Uswah SahaL
Penulis Buku Merawat Luka
Sungguh mata kedua orang tua itu selalu memampang wajah yang berseri dan bahagia. Meski usia yang sudah mulai senja. Orang tua dengan wajah penuh noktah yang selalu tersenyum setiap saat. Dianugrahi tiga anak perempuan yang cantik dan bersahaja. Tiba-tiba bahagia dan sepi berkelindan menjadi satu di hati orang tua itu, dalam hatinya ia berbisik, inilah putri terakhirnya yang juga akan berpamitan dengannya dan tinggal bersama suaminya. Bayangan akan perpisahan dengan anak bungsunya semakin menghantui.
Dua hari menjelang pernikahan si bungsu, ketiga anaknya dan menantunya datang. Hatinya seperti ditabuh kebahagiaan bertalu-talu. Ia ingin menikmati waktu lebih lama saat seperti ini, memasak masakan kesukaan anaknya dan bercengkarama bersama. Jika mengingat masa itu matanya selalu basah. Baginya rumah adalah tempat yang paling indah untuk menghilangkan semua gundah. Suasana yang begitu riuh di dalam rumah, namun sangat berlawanan dengan hati kecilnya. Entah mengapa jiwanya terasa sangat hampa. Sesak dan isak tangis mengendap dalam hatinya yang belum jelas sumber dan asal-usulnya. Putri pertamanya sudah menikah dengan pria keturunan Jawa-Pakistan. Setahun kemudian putri keduanya menikah. Suaminya adalah seorang kontraktor, dua bulan kemudian putrinya juga diboyong ke Jakarta. Awalnya ia mengira Jakarta tak akan menjadi pembatas jarak untuk bertemu keduanya.
Kemudian putri bungsunya tetap akan tinggal di kota ini, tetap satu Kabupaten dengannya. Ia menikah dengan seorang guru Bahasa Indonesia yang baik. Namun tetap saja tidak mengurangi rasa sunyi yang tiba-tiba hadir dan menyeruak. Satu minggu lagi rumah ini akan lengang. Keduanya akan berkawan sepi bersama suaminya. Kemudian pikiran tiba-tiba melayang dua puluh tahunan lalu saat ia menikah dengan suaminya. Kini semua anak telah pergi dengan langkah panjang dan mata tak ingin berbelok. Mungkin bagi mereka masa depan adalah sejuta harapan dan cita-cita. Sementara masa lalu bagi mereka hanya ketuaan dan kesia-siaan. Dan semuanya menjadi tepat. Laki-laki dan perempuan itu merasa telah berada di masa tersebut.
Sementara sebagai seorang Ayah tak bisa dipungkiri bahwa beberapa langkah ia lebih tegar dibandingkan istrinya. Meskipun kadang merasa kesepian. Laki-laki dengan rambut yang hampir memutih, mencoba menepis kesepian sedalam-dalamnya. Saat ketiga putrinya menikah laki-laki itu selalu memasang senyum cerah di depan menantu dan anak-anaknya. Dulu sewaktu masih muda dan tenaganya masih tenaga muda Ayah tiga anak itu berhasil membeli kandang yang berhektar-hektar. Saat anak-anaknya masih bersekolah, akan ada orang berdatangan untuk memasok telur ayam setiap pagi. Sementara ayam-ayam jago kesayangannya tak akan pernah dijual. Seperti merawat dirinya sendiri, ia akan memandikan jago kesayangan saat sore tiba. Mengelus-ngelus dan bercengkarama tak ubahnya ayam yang bisa berbicara dengan manusia. Ayam menjadi teman yang sangat akrab baginya. Kini ayam masih tetap menjadi temannya kembali mengais-ngais kenangan tentang kejayaan dan masa lalu.
Hari bulan semakin berlalu, tahun demi tahun terlewati anak-anak dan menantunya jarang sekali berkunjung. Mungkin hanya saat lebaran tiba. Banyak ayam yang dijual karena lelaki itu sudah tak kuat lagi bekerja. Setiap sore ia akan meringkuk di pojokan rumah dengan sang istri memerhatikan ayam yang melengak-lengok berebut butir beras yang tercecer
di halaman rumah . Tak ada yang lebih menarik selain itu, selain telfon dari anak dan menantunya. Kini yang tersisa hanya pandangan nanar. Sisa-sisa tenaganya juga semakin menipis, tangan dan kakinya juga sudah tak cekatan seperti dulu saat bekerja sebagai juru sambung ayam. Suaminya lebih sering sakit daripada bekerja. Sementara sang istri mulai rabun, ia mulai kehilangan ketajaman dalam melihat. Tak ada penghasilan yang mereka peroleh namun keduanya tak ingin membebani anak-anak kandungnya. Tabungan yang awalnya mereka simpan sebagai simpanan di hari tua, pelan tetapi pasti mulai terkuras untuk biaya kehidupan sehari-hari, sejak suaminya sakit-sakitan dan kebutuhan membeli kaca mata, tabungannya mendadak jebol. Kadang ia ingin menjadi peternak ayam dengan sedikit memaksakan dirinya, justru satu minggu kemudian ia malah jatuh sakit.
Di luar langit tampak merah keemasan tertimpa cahaya bulan dan bintang. Terlihat mata laki-laki itu yang semakin berat menahan kantuk. Tubuhnya yang semakin kurus dan berkerut. Tiba-tiba ia seperti orang yang mengigau berkata pada istrinya. Dengan kondisi rumah dan uang yang serba pas-pasan laki-laki itu melontarkan keinginannnya yang membuat istrinya terkejut. “Aku ingin pergi ke Sanur menikmati es kelapa muda sambil meyaksikan matahari tenggelam di ufuk barat, kemudian kita akan kembali duduk berdua seperti saat kali pertama bertemu. Kita akan kembali menyaksikan langit saat matahari bersiap enyah dari pandangan, kemudian sore itu seketika laut tampak lumpuh sebab tak bisa menggelombangkan ombak ke bibir pantai demi mengecup paha-paha karang.” Kemudian dengan tegas istrinya menolak keinginannya yang mahal itu. Pergi ke Sanur dan menikmati senja serta kemewahan es kelapa muda di depan pantai sangatlah mustahil dialami melihat usianya yang sekarang. Itu terlalu mewah bagi usianya yang sekarang. “Umur kita masih panjang dan kebutuhan ke depan masih sangat banyak, tak mungkin jika kita akan menghabiskan tabungan kita untuk menikmati kemewahan es kelapa muda di Sanur”. Laki-laki itu tersontak oleh ucapan istrinya. Ia kembali seperti anak kecil yang merengek, kemudian tiba-tiba mata sepasang suami istri itu menjadi basah.
Dua hari kemudian laki-laki itu kembali mengutarakan hal yang sama, rupanya ia tak pernah main-main dengan keinginannya, dengan wajah yang memelas dan suara yang amat parau laki-laki renta itu kembali merengek. Barangkali ini permintaanya yang terakhir sebelum laki-laki itu mati. Sementara istrinya hanya tergugu, ia menjadi diam dan tidak berdaya. Kemudian perempuan itu mengelus punggungnya yang sudah mulai bungkuk, ia mencoba membuatnya mengerti bahwa hidup kita tidak hanya sekadar menikmati es kelapa muda. Hidupnya memang tak banyak pilihan. Suaminya menatap dengan mata kecewa sementara istrinya menatap dengan perasaan iba. Masih tak terima kemudian laki-laki itu sontak berkata.” Mintalah pada anak-nak kita, mereka cukup kaya untuk membantu kita, pasti mereka tidak akan pernah keberatan.”
“Jangan mencoba menghayal tentang itu, bukankah Tuhan kita telah mengajari bahwa mendidik anak harus ikhlas, tidak boleh mengharapkan balas budi apa pun, kamu juga sudah tahu kenytaan yang terhampar di depan mata kita. Pada akhirnya memutuskan kita untuk berhenti berharap”.
Waktu terus berjalan hingga percakapan hampir hilang. Laki-laki itu melewati hari-hari yang menyakitkan. Hidupnya seperti dibayangi Sanur dan es kelapa muda. Sementara kekhawatiran pada istrinya semakin berkembang dan berbisik seperti malaikat dan iblis yang sedang berdebat cerewet. Antara menuruti keinginan suaminya yang semakin menjadi-jadi. Pada kenyataanya tak seorang pun dari ketiga anaknya yang mengirimi uang. Begitu pun dengan putri-putrinya awalnya ia pulang sebulan sekali, kemudian setahun sekali dan sekarang menjadi dua tahun sekali dengan alasan biaya penerbangan mahal. Awalnya ia juga sering memberikan kabar tentang cucu dan kehidupannya. Lambat laun tak pernah lagi menelfon.
Bagaimanapun tidak ada yang boleh mengutuk anak yang telah dilahirkan dari rahimnya sendiri. Barangkali kesendirian adalah sebab yang harus diterima takdir yang tidak pernah memerlukan alasan apa pun. Laki-laki itu tak pernah kehabisan akal. Ia akan menjual jago-jagonya untuk transportasi ke Sanur. Ia akan menjual semua jago-jago kebanggaannya. Awalnya perempuan itu mengira suaminya hanya bercanda. Sebab jago itu pernah ditawar sampai puluhan juta tak juga diberikan. Perempuan itu mencari-cari kesungguhan dalam matanya dan dia tidak menyangka jika suaminya sedang berbicara yang amat serius. Dulu jago itu seringkali menjadi kebanggannya karena ia selalu menang dalam taruhan. Jejaknya sudah lama malang melintang.
Pagi itu matahari dari arah timur mulai menampakkan wajahnya diam-diam. Kemudian cahaya putih menerobos celah-celah daun dan ranting. Membentuk garis-garis cahaya yang jatuh ke halaman rumahnya, hingga cahaya berebut masuk, berdesakan berebut celah, menimbulkan bercak-bercak cahaya yang indah. Sementara setelah subuh pembeli ayam keluar masuk dari rumahnya. Laki-laki itu telah memutuskan bahwa dia menjual sepuluh ayam jagonya. Dia hanya menyisakannya dua untuk disembelih menjadi santapan ayam panggang bersama sang istri. Dia menghitung uang dengan sesegukan. Hatinya tak sampai hati melihat ayam-ayam itu dijual. Ia bercerita dengan air mata yang deras. Sementara
kebingungan sang istri semakin menjadi-jadi akan kelakuan suaminya. Laki-laki itu kembali mengeluh. “Mengapa semua muncul saat kerentaan tiba. Kelemahan, ketakutan. Anak-anak yang dulu dibesarkan dengan peluh keringat menjadi lupa dari mana dia dilahirkan. Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak menarik, tak diinginkan.”
Dengan langkah panjang tanpa sekalipun menoleh, laki-laki itu besok akan pergi ke Sanur bersama sang istri dengan ayam-ayam yang telah dijualnya. Ia akan menikmati es kelapa muda dan menikmati matahari tenggelam dari ufuk barat. Mungkin jika Tuhan akan mengambilnya, mimpi laki-laki itu telah terlaksana. Sebenarnya bukan hanya persoalan tentang es kelapa muda dan menyaksikan senja tiba. Ada sesuatu hal yang mengharuskan dirinya mengunjungi Sanur dan duduk berlama-lama disana. Entahlah laki-laki itu masih enggan menceritakannya!
Baca tulisan terkait
Dilarang Mencintai Yusuf
Mengubur Rahasia