Aku adalah seorang muslim, dan ini merupakan kali pertama aku ikut merayakan Natal.

Sedari lahir, aku tidak berani sembarang mengucapkan Selamat Hari Natal kepada kawan-kawanku, paling-paling saat momen itu tiba, aku biasa mengucapkan selamat tahun baru ataupun selamat liburan kepada kawan-kawanku. Sesekali, aku hanya menanyakan kegiatan seru apa yang dilakukan saat natal kepada kawan-kawan umat kristiani sebagai bentuk toleransiku.

Akan tetapi perayaan Natal di tahun 2018 kali ini berbeda dari tahun-sebelumnya. Aku yang saat ini tergabung dalam Komunitas Gusdurian Malang, diajak kawanku untuk ikut safari natal ke gereja-gereja yang sedang merayakan Natal. Awalnya diriku ragu, sehingga aku pun memilih untuk ikut ke Yayasan Bhakti Luhur dibandingkan ke Gereja. Yayasan Bhakti Luhur ini merupakan yayasan sekaligus sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dengan pengurus dan pengelola yang memiliki latar belakang yang sama dan seluruhnya beragama Katolik. Sebelum itu, aku pernah ke Yayasan ini dalam rangka bakti sosial yang diselenggarakan oleh organisasi intra di kampusku Oktober lalu. Oleh karenanya, aku pikir ini juga agenda bakti sosial sembari merayakan natal di Yayasan ini, sehingga aku pun memutuskan untuk nimbrung di safari ini.

Setibanya di yayasan, kami pun mendapat penyambutan hangat oleh seorang suster pengurus Yayasan Bhakti Luhur. Teman-teman komunitas pun bersalaman dengan suster sembari mengucapkan “Selamat Hari Natal Suster, semoga damai menyertaimu selalu.” Aku pun hanya diam ketika bersalaman dengan Suster itu, pikirku tidak akan ada yang tahu jika aku tak mengucapkannya sebab rombongan kami berjumlah cukup banyak.

Sembari menunggu, kami ngobrol santai disertai guyonan ringan, para suster pun berbondong-bondong memberikan kami air mineral dan beberapa roti yang tersedia di dalam kardus. “Kita sama, semua ini pun sama, hanya cara beribadah kita yang berbeda.” Kata Suster di sela-sela obrolan kita. Sambil menikmati kudapan roti, aku pun tak berbicara banyak karena aku masih ragu dan heran, kenapa semua orang terlihat santai saja berbicara tentang perbedaan keyakinan. Bukankah ini sangat sensitif?

Setelah itu, Suster yang lain mengajak kita untuk masuk ke dalam Yayasan dan ikut memeriahkan perayaan natal. Kami pun memasuki Yayasan dan  bertemu dengan banyak pengurus, siswa, dan anak berkebutuhan khusus. Selain itu kami juga bertemu dengan Lion Group Surabaya yang sedang melakukan kegiatan pengabdian di Yayasan ini. Semua orang kita salami sembari mengucapkan “Selamat hari natal, semoga damai menyertaimu selalu.” Meskipun kami memakai rok dan jilbab, sarung dan kopyah, ataupun celana dan surban, hal itu lantas tak membuat kami ragu untuk mengucapkan itu. Tentu aku hanya diam, tak bicara sepatah katapun. Hanya senyum manis sedikit kecut, hehe. Walaupun mereka selalu berkata, “Terimakasih atas ucapannya, terimakasih semuanya, terimakasih semoga Tuhan memberkati kalian semua.” Setelahnya aku tak mengucapkan kata Amin walaupun teman-teman Gusdurian banyak yang berkata Amin.

Kami semua pun menjadi sorotan sebab kami tak mengenakan baju merah ataupun hijau, tak menggunakan topi natal ataupun bandana tanduk rusa, serta atribut natal lainnya. Melainkan kami adalah rombongan yang mengenakan rok, jilbab, sarung, surban, kopyah seperti rombongan hendak ziarah ke makam Wali Songo, hehe. Sehingga kami pun kebanjiran foto, banyak sekali warga yayasan yang ingin berfoto dengan kami.

Kami semua duduk di bawah terop di depan panggung, sebagian dari kami yang lain ikut membantu untuk mendorong orang-orang disabilitas yang menaiki kursi roda dan duduk di sebelah kami. Serangkaian acara pun dimulai, dari nyanyian pujian natal, hiburan sulap, dan tarian adik-adik dari Dempo. Memasuki acara berikutnya yakni pengenalan komunitas. Sebagian dari kami diminta untuk maju untuk mengenalkan Komunitas kami yakni Gusdurian Malang, Dulur Never End (DNE), dan Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC), inti dari pengenalan ini adalah tentang kegiatan komunitas kami, salah satunya tentang lintas iman, dengan demikian tidak ada prasangka-prasangka satu dengan yang lain, tidak ada perpecahan akibat isu SARA, dan masyarakat Indonesia senantiasa hidup rukun dan damai satu sama lain. Setelah acara pengenalan, terdapat sesi foto bersama para suster dan pengurus Yayasan, serta Lion Group Surabaya. Kami pun juga membuat cuplikan video ucapan Hari Natal. Karena inilah aku mengucapkan selamat natal untuk pertama kalinya. Ada kejanggalan dalam perasaanku, tapi aku mencoba tak peduli, dan mencoba tetap fokus pada acara ini.

Setelah sesi foto dilakukan, kami pun kembali ke tempat duduk kami masing-masing. Konsumsi makan siang telah dibagikan di atas kursi kami. Sebelum makan tentu diawali dengan berdoa. Berdoa kali ini sekaligus menjadi penutup pada kegiatan ini, yang tentunya menggunakan doa cara umat Katolik yang dipimpin oleh Raymond, teman Gusdurian yang beragama Katolik. “……Inilah doa yang kami sampaikan kepadaMu dengan perantaraan Kristus PutraMu, pengantara kami, yang bersatu dengan Dikau dan Roh Kudus hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang masa. Amin.” Warga Yayasan pun serempak mengucapkan “Atas Nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.”  dengan tangan mereka yang semula menunjukkan di dahi, lalu di dada, di bahu sebelah kiri dan menyilang di dada kanan, dan terakhir tangan yang terkatup. Semua orang pun ikut berkata Amin. Lain halnya dengan aku, Setelah aku ikut menundukkan kepala saat sesi doa, aku pun langsung membaca basmalah sebelum makan dan tidak meng-amin-kan satu pun dari doa-doa tersebut.

Usai makan bersama, para donator dari Lion Group Surabaya membagikan balon untuk semua orang, teman-teman gusdurian pun berpencar untuk berfoto di sana sini, ngobrol dengan yang sana dan ini. Sedangkan sebagian warga Yayasan juga menari ala orang Timur karena sebagian warga di sini juga berasal dari daerah Timur. Mereka pun juga mengajak teman-teman Gusdurian. Semua orang merasakan kegembiraan natal tahun ini. Banyak sekali gelak tawa yang terpancar dari wajah mereka. Meskipun aku yakin sebagian dari mereka adalah anak rantau yang jauh dari keluarga, namun kegembiraan bersama yang kita rasakan dan kehadiran teman-teman Gusdurian yang menjadi bentuk perwujudan perdamaian di Negri kita menjadikan perpaduan yang lengkap untuk perayaan  Natal di Yayasan Bhakti Luhur tahun ini.

Di sela-sela itu aku melihat Kak Rio (Koordinator Gusdurian Malang) dan Kak Abdik (Koordinator Duta Damai Jatim) sedang bercengkrama dengan seorang Bapak yang menyandang disabilitas. Beliau tidak memiliki kaki dan jari yang sempurna di tangan kirinya serta hanya memiliki tangan sampai lengan bagian atas pada tangan kanannya. Akan tetapi, semangat hidup beliau sangat tinggi. Beliau juga Guru IT di Yayasan ini. “Yun, Bapak ini hebat dan luar biasa. Beliau adalah Guru IT dulunya muslim lalu pindah agama menjadi Katolik” Kata Kak Rio kepadaku. ‘Apanya yang hebat jika ada orang yang berpindah keyakinan dari islam?’ Batinku. Banyak sekali keraguan dan kejanggalan yang timbul dari dalam diriku akan kegiatan ini.

Kami terlalu asik mengobrol dengan bapak itu, hingga tak terasa teman-teman Gusdurian kembali pulang, hanya tinggal kami bertiga. Kami bertiga pun pulang juga dan pamit kepada para warga di Yayasan ini. Selama berjalan di sepanjang koridor menuju lobi kami bersalaman sembari mengucapkan Ucapan Hari Natal kepada mereka. Karena kondisi kali ini berbeda, aku tidak dengan rombongan banyak orang dan hanya bertiga, pun ikut mengucapkan ‘Selamat Hari Natal’ kepada semua orang yang aku temui, dan dalam hatiku aku juga menghitung berapa kali kalimat itu aku ucapkan untuk mereka, dan berapa kalimat  istighfar yang harus kubayar untuk itu.

Sesampainya di rumah, segera aku mencari referensi terkait kegiatan yang aku lakukan hari ini. Hal yang membuatku sedikit lega adalah pernyataan Gus Dur:

“Kita Hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain” 

Penulis & Illustrator : Yuyun Nailufar
Editor : Novania Wulandari