terapkan Ganja sebagai Tanaman Obat, demikian judul berita dari salah satu media kenamaan, Kamis lalu. Pada Rabu (2/12/2020), Komisi PBB untuk obat-obatan dan narkotika (CND), melalui suara mayoritas mengeluarkan ganja dari narkotika golongan IV.
Artinya, ganja bukan lagi bagian dari golongan yang paling berbahaya dan tidak memiliki manfaat medis. Hal ini menjadi sepak awal penghapusan stigma terhadap ganja yang sebenarnya sudah berabad-abad memiliki khasiat medis. Maka, tidak berlebihan untuk mengatribusi hal ini sebagai peristiwa bersejarah. Bahkan, bisa dikatakan bahwa nama baik ganja sudah dipulihkan.
Sebelumnya, penetapan ganja pada golongan IV sendiri dapat ditemui dalam Konvensi Tunggal tahun 1961. Konvensi ini merupakan respons untuk masukan WHO pada tahun 1954 bahwa ganja tidak memiliki fungsi medis sama sekali. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Sejak saat itu, stigma buruk menghujani ganja.
Namun, stigma terhadap ganja kian hari menjadi kian dogmatis. Sebab, tidak pernah terbukti kesahihannya. Indonesia sendiri, sejak meratifikasi konvensi tunggal tersebut, tidak pernah melakukan penelitian terkait khasiat medis ganja. Bahkan ketika kasus-kasus kriminalisasi pemanfaatan medis ganja muncul ke permukaan, BNN tetap bersikukuh bahwa ganja tidak berkhasiat medis. Juni lalu misalnya, seorang pria di NTT Reyndhart Rossy harus ditahan atas kepemilikan ganja yang dipakai untuk mengobati penyakit yang dideritanya.
Kasus serupa menimpa Fidelis Arie Sudewarto di Kalimantan. Beliau juga harus mendekam di penjara selama 1 tahun karena menanam ganja di rumahnya. Padahal, hal ini dilakukan guna mengobati sang istri yang sedang sakit. Parahnya, selama masa penahanan istrinya tidak lagi mendapatkan pengobatan sampai akhirnya meninggal dunia.
Kini, kita bisa berharap kasus sejenis tak terulang lagi. Tentu tidak instan, namun ada beberapa awal yang agaknya penting untuk disegerakan.
Yang pertama, kita perlu mengawal judicial review beberapa orang tua dari anak penderita cerebral palsy di Mahkamah Konstitusi. Tiga orang ibu mengajukan uji materi dua pasal dalam UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Yakni Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III” dan Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”.
Sesuai Lampiran I undang-undang tersebut, ganja memang dimasukkan ke dalam golongan I yang menurut Pasal 8 ayat (1) di atas dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan. Hal ini penting untuk kita kawal dan dukung sebelum nantinya undang-undang ini direvisi total dengan meratifikasi revisi Single Convention.
Yang kedua, kita perlu mendesak DPR-RI untuk membahas revisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika secara lebih serius. Sudah berkali-kali undang-undang ini masuk dalam prolegnas prioritas, namun tampaknya tidak ada kemajuan berarti. Dengan adanya konvensi internasional sebagai dasar hukum legalisasi/regulasi ganja medis, akan menjadi keuntungan bagi para aktivis dan korban UU Narkotika untuk mendesak DPR.
Paling tidak, pintu penelitian harus dibuka selebar-lebarnya. Hal ini dilakukan agar baik pihak pro maupun kontra dapat mempertahankan pendiriannya secara saintifik. Sehingga, sikap terhadap ganja tidak melulu bak dogma belaka.
Ketika semua tahapan sudah dilakukan dengan maksimal dan membuahkan hasil berupa revisi Undang-undang Narkotika, maka tantangan selanjutnya adalah pelaksanaan Undang-undang itu sendiri. Tidak ada cara selain kolaborasi antar semua pihak terkait demi terlaksananya niat baik dari legalisasi/regulasi/regulasi ganja medis ini.
Hasil revisi Undang-undang Narkotika harus kita kawal melalui 3 elemen penentu berhasil/tidaknya hukum menurut Lawrence M. Friedman (substance, structure, culture). Sebab, instrumen hukum tentu punya andil besar agar wacana ini tidak menjadi bumerang bagi kita nantinya.
Nah, secara sederhana, legal substance di Indonesia adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain. Ketika nantinya disepakati legalisasi/regulasi ganja medis, klausa-klausa dalam undang-undang tersebut nantinya haruslah tegas dan jelas (lex certa). Misalnya, lembaga mana yang berwenang melakukan penelitian, bisakah swasta memiliki paten terhadap ganja, atau jika diperbolehkan untuk membudidayakan ganja, berapa batasannya. Itu semua demi kepastian hukum ketika wacana ini telah terimplementasi nantinya.
Selanjutnya adalah legal structure. Dalam hal ini aparat penyelenggara dan penegak hukum. Aparat nantinya diharapkan benar-benar menyelenggarakan serta menegakkan hukum yang telah disusun dengan klausa-klausa yang jelas dan tegas di atas tadi. Memang diperlukan kesadaran pribadi untuk dapat menyelenggarakan dan menegakkan hukum tersebut. Jika memang dirasa perlu, klausa menyangkut sanksi atas penyelewengan bisa dicantumkan dalam undang-undang nantinya.
Terakhir, legal culture. Masyarakat dan budaya hukumnya mungkin bagi sebagian orang adalah tantangan tersulit bagi realisasi wacana ini. Namun dengan dikuatkannya landasan sosiologis dalam pembentukan undang-undang nantinya, pembuat undang-undang akan bisa menentukan sebatas apa ganja dilegalkan, entah itu untuk penelitian, medis atau rekreasional.
Maka dengan observasi, legislator-legislator kita akan dapat menimbang dalam hal apa legalisasi/regulasi ganja memiliki urgensi paling besar bagi masyarakat. Melihat fakta saat ini, yang paling penting dan paling mungkin tentu saja regulasi ganja medis. Sudah ada konvensi internasional yang menghendaki, maka kini penyebarluasannya akan menunjang pula kesiapan masyarakat dan mencabut stigma terhadap ganja.
Dengan begitu, masyarakat dan budaya hukumnya tidak akan kaget dengan produk hukum yang diberlakukan dan penyalahgunaan akan terminimalisir. Mengingat, dalam proses pembentukannya, landasan sosiologis dari Undang-undang tersebut benar-benar kuat dan faktual.
Walau bagaimanapun, hasil konvensi ini tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ada upaya konkret dari masing-masing kita. Paling tidak, turut bersuara. Pulihnya nama baik ganja pun akan sia-sia, jika pengakuan terhadap khasiat medis itu tetap tidak dapat dinikmati oleh yang membutuhkan.
Memang, tidak semua dari kita butuh ganja. Mungkin tidak semua hal juga dapat teratasi dengan revisi Undang-undang Narkotika. Namun, paling tidak kita punya proyek legislasi yang berbasis riset yang jujur dan berorientasi kepentingan/keselamatan rakyat.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.