Sebuah Catatan Menjadi ODP di Kampung Halaman


Rino Hayyu Setyo
Mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM


Coronavirus atau Covid-19 kian menggaung di tengah keramaian omnibus law, geliat investasi, dunia literasi, dan revolusi industri 4.0. Namanya menjadi jagad perbincangan dunia. Dia datang tanpa mengetuk pintu peradaban dan singgah di tubuh manusia tanpa izin bahkan perjanjian.

Sejak ditemukan akhir tahun lalu di Wuhan, China, baru sekitar 3 minggu terakhir negara Indonesia menanggapinya dengan cukup serius. Meskipun secara geografis Indonesia cukup dekat dengan Negeri Tirai Bambu itu, isu global tentang serangan virus ini akhirnya mendapatkan perhatian di mata publik. Dalam gelombang frekuensi pemberitaan media massa, medio Januari sampai Februari lalu Indonesia masih terlelap dalam pembahasan isu omnibus law dan revolusi industri 4.0.

Terlebih saat di Jakarta sudah dinyatakan ada 2 warganya dinyatakan positif Corona. Baru awal Maret lalu hingga Jumat (20/3) kemarin pemerintah pusat melalui juru bicara penanganan Corona menyatakan bahwa sudah ada 369 pasien positif Corona. Bagaimana perdebatan di media sosial dan pemberitaan, masyarakat berhak berpendapat. Tapi kewajiban yang utama ialah keputusan tegas dari pemerintah pusat untuk melakukan penanganan. Karena dengan segala alat kelengkapan dan kewenangan dimiliki oleh negara.

Saya sudah jengah untuk berdebat dengan kawan sumbu pendek atau beberapa orang yang berlabel doktor di Malang tentang penanganan virus ini yang menganggap biasa saja. Kesadaran akan kondisi ini hanya dianggap mereka membuat tambahan kepanikan. Padahal, tindakan menjaga kebersihan hingga self isolation atau social distancing merupakan konsekuensi logis dari teori kesadaran kritis setiap individu. Bukan malah menanggapinya dengan kesadaran magis atau naif.

Kali ini saya hanya mencoba menceritakan bagaimana penanganan di kampung halaman. Apalagi semenjak Kota Malang dinyatakan menjadi zona merah Jawa Timur. Dikarenakan ada dua warganya yang dinyatakan positif Corona. Sebagai warga Kota Kediri yang bekerja sebagai jurnalis dan sedang mengerjakan tugas akhir untuk menempuh magister di salah satu kampus negeri di Malang, maka akhir pekan ini menjadi peristiwa pertama yang saya rasakan atas kesadaran kritis yang dibangun oleh masyarakat sekitar, khususnya keluarga saya.

Saya pulang ke Kediri merasa cukup aneh. Karena, sejak datang di rumah pukul 01.00 dini hari, saya diminta keluarga untuk langsung menuju kamar mandi. Tak hanya itu, di meja belakang saya sudah disiapkan sejumlah pakaian ganti dan handuk. Melihat stimulus dari keluarga, hanya menyadari isyarat itu ialah permintaan untuk segera membersihkan diri. Tak cukup dengan mencuci muka, tapi juga mandi. Ya begitulah rasanya mandi tengah malam. Biasanya, orang mandi tengah malam di Kediri itu jika dianggap terganggu oleh makhluk magis atau sedang mempunyai ritual tertentu. Sehingga, keputusan untuk mengambil langkah mandi merupakan bagian dari apa yang sedang diyakini.

Belum ada sehari saya istirahat di rumah, pada Sabtu (21/3) pagi sudah ada pesan berantai di grup WhatsApp kelurahan. Isinya sebagai berikut:

Yth, Bpk/ibu ketua Rt beserta semua anggota group.
Demi keselamatan bersama dalam ikhtiar mencegah virus Corona, saya mohon info / laporan tentang :


  1. Warga Mnsrenggo yg masih berada di luar negeri
  2. Orang yg berdomisili di Mnsrnggo yg baru datang dari luar negeri
  3. Orang yg berdomisili di Mnsrnggo yg baru datang dari Jakarta, Surabaya dan Malang
  4. Warga masy Manisrenggo yg sering & Aktif berpergian Ke Luar Kota
  5. Warga yg sakit panas, batuk, pilek, sesak nafas
    6 Tempat kos yg saat ini masih ada kegiatan
  6. Tempat usaha yg banyak karyawan nya
  7. Warga yg merencanakan kegiatan yg sifatnya dihadiri ± 20 org sementara di tunda. (Kecuali Urgen / ada org meninggal dunia)
    “Mari kita selamatkan keluarga kita, serta peduli dan saling pantau sekitar kita”.


Pesan itu bukan sekadar pesan, namun nama saya sudah dicatat juga menjadi warga yang baru saja datang dari Malang. Kegiatan pencatatan ini dimulai Sabtu (21/3) pagi tadi. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan poin ketiga dari pesan berantai tersebut. Menanggapi hal itu, saya sebagai warga justru bersyukur. Karena, adanya kesadaran yang dibangun masyarakat untuk mengambil keputusan untuk mengatasi permasalahan global. Sikap preventif dari masyarakat tersebut menunjukan partisipasi untuk mencegah penyebaran virus. Sehingga wajar jika kemungkinan saya dicatat sebagai orang dalam pengawasan (ODP) di kampung.

Perubahan sosial alamiah karena virus pandemi ini menjadi langkah konkret masyarakat. Saya mengingat beberapa dalil tentang perubahan sosial yang kapan saja bisa terjadi tanpa rencana salah satu ialah disebabkan oleh bencana alam dan wabah penyakit. Salah satunya, hal yang paling abadi dari dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Dia bergerak dinamis, meskipun masyarakat bisa jadi mengalami status quo. Baik kemacetan berpikir apalagi tindakan. Masalah virus Corona ini menjadi stimulus belajar masyarakat memahami potensi bahaya penyebaran pandemi tersebut.

Membentuk Community Rescue Service hingga Community Development. Kondisi kesadaran masyarakat ini tidak boleh berhenti sampai di sini saja. Karena, pemerintah telah menetapkan status darurat nasional wabah ini sampai 29 Mei mendatang. Berbagai pembaruan langkah harus dilakukan masyarakat bertahap. Sekira ada hal yang bisa dilakukannya seperti membentuk Community Rescue Service. Kelompok ini bertugas untuk melakukan pengawasan berkala dan berjenjang di tengah masyarakat. Pencatatan suhu badan, gejala dini gangguan pernafasan, hingga sirkulasi masyarakat. Partisipasi ini bisa dilakukan masyarakat secara mandiri, daripada menunggu ada atau tidaknya keputusan lockdown (karantina) dari pemerintah. Saya sepakat semestinya pemerintah sudah melakukan lockdown. Dan idealnya semua penanganan dan pengamanan ini sebagai langkah rescue dengan mengerahkan aparat yang dikoordinir oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Sehingga, ada relawan yang membantu pengamanan kondisi ini secara masif. Secara teknis bisa dilakukan dengan sistem piket. Yang terpenting, bagi wilayah yang belum terdeteksi adanya positif Corona ialah data kondisi wilayah tersebut. Selain kampanye menjaga hidup sehat, masyarakat bisa secara mandiri membagikan hand sanitizer dan masker. Tentu, pembiayaan ini akan menjadi tren belanja baru bagi masyarakat. Namun, rasa kemanusiaan untuk mendapatkan pengamanan kesehatan tentu lebih penting dari sekadar nominal. Terlebih baru

Setelah bisa melakukan hal tersebut dengan pengorganisasian masyarakat itu, barulah menunggu kondisi stabil dan dinyatakan aman dan bebas dari pandemi virus Corona. Kenaikan dolar yang telah mencapai Rp 16 ribu tentu juga menjadi pertimbangan perekonomian yang tengah macet diterpa badai Corona. Pasar dan seluruh sumber belanja mengalami gangguan (disruption). Maka, setelah stabil pemerintah baru memberikan angin segar untuk kembali membuka pintu sirkulasi kegiatan perekonomian. Usaha kecil dan pasar perdagangan bisa kembali digenjot dengan beberapa langkah politis untuk meningkatkan perekonomian sebagai hajat hidup masyarakat. Bukan malah mengundang wisatawan ketika Corona masih bercokol di tengah masyarakat. Seperti keputusan pemerintah yang menyiapkan 72 M untuk influencer demi mengundang wisatawan pada Februari lalu. Hal ini bisa dilakukan setelah semua masalah kemanusiaan ini berakhir.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment