Semua Kurang dari 2 Jam

PUCUKMERA – Malam dan gerimis seakan begitu akrab. Bulir halus air berdesakan jatuh dari langit. Mato menoleh ke kanan setelah sesekali menyeruput expresso Toraja di tangan kanannya.
“Kok diluar gelap ya, Fan” kata Mato, sembari tersenyum dan menyembur kebulan asap Dji Sam Soe.
“Ya iyalah, wong iki malam, di sebelah sawah lagi.  Hehe”  Mereka terlibat canda dan melanjutkan cerita tentang kampung halaman.
Selain gerimis malam itu, angin juga bertiup cukup kencang. Sampai-sampai gorden yang tebuat dari anyaman bambu itu terlambai kekiri dan kekanan. Suasananya dingin sekali. Itu sebab Fandi mengenakan jaket tebal kesayangannya yang dibelinya di toko rombengan. Walau begitu, Mato seakan tidak merasa dingin. Ia hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih yang bertuliskan ‘asmara’ di sisi kanan kaos lusuh itu.
“Kamu ndak dingin Mat?” Tanya fandi.
“ndak juga, sudah terbiasa” Mato menanggapi santai.
“kuat sekali kamu” Fandi membalas. Tiga tahun setengah di Malang, cuaca dingin sudah biasa bagi Mato. Walau sebenarnya Mato membawa jaket tapi disimpanya di dalam tas. Tentu Fandi sangat tercengang. Selama di Bula dan Makassar, tidak pernah ada cuaca sedingin ini. Iya, karena rumahnya di sana dekat laut, sedangkan Malang berada di pegunungan.
Mato dan Fandi bercerita banyak hal. Maklum, mereka sudah lama tidak bertemu. Keduanya masih saudara. Kelahiran Maluku, semasa SMA Fandi pindah ke Makassar dan melanjutkan kuliah di sana. Sedangkan Mato menyelesaikan SMA di Maluku dan setelah lulus, Ia merantau ke Malang untuk kuliah. Mato mengambil konsentrasi keguruan yang sementara ini masih berjalan semester delapan.
Setelah lulus sarjana Ilmu hukum di salah satu kampus swasta di Makassar, Fandi berencana lanjut S2 di luar negeri. Oleh sebabnya Ia ke Pare, Kediri; dengan tujuan kursus bahasa inggris. Ia singgah beberapa hari di Malang karena ada saudaranya Mato. Juga sambil menunggu jadwal pendaftaran kursus dibuka. Setelah bercakap selama 30 menit tanpa menghiraukan apa-apa selain keduanya menyeruput kopi dan menarik lalu menyembur asap rokok. Tiba-tiba suasana hening. HP Mato yang di cas di belakang kursi berbunyi, Fandi tidak sengaja melihat kebelakang kursi.
“Mat ada pesan WA masuk kayaknya tuh” kata Fandi.
“oh iya?”
“aku cabut aja casnya ya. Gantian aku cas HPku dulu” ujar Fandi.
“Iya, sini HPku”. Mato membuka aplikasi WAnya ternyata ada pesan masuk. “kanda lagi dimana?” isi pesan itu. Pesannya masuk sudah 20 menit lalu. Mato cepat-cepat membalasnya.

ini di Coffee Shop. Equal dinda 😊” 
“kok lama balasnya, kandaa” 
“hehe, maaf dinda..tadi kanda gak lihaat HP. Dicas soalnya tadi 😊” 
“kanda sama siapa? Aku pengen ngopi”. 

Mato kembali membalas chat itu dengan memberitahu bahwa ia sedang bersama saudara laki-lakinya dan mengajak dinda untuk ngopi bareng di Coffee Shop sebelah sawah itu. Balas pesan itupun meng-iyakan. Karena masih gerimis dan kebetulan tidak ada mantel, Mato kembali mengirim pesan bahwa setelah gerimis saja datangnya. “Jangan kena gerimis, nanti sakit”. Ketiknya sambil menunggu.
Pesan WA itu dari Ria. Ria adalah adik tingkat Mato di sebuah organisasi mahasiswa. Semenjak Ria bergabung di organisasi, Mato-lah yang mengkader Ria; mengajak diskusi, membimbing, mengarahkan, dan lain lain. Ria cukup cerdas dan sering membuat bangga organisasi dengan prestasinya. Suka menulis, membaca puisi, dan hal-hal yang berbau sastra. Tidak salah jika Ria mengambil jurusan bahasa Indonesia di salah satu kampus di Malang.
Tak lama kemudian, Ria datang. Sepertinya bagi Mato dingin terasa makin terusik. Malam itu tidak banyak pengunjung yang datang. Mereka bertiga duduk di meja sebelah barat. Sambil menyapa dan salaman, Mato menyediakan kursi untuk Ria. Mereka terlibat percakapan, namun wajah Ria seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi mungkin Ia sungkan hendak bercerita karena ada orang baru.
“Udah makan?” Tanya Mato.
“Sudah” Jawab Ria.
“Makan apa?” Tanya Mato lagi.
“Nasi goring tadi” kata Ria.
“Pesan dulu” kata Mato, namun Ria membalas.
“Ndak, ndak usah, aku masih kenyang kanda, barusan makan juga hehe” sambil terkekeh.  Mereka bercakap mengalir sambil diselingi tawa. Mato sempat menyelimuti Ria dengan jaket yang dia ambil dari dalam tasnya, sebab Ia  tau malam itu akan sangat dingin. Mato tampak senang malam itu, nampak sekali dari raut wajahnya yang berbinar. Setelah mengobrol 1 jam , tak terasa waktu sudah pukul 23.30 pertanda sudah cukup larut dan sepertinya mereka perlu istirahat. Pukul 23.32 mereka sepakat untuk pulang dan kemudian saling berpamitan.
“abis ini mau ke mana?” Tanya Mato kepada Ria.
“langsung pulang kok kanda, lagian sudah malam” jawab Ria. Ria mengendarai motornya sendiri. Ria melaju bersama motornya menuju rumah. Mato dan Fandi pun berjalan kaki pulang. Karena jaraknya cukup dengan dengan Kedai. Fandi menginap di kosnya Mato.
Sesampainya di Kos, waktu pukul 00.00. Fandi nampaknya mulai lapar. Karena tadi tidak sempat makan. Ia pun mengajak Mato untuk membeli lalapan. Berdua mereka mengendarai motor menuju warung lalapan di Jalan Tirto utomo. Firasat Mato mulai tidak enak, ada hal yang mengganggu pikirannya. Sesampainya di jalan tirto, tak sengaja Ia melihat hal yang diluar dugaan. Sungguh, Mato sangat terpukul ketika Fandi berkata “ehh, itu bukannya perempuan yang tadi?” hal yang tidak diingankan pun terjadi. Dalam waktu kurang dari dua jam saat berjumpa di Kedai. Ibarat hujan dan panas seketika. Bahagia serentak diganti dengan kekecewaan.
Ada apa?
***
Bersambung

Oleh : Ode Rizki Prabtama
Editor/Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
1Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment