PUCUKMERA – Sepunggur. Nama tanah entah berantah yang akan aku tapaki selama 2 bulan kedepan. Tanah gambut bekas hutan yang baru saja dibabat habis untuk pemukiman para transmigran dari Jawa Tengah. Sama sekali tidak ada penerangan, apalagi swalayan, jangan harap ada di sana. Bahkan untuk mandi, cuci, kakus saja orang-orang setempat masih mengandalkan air parit yang warnanya hampir menyerupai susu cokelat. Sedangkan air untuk minum dan keperluan memasak warga sangat bergantung pada air hujan yang mereka tampung di setiap tandon yang mereka punya.
Sekolah jangan di tanya. Keberadaannya sangat jauh dari kata layak. Di Sepunggur aku merasakan sekolah yang sebenarnya. Seperti makna sekolah pada umumnya. Tempat mencari ilmu, aku benar-benar mendapatkan ilmu yang tak pernah aku dapatkan di sekolahku terdahulu.
Sekolah yang jarak tempuhnya kurang lebih 1 jam dari pondokan dengan berjalan kaki. Sekolah yang tidak layak disebut sekolah. Sekolah yang sebenarnya merupakan balai desa. Sekolah dengan sekat udara antar kelasnya. Sekolah yang siswanya memakai seragam yang beragam. Sekolah yang siswa kelas empatnya berjumlah empat orang. Sekolah yang hanya memiliki lima guru sedangkan kelas berjumlah enam. Sekolah yang jika hujan tiba dipagi hari akan libur dengan sendirinya. Sekolah yang jika hujan siang hari akan membasahi bangku-bangku mereka. Sangat menarik perhatian bukan? Itulah Indonesia. Selalu menarik dari segala sisinya.
Jangankan sekolah, fasilitas kesehatan pun nasibnya demikian. Mereka menyebutnya dengan pustu atau puskesmas pembantu. Ya benar sekali. Puskesmas ini memang sangat membantu. Walaupun hanya sekedar demam, meriang, digigit serangga, bahkan digigit ular. Tapi sayang bantuan itu tidak berlaku untuk ibu yang hendak bersalin. Mereka harus pergi ke desa seberang yang jarak tempuhnya sekitar 1 jam menggunakan ketinting. Karena tidak adanya alat yang memadai.
Disela-sela keterbatasannya, Sepunggur memiliki keindahan tersendiri. Ada hal yang aku suka dari Sepunggur. Aku suka fajarnya, aku suka bintang malamnya, melihat semua itu aku berasa di planetarium. Aku suka awan putihnya dan juga suka warna jingga saat senja. Rasanya sangat sederhana seperti perpaduan antara senang, tenang, dan bahagia. Rasanya saat melihat semua itu seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam dada. Terdengar berlebihan, tetapi itulah yang ku rasakan.
Langit dan bintang itu menjadi temanku menghibur diri atas segala tantangan yang sepertinya berat untuk dihadapi. Menjadi tempat istirahat sejenak selain sajadah yang ku bentangkan disepertiga malam hari. Langit itu juga yang menjadi obat bagi endapan rindu di hati ini. Seakan bersedia menjadi temanku untuk berharap. Berharap sanak saudara, kerabat, teman dekat baik-baik saja di seberang sana. Langit itu seperti layar lebar yang mengkonversi suara menjadi imaji yang di terima oleh telingaku sendiri. Menggambarkan wajah-wajah mereka yang selama ini hanya kutemukan dalam mimipi. Tapi suara itu menghilang, imaji itu pun ikut menghilang ketika daya HP ku habis terbuang hanya untuk menelfon kampung halaman.
Tidak hanya itu, Sepunggur ini adalah replikasi dari Yogyakarta. Pak Kades, Pak RT, Bu RT, Mbah RT, Bu Bidan, Bu Kader, dan Warga lainnya. Sepertinya hati mereka tersusun oleh suatu senyawa yang bernama keramahan. “ Mampir mbak… mampir mas..” Kata mereka setiap kali kami melewati rumah panggung hijau itu. Kami hanya bisa menjawab “Nggih pak, Nggih bu.. Lain kali saja. Kami hendak kesana” berusaha menjawab sopan dengan bayang-bayang banyaknya program yang belum dilakukan. Tapi apa yang mereka berikan setelah mendengar ucapan kami, Sebuah senyuman mengembang di pipi mereka.
Belum lagi ketika kami lelah berjalan menyusuri tanahnya yang gersang. Seakan-akan air putih menjadi seperti berlian. Terlihat sangat menggiurkan. Mereka sangat senang ketika kami mampir ke bilik kayu itu. Walau hanya sekedar melepas dahaga, walau hanya istirahat sejenak hingga senja tiba. Di tambah lagi ketika kami pamit pulang, selalu saja ada alasan untuk memberikan kami buah tangan. Entah itu singkong, daun singkong, cabai, terong, atau daun bawang. Apapun yang dapat kami olah menjadi makanan.
Tak hanya itu. Rasa bahagiaku datang ketika tensimeter dan termometer yang aku bawa menjadi sumber bahagia mereka. Mendengar keluhan mereka, mulai dari pusing, gatal-gatal, sakit pinggang, sakit punggung, demam, apapun dengan senang hati aku meladeninya. Belum lagi ketika mengobati teman-teman dari klaster lain seperti agro, soshum dan saintek yang bandelnya hampir membuat betadine, plester, dan kassa tim habis. Semua itu semakin menguatkan fakta bahwa bahagia itu sederhana. Setidaknya aku berguna di sana. Tidak hanya menjalankan kewajibanku memenuhi 3 SKS saja.
Tidak seperti tempat-tempat yang pernah ku kunjungi sebelumnya. Sepunggur berbeda. Sangat berbeda. Istimewa.
Oleh : Arina Nursafrina Rahmatina
Editor : Didin Mujahidin
Illustrator : Mufardisah