Sepucuk Surat untuk Rossa

Annisa Salsabila
Pendongeng di Podcast Baba Bibi Bubu


Percikan baskara pagi mulai menyapa rerumputan. Sinarnya memasuki rekahan sempit dalam rumah. Sempurna. Sekecil apapun rekahan itu berhasil ditembus olehnya. Semua penghuni jagat raya turut merasakan kehangatan sinar baskara dini hari. Primadona pagi terbangun dari tidur lelap dan melucuti satu demi satu kelopaknya. Ocehan burung menambah syahdu suasana. Tetes embun yang membasahi dedaunan menetes bak adrinata yang tertanam dalam bentala. Hembusan sejuk angin pagi menembus seluruh liang roma dalam tubuh.

Dari celah jendela, terlihat sosok gadis remaja berusia 17 tahun, yang berkutat sedari tadi untuk membersihkan perkakas mungil kamarnya. Pandangannya menyapu seluruh isi kamar. Ia terpaku pada sebuah tumpukan buku lawas yang tergeletak di depan lemari. Didekatinya tumpukan lusuh itu dengan langkah gontai. Rasanya ada sesuatu yang ganjil baginya. Salah satu buku lusuh itu diambilnya dan segera meniup cover buku yang diselimuti oleh butiran debu tebal. Napasnya sedikit sesak setelah menerbangkan butir-butir debu. Ia memutar balik cover buku hingga muncul sepucuk surat yang terselip dalam buku. Surat itu masih tersimpan rapi dalam sebuah amplop putih kusam. Kuno, sebutan yang cocok untuk sepucuk surat itu. Ia memandanginya dengan rasa penasaran. Diambilnya sepucuk surat kusam itu dan membuka amplop secara perlahan agar tidak ada sekecilpun bagian yang rusak. Surat itu ditulis di atas kertas yang mungkin bisa dikatakan merah muda, tetapi itu dulu sebelum ponsel Blackberry mem-booming. Sekarang entah disebut dengan apakah warna seperti itu. Tak jelas.

Bentuknya masih sangatlah rapi. Dilipat kecil hingga cukup untuk mengisi amplop. Ia membuka lipatan amplop dengan berhati-hati. Ia takut merusak keindahan bentuk yang terjaga cukup lama yang bisa saja hancur dengan hitungan detik. Ia memulai membaca. Surat itu mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam. Suatu kejadian di mana seorang perempuan kecil yang sedang merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Ia bernama Rossa. Semua itu berawal dari sebuah rumah kecil tempat sebuah keluarga kecil yang harmonis.

***

Yogyakarta, 26 Juni 2005

Waktu itu, Rossa merasa sangat bahagia, karena hari itu hari yang bersejarah dalam hidupnya. Hari yang ditunggu kedatangannya oleh semua manusia. Hari yang mendatangkan banyak tanda mata, di mulai dari teman, sahabat, orang tua, kakak maupun adik. Itulah makna sebuah ulang tahun bagi seorang perempuan kecil yang akan memulai harinya di usia kesepuluh. Rossa telah mempersiapkan acara seminggu sebelunya. Ia tidak membuat pesta yang sangat meriah, karena ia tahu bagaimana kondisi ekonomi keluarganya, dan menghamburkan uang itu tidak baik, seperti kata guru di kelasnya. Pemahaman yang bagus untuk seorang anak kecil seumuran Rossa. Ia berpikir, setidaknya walau tidak terlalu besar yang penting bahagia. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, namun tersirat sebuah makna kesederhanaan yang dalam.

Terasa kebersamaan yang hangat walau dengan mengundang beberapa teman dekat dan keluarga kecil saja. Itu sudah cukup bagi Rossa, karena sosok yang dinantikannya akan datang di hari itu. Sosok yang amat berarti dalam hidupnya, yang rela merantau ke Kalimantan demi menafkahi keluarga tercinta, Ayahnya. Sebuah kata yang hanya terdiri dari empat huruf. Keberadaanya tak akan tergantikan oleh seorangpun. Ayah, yang sangat dibanggakan oleh Rossa, walau hanya bisa berkomunikasi dengan telpon rumah, meskipun juga hanya seminggu sekali.

Hari itu akhirnya datang juga. Rossa sudah tidak sabar ingin menyambut kehadiran Ayah tercintanya. Sudah satu bulan Ayahnya tak kunjung pulang, karena padatnya jadwal yang mengurungkan niatnya untuk pulang. Ayahnya bekerja di salah satu perusahaan ternama di Kalimantan. Seminggu yang lalu, Ayah menelpon Rossa dan mengatakan bahwa ia berjanji akan datang di hari kelahiran Rossa. Ia sangat gembira mendengar kabar itu, dan segera mengabarkan pada Ibu, Kak Fahmi serta Nenek. Ulang tahun Rossa bertepatan pada hari Rabu. Sehingga Rossa harus menyelesaikan aktivitas di sekolahnya terlebih dahulu. Tenyata hari itu guru-guru sedang mengadakan workshop sehingga murid-murid dipulangkan lebih awal. Sempurna. Rossa dapat mempersiapkan pesta lebih awal dan maksimal. Pesta akan dimulai pukul 07.30 malam.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Namun tidak ada kabar apapun dari Ayah. Rossa berpikir sambil senyum-senyum, “Mungkin ini sebuah kejutan dari Ayah dengan datang secara tiba-tiba, karena ini adalah hari ulang tahunku.” Ia berguman tidak jelas. Pemikiran yang konyol. Boleh jadi itulah yang dipikirkan oleh seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun demi menghibur dirinya. Siapa yang tahu?

Setelah menunaikan salat Isya, Rossa bergegas mengganti pakaianya dengan gaun pesta kecil yang sederhana namun tetap indah dipandang. Ia meminta bantuan Ibunya untuk menata rambut panjangnnya. Semua tamu undangan sudah hadir sekitar 10 menit yang lalu. Nenek, Kak Fahmi dan Ibu juga sudah berkumpul di ruang tamu. Hanya Rossa yang belum menampakkan batang hidungnya. Ke mana perginya? semua menunggu dengan pertanyaan yang sama. Hanya Ibu yang mengerti ke mana pergi si putri kecilnya. Ternyata benar, Rossa sedang bersandar di samping pintu balkon atas dan menatap langit yang ditaburi oleh sejuta bintang malam. Ibu menghampiri Rossa dan mengelus rambut panjangnya. Rossa menoleh dengan tersenyum simpul. Ibu memberikan sedikit nasihat pada Rossa, “Putri kecilku, sekarang pesta akan segera dimulai, jadi putri harus segera turun ke bawah untuk menyambut para undangan yang telah bersedia mendatangi pesta ini, karena pesta tidak akan berjalan tanpa hadirnya seorang putri yang cantik. Mengerti?” Seru Ibu kepada putri kecilnya. “Tapi, Ibu bagaimana dengan Ayah?” Tanya Rossa sedikit cemas. Akhirnya Ibu membisikkan sesuatu ke telinga Rossa, dan ia memahaminya walau dengan sedikit terpaksa. Namun ia tahu bahwa melawan orang tua itu tidak baik dan akan beresiko sangat besar. Mungkin lebih baik menurut daripada melawan. Itu sebabnya ia hanya diam seribu bahasa sambil mendengarkan semua nasihat Ibu.

Satu jam telah berlalu. Pesta berjalan dengan lancar. Rossa mendapatkan banyak kado dari teman dekatnya. Tetapi ia tak urung membuka kemasan kado itu. Setidaknya itu sudah cukup membuat Rossa senang. Namun, rasa senang itu tak sempurna tertanam dalam hatinya. Masih ada sesuatu yang mengganjal. Semua tahu apa yang dirasakan oleh Rossa. Kecewa, ya hal itu tentu wajar dialami oleh seorang gadis cilik yang sangat mengharap kedatangan seorang Ayah yang sudah lama tak bertatap muka, bahkan bertegur sapa. Sunyi, tak terucap sepatah kata apapun dari semua penghuni rumah mungil itu. Kak Fahmi, Ibu, dan Nenek sekalipun. Mereka sungkan untuk berkata karena melihat raut wajah Rossa yang lara dan lebih memilih diam menikmati suasana ini.

“Kringg!” Dering telepon rumah memecah kehenigan malam. Seiring berderingnya telepon, terdengar suara bell rumah. Rossa segera bangun dari lamunannya barusan. Ia berlari terbirit-birit menuju pintu dengan berteriak, “Ayah!” Sembari mengambil kunci dan membukakan pintu. Saat hendak memeluk, Rossa tertegun. Ia termenung dan terus memandangi siapakah sosok pria yang berada tepat di hadapannya itu? Bertubuh tegap, berkulit sawo matang dan bermata bulat. Sungguh berbeda 180o dari seorang Ayah yang ia kenali sebelumnya. Tak lama kemudian pria itu menyodorkan sebuah amplop putih bersih dan kotak kecil berbungkus koran. Tak sepatah katapun yang dilontarkan olehnya hanya sebuah senyum tipis sebagai isyarat komunikasi dan bergegas pergi melanjutkan tugasnya.

”Aneh, baru kali ini aku melihat tukang pos yang tugas di malam hari.” Guman Rossa tak jelas. Di bagian depan tertulis “For my little princess”, Ia mengernyitkan dahinya ketika membaca kalimat itu. Karena kemampuannya berbahasa Inggrisnya kurang sehingga ia masih belum paham menyeluruh arti dari kalimat itu.

“Tahu artinya nggak, tuh?” ejek Kak Fahmi. Rossa hanya memukul manja kakak satu-satunya itu, dan segera masuk untuk membuka bungkusan itu bersama. Saat hendak membuka bungkus kado, Ibu datang secara tiba-tiba dengan mata berkaca-kaca. Semua terkesiap melihat kedatangan Ibu. Ia membisikkan sesuatu kepada Kak Fahmi dan Nenek. “Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.” Ucap mereka lirih. Rossa semakin penasaran, apa yang terjadi sebenarnya? Mungkin ini hanya sebuah sandiwara belaka. “Ibu, tidak apa-apa kan? apa yang terjadi Bu? Ceritakan padaku.” pinta Rossa. Namun Ibu hanya menangis dan melirik kepada Kak Fahmi. Sebuah isyarat mata yang memintanya untuk menjelaskan pada putri kecilnya yang lugu. Dengan tenang Kak Fahmi menghampiri Rossa dan mendekapnya hangat. Tetapi ia masih belum juga menjelaskan apa yang terjadi melainkan meminta adik kecilnya itu untuk membaca dan membuka kotak kecil yang diberikan pria tadi.

“Baiklah. Hmm.” celoteh Rossa pasrah. Ia membuka sebuah kotak kecil yang dibungkus oleh koran. Kak Fahmi pun turut serta dalam membuka kotak kecil itu. Rossa semakin terkesima melihat sesuatu yang ada di dalam kotak itu. Ia mengambilnya dan membukanya perlahan. Alunan sebuah musik klasik Fur Elise terdengar indah. Rossa sangat menikmati musik itu. Di dalam kotak musik itu terdapat balerina kecil yang sedang melakuan swan lake sembari menggenggam sekuntum mawar merah. Ia terhipnotis untuk terus mendengarkan lagu itu.

Setelah alunan musik berujung, barulah ia menutup kotak musik. Ia memandang Ibu dalam dekapan Nenek yang masih meneteskan air mata. Kak Fahmi mengambil sepucuk surat dan memberikannya pada Rossa dengan senyuman. Ia segera membuka amplop itu dan membacanya.

Rossa termenung. Ia kecewa, karena sudah menunggu kedatangan Ayah selama sebulan. Kecewa, karena telah mempersiapkan segudang rencana. Kecewa, karena ayak tak kunjung datang. Kak Fahmi segera merangkul adik kecilnya dan mengecup rambut panjangnya. Lambat lalun ia menjelas kan semua kejadian ini. “Rossa, apa kamu sudah siap tuk mendengar semua ini?” Namun pertanyaan itu tak terjawab. Hanya tatapan kecewa yang terlihat di wajah mungil Rossa. Sejenak Kak Fahmi melirik ke arah Ibu dan Nenek, Ibu menganggukkan kepalanya. Pertanda ia telah mengizinkan putranya untuk memulai berbicara. “Rossa, apakah kamu telah membaca semua isi surat itu?” 

Tak ada reaksi apapun dari Rossa. Kak Fahmi pun melanjutkan pembicaraanya.

“Kakak tahu, kamu sangat kecewa hari ini. Kekecewaan yang membuatmu kesal. Tetapi semua itu terjadi semata-mata karena Allah. Dia yang merencanakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui. Entah itu sesuatu yang bagus atau sebaliknya. Kita hanya diminta bersyukur jika mendapatkan kebaikan dan ikhlas jika menerima keburukan. Karena sesungguhnya semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah. Semua yang kita miliki tak akan bertahan lama. Semua itu akan kembali kepada-Nya jika sudah pada waktunya. Begitu pula dengan Ayah.  Ayah sudah memenuhi panggilan-Nya, dan saatnya untuk kembali kepada Allah.”  sebelum menyelesaikan perkataanya, tiba-tiba Rossa menyela.

“Jadi, maksud kakak, Ayah udah nggak bisa nemenin Rossa buat main bola basket. Ayah juga udah nggak bisa ngajarin Rossa buat belajar bahasa Inggris. Ayah nggak bisa gowes bareng sama kita di hari Minggu. Ayah nggak bisa beliin Rossa boneka. Ayah nggak bisa bantuin Ibu memasak. Ayah udah nggak bisa. . .” Ucapannya terhenti, saat Kak Fahmi menempelkan telunjuknya dibibir tipisnya. Sembari mengusap kedua air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.

“Sst. Rossa, kakak tahu gimana perasaan kamu saat ini, tapi kamu juga harus kendalikan emosi kamu. Sekarang, tenangin dirimu dulu ya, manis.”

Rossa berjalan menuju Ibu dan mendekapnya dengan erat. Suasana haru menyelimuti rumah duka. Itulah sedikit kenangan yang terkenang oleh Rossa.

***

Yogyakarta, 26 Juni 2012.

Seusai mengingat semua kenangan lampau, ia kembali membaca sepucuk surat lusuh yang tersirat butir debu di sana-sini. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan. Setelah merasa rileks, ia membaca surat secara perlahan, dan mencerna makna perkata yang ada dalam surat itu. Rossa mengulang untuk kedua kalinya demi mencerna maksud dari surat itu yang dulu belum ia pahami menyeluruh.

Kalimantan, 26 Juni 2005
Kepada Putri kecilku yang sedang bergembira
di hari ulang tahunya yang kesepuluh

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakaatu.

Selamat ulang tahun, putri kecilku. Semoga kau dapat menjadi anak yang shalihah dan dapat membanggakan orang tua. Sepuluh tahun silam kau dilahiran di muka bumi ini. Lahirnya seorang putri kecil yang membawa sejuta kegembiraan bagi kami. Putri kecil itu kami beri nama Rossalia Amira. Kau tahu mengapa kami memberi nama itu? Nama itu memiliki arti sederhana namun bermakna. Rossalia berasal dari kata rose, yang berarti bunga mawar. Bunga mawar sangatlah indah. Bisa dipandang oleh semua orang, namun tak sembarang orang yang dapat memetiknya. Dia tetap terlihat indah walau berbagai ganggungan menerpa, karena ia mempunyai duri tajam yang mampu melindunginya. Sehingga masalah dapat ia hadapi dengan tenang dan lapang dada. Kami berharap kau bisa menjadi seseorang yang kuat melebihi mawar ini. Karena kehidupan tidak berjalan lurus seperti yang kita inginkan. Kata kedua yaitu Amira, yang mengandung arti putri. Putri yang elok dan menawan serta rendah hati kepada semua orang. Tidak memilih-milih dan berteman kepada semua orang. Yang bisa mengayomi seluruh rakyatnya. Itulah kau Rossalia Amira. Seorang putri yang cantik jelita seindah mawar.

Rossa, sebelumnya Ayah ingin meminta maaf, karena tidak bisa hadir dalam acara ulang tahunmu yang kesepuluh ini. Ayah sudah berusaha tuk mendapatkan izin, tetapi sia-sia, sekarang Ayah mendapat tugas ke luar kota, semoga dengan surat ini sudah bisa membuatmu tersenyum. Ayah juga mengirim sebuah kotak musik kecil yang kau inginkan sejak lama. Semoga kotak itu bermanfaat. Surat ini sengaja Ayah tulis hari ini dan mengirimnya dengan paket kilat. Semoga bisa sampai tujuan dengan tepat. Ayah hanya berharap kelak kau akan menjadi seorang gadis yang kuat dalam menghadapi segala rintangan. Jadilah seorang gadis yang bersinar seperti pelita. Kejarlah cita-citamu jangan sampai kau lengah dalam menggapainya. Ayah ingin kau menjdi seorang muslimah yang taat menjalankan tuntun-Nya. Semoga kau dapat mangambil hikmah yang tersirat dari sepucuk surat ini.

Salam rindu,
Ayah

Butiran air mata yang berjatuhan menetesi kertas lusuh itu. Rossa merasa telah kehilangan sosok pria yang membuatnya bahagia, semagat dan selalu ceria. Ia sekarang mengerti apa yang ditulis dalam surat itu sepuluh tahun silam. Hari ini adalah hari ulang tahun putri kecil itu yang ketujuhbelas. Keadaan rumah tentu berbeda dari yang lalu. Tak ada pesta serta kejutan dari Ayah. Rossa pun tak perlu merasa kecewa untuk kedua kalinya. Ia teringat kata-kata Kak Fahmi. Semua yang kita miliki tak akan bertahan lama.

Nenek beristirahat disisi-Nya setahun setelah Ayah tiada. Keinginan Ibu tersampai sudah. Ia telah melaksanakan ibadah haji, namun sehari sebelum pulang ia telah memenuhi panggila-Nya. Hanya Kak Fahmi satu-satunya kerabat yang dimiliki Rossa. Ia telah mempunyai keluarga baru dan sudah menimang bayi kecil. Lucu dan menggemaskan. Sekarang Kak Fahmi sedang melanjutkan study S2-nya di Australia. Hanya Rossa yang tertinggal. Ia sudah bisa menerima semua keadaan ini. Lagi pula ia masih memiliki seorang kakak.

Kini, Rossa tersenyum kembali menyambut hari-harinya meski harus ia jalani sendiri. Tapi ia yakin bahwa semua jerih payahnya yang ia lakukan sekarang akan membuahkan hasil yang sempurna. Keberhasilan tak selalu berawal dari kenangan yang menyenangkan. Melainkan dari kesungguhan seseorang itu untuk meraihnya.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment