Budi terduduk tenang di bawah pohon besar sambil fokus membaca buku tipis berwarna putih. Suasana di sekitar begitu riuh oleh kumpulan mahasiswa yang asyik mengobrol. Dari kejauhan muncul suara memanggilnya.
“Sayang,” kata perempuan berbaju putih, dengan rambut pendek sebahu.
“Sudah?” tanya budi kepada wanita itu.
“Sudah dong. Malah sudah di-acc. Tinggal tunggu jadwal ujian aja ini.” balas perempuan itu.
“Ara, aku balik duluan yaa!” terdengar suara dari kejauhan.
“Oh iya, Mel. Hati-hati yaa!”
Ara, nama perempuan dengan rambut sebahu itu.
“Amel pulang sama siapa?” tanya Budi sambil melambaikan tangan ke Amel.
“Katanya sih naik ojek online,” balas Ara. “Tadi aku tawarin pulang bareng, tapi gak mau. Yaudah.”
“Oh, oke deh. Terus, sekarang kita ke mana? Makan?” tanya Budi.
“Ayo, makan!” balas Ara dengan muka berseri.
“Konsultasi bikin perut lapar tau.”
Budi segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan berdua menuju mobilnya.
“Itu buku baru?” tanya Ara sambil menunjuk buku yang digenggam Budi.
“Oh ini? Iya ini buku baru.” balas Budi.
“Tentang apaan?” tanya Ara.
“Tentang pewayangan, judulnya Wisanggeni.” Budi menunjukkan sampul depan buku. “Nanti aku ceritain deh habis makan.”
Segera mereka menuju tempat mereka biasa makan. Sebuah warteg yang sederhana tapi memberikan pemandangan persawahan yang indah.
Di Sebuah Warteg
“Di sini makanannya enak banget ya. Pemandangan bagus banget lagi.” kata Ara setelah meneguk habis es jeruknya.
“Tumben habis? Biasanya aku yang habisin.” balas Budi.
“Hehe. Aku laper banget soalnya, Yang. Jadinya habis.” Ara cengengesan.
“Ceritain! Katanya tadi mau ceritain buku barumu?” kata Ara.
“Oke aku ceritain, ya. Judulnya Wisanggeni.”
“Apa itu?”
“Itu nama orang, Yang”
“Ohh, gitu. Oke!”
“Aku lanjut, ya.” Ara cuma mengangguk.
“Wisanggeni ini artinya bisa yang berapi. Jadi Wisanggeni ini adalah putra dari Arjuna dan Dewi Darsanala. Sebenarnya Arjuna ini hanya manusia biasa, sedangkan Dewi Darsanala ini keturunan Dewa. Jadi, derajatnya lebih tinggi gitu. Nah, para dewa berjanji pada Arjuna, apabila dia memenangkan peperangan, dia akan mendapat hadiah. Yaitu menikahi Dewi Darsanala. Tapi syaratnya adalah dia tidak boleh memiliki anak dari hasil pernikahan itu.”
“Loh kok gitu, Yang? ” tanya Ara.
“Iya, soalnya kan Arjuna ini cuma manusia biasa, sedangkan Dewi Darsanala ini akan keturunan dewa. Itu bisa menjatuhkan nama dewa”
”Iih, kasian juga yaa, Arjuna.” balas Ara.
“Haha, iya kasihan. Aku lanjut, ya. Nah Arjuna yang merasa marah dengan penghinaan itu malah melanggar persyaratan itu dan lahirlah anak tersebut.”
“Wisanggeni itu, ya?” tanya Ara.
“Iya, Wisanggeni itu. Para dewa yang tahu bahwa Dewi Darsanala melahirkan anak dari seorang manusia biasa, akhirnya memutuskan untuk membunuh anak tersebut. Karena melawan takdir.”
“Ih, jahat banget sih. Anak baru lahir kok dibunuh? Kan gak punya salah apa-apa.” Ara merasa sebal.
“Makanya itu, Yang. Nah, ketika melahirkan itu, Dewi Darsanala dibantu oleh Hanoman. Tahu Hanoman kan?”
”Iya, tahu.” balas Ara.
“Setelah melahirkan, hanoman meletakkan bayi ini di atas sebuah daun, dan menyelimutinya dengan sebuah mantra yang kuat sekali. Setelah itu, hanoman pergi menuju Dewi Darsanala untuk membantunya.”
“Ih kok ditinggal, Yang! Bahaya tahu.” Ara memprotes jalan cerita.
“Jangan ngomong sama aku dong. Bilang aja sama si Hanoman.”
“Maaf, maaf. Terbawa suasana tahu.” balas Ara.
“Nah, ternyata bayi itu hilang.”
“Nah kan, aku bilang juga apa?” balas Ara langsung sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Iya iya. Aku lanjutkan, ya. Nah ternyata dicuri oleh dewa juga, namanya Batara Brahma. Beliau ini adalah kakek dari Wisanggeni. Beliau sebagai utusan dewa ditugaskan untuk membunuh bayi tersebut”
“Iih jahat amat kakeknya, Yang.” balas Ara
“Belum selesai aku loh. Nah, tapi Brahma sebenarnya sangat tidak tega membunuh bayi tersebut. Dan berucap seperti ini,
“Kalau saja para dewa menyadari, alangkah kelirunya keputusan mereka. Seberapa hinakah bidadari dikawini manusia? Siapakah yang mengangkat mereka menjadi dewa? Mengingkari lahirnya bayi ini, betapa tak bisa dimengerti.”
Tapi karena tugasnya, Batara Brahma tetap melakukan tugasnya. Dia memberikan bisanya kepada bayi tersebut, dan menjatuhkannya kedalam air yang dalam. Batara Brahma menyerahkan semuanya pada takdir, apabila harus mati, ya mati. Kalau hidup, maka hiduplah.
Bayi yang jatuh kedalam lautan itu, memberi dampak yang hebat. Air menjadi panas, ikan-ikan mati, tanah yang terkena bayi itu akan hangus dan terbakar. Nah disitulah bayi ini diselamatkan oleh Sanghyang Antaboga dan Batara Baruna, dua penguasa lautan. Dan disitulah bayi ini diberikan nama Wisanggeni oleh Sri Kresna, bisa yang berapi. Nama yang diambil dari awal mula kejadian itu.”
“Asli ngeri banget. Tapi bayinya kok gak mati, Yang?” tanya Ara.
“Yaah, karena Batara Brahma sebenarnya tidak punya niat jahat, sehingga bisa tersebut tidak membunuh Wisanggeni.”
“Oh, Batara Brahma galau gitu yaa?” tanya Ara.
“Yaa, bisa gitulah. Nah, setelah ditolong oleh Sanghyang Antaboga dan Batarabaruna, Wisanggeni diajarkan ilmu-ilmu sehingga menjadi sangat sakti mandra guna. Dan terbukti, Wisanggeni menjadi sangat kuat.”
“Wah, keren juga ya Wisanggeni.” balas Ara.
“Nah, setelah mengetahui cerita itu dari Sri Kresna dan Hanoman, Wisanggeni yang terbakar amarah, akhirnya bermaksud menyerbu khayangan, Suralaya. Dengan maksud untuk mencari jawaban kenapa dirinya ditolak dan ingin dibunuh. Dalam proses penyerbuannya, para dewa yang diturunkan untuk menghalang Wisanggeni kalah ditangannya. Para dewa tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan Wisanggeni. Sampailah dia ke dewa sang penguasa jagat raya, Sanghyang Pramesti.”
”Eeh tunggu, Yang. Ini ada telpon dari Papa,” kata Ara memotong budi.
Segera Ara mengangkat telponnya.
“Apa kata Papa?” tanya Budi.
“Aku disuruh pulang, Yang. Katanya hal penting yang mau diomongkan gitu.” jawab Ara.
“Okedeh, ayo pulang!” Ajak Budi. Segera mereka berdua meninggalkan warung itu dan menuju rumah Ara.
Tepat di depan rumah Ara, terdapat beberapa mobil mewah terparkir rapi.
“Itu mobil-mobil siapa, Yang?” tanya Budi.
“Gak tau juga. Mungkin ada orang penting kali,” balas Ara. “Yaudah, kamu pulang, gih. Kalau udah nyampe, kabarin aku yaa!” tambah Ara
“Oke deh!”
“Oh iya, nanti dilanjutin lagi yaa ceritanya. Itu belum selesai kan? Aku penasaran Wisanggeni akhirnya gimana sama si dewa penguasa jagat raya itu,” kata Ara.
“Oke deh. Nanti aku lanjutin. Kamu masuk, gih. Udah ditungguin itu.” balas Budi.
Segera Ara menutup pintu mobil. Mobil Budi pergi melesat meninggalkan rumah mewah tersebut.
3 Minggu Kemudian
“Eh, lu kenapa? Kusut amat tu muka.” kata Arga yang melihat Budi datang dari balik pintu.
“Gua diputusin Ara, Boy,” balas Budi.
“Lah kok bisa?” tanya Arga.
“Apa sih yang gak bisa di dunia ini, Ga” Jawaban budi terdengar lemas tapi penuh amarah
“Bapaknya lebih memilih seorang pria kaya yang datang melamar Ara dibanding gua, Boy. Padahal aku tau, si Ara itu masih cinta sama gua. Buktinya dia menangis waktu minta aku putus. Pasti ada alasan dibalik itu yang disembunyikan,” tambah Budi.
“Ya iyalah. Bapaknya lebih memilih pria kaya itu. Pertama, mobilnya pasti sudah lunas. Sedangkan Anda, mobil masih kredit, dan butuh 3 tahun lagi untuk lunas. Kedua, nama Anda Budi, sedangkan nama dia pasti keren banget, nama kebarat-baratan gitu. Yang ketiga, gaji Anda paling banter cuma bisa beliin makanan mewah sebulan dua kali. Nah pria kaya itu bisa memberikan makanan mewah tiap hari. Jadi, wajar, Boy. Haha” Arga tertawa terbahak-bahak
“Gila lu ya. Teman lagi sedih, malah seneng. Gua itu cuma pengen tau aja, apa alasannya” Budi tertunduk.
“Tidak semua di dunia ini kamu harus tau alasannya, Boy.” balas Arga.
”Gak usah sok bijak.” Kata Budi.
“Kali ini aku serius.”
“Kau tau, aku ini Arjuna. Pemenang perang, yaitu hati Ara. Jadi aku berhak mendapat hadiah berupa Ara itu sendiri, Boy.” kata Budi dengan nada suara yang meninggi.
“Tapi kau harus ingat, Boy. Arjuna memang mendapat hadiah, tapi apakah kehidupannya dengan Dewi Darsanala bahagia? Dia tidak boleh memiliki anak, tidak boleh tinggal di khayangan bersama istrinya, bahkan harus pergi mengembara lagi. Percintaan macam apa itu?” balas Arga yang juga telah menamatkan berulang kali buku karya Seno Gumira Ajidarma itu.
“Kau lebih cocok kusebut Wisanggeni, Boy. Dan Bapaknya Ara adalah dewanya.” tambah Arga.
Budi tidak menjawab, tapi menatap Arga tajam.
“Iya, kau itu Wisanggeni! Kehadiranmu tidak diharapkan dalam kehidupan keluarga Ara. Makanya para dewa yang itu adalah bapaknya Ara. Ia menyingkirkanmu.” balas Arga.
Budi kembali tertunduk lemas.
Suasana hening sejenak. Hanya suara kipas setengah rusak yang hanya bisa memutar ke arah kiri.
“Tapi aku juga bukan Wisanggeni, Boy. Yang akhirnya bisa menerima takdir harus lenyap dari kehidupan perwayangan. Aku bukan Wisanggeni yang tegar dan pasrah akan takdir yang diberikan. Bahwa kehadirannya memang ada untuk dimusnahkan. Aku tidak sebijak dan sehebat Wisanggeni, Boy.” Suara serak Budi memecah keheningan.
Suasana kembali hening, suara kipas setengah rusak itu kembali mendominasi ruang berukuran tiga kali empat itu. Keheningan ini bertahan cukup lama, butuh sekitar 20 menit hingga Arga mengubah suasana itu.
“Ada sesuatu di dunia ini yang tidak bisa kau dapatkan, bahkan ketika kau mengorbankan kedua kaki dan tanganmu, Boy.” kata Arga.
“Aku tahu. Kau sedang membujukku agar tenang dan mengikhlaskan keadaan kan?” balas Budi. “Aku akan datang lagi ke bapaknya.” tambahnya.
“Besok?” tanya Arga.
“Ya, besok! Ketika aku sudah sukses dengan kehidupanku, dan hidupku yang mewah.” balas Budi penuh keyakinan.
Arga menggeleng kepala dan menghela napas. Dia berdiri, dan beranjak keluar kamar. Sebelum keluar dia berkata “Bagiku, hidup dalam ambisi untuk balas dendam adalah sebuah kewajaran. Tapi ingat, dendam akan menghantuimu, lalu membakar hati dan pikiranmu. Semoga kau baik-baik saja kedepannya, Kawan.”
Cih. Budi sangat tau, bahwa omongan Arga adalah sebuah kebenaran. Tapi susah untuk menerimanya.
“Kau mau kemana?” tanya Budi.
“Aku mengenalmu sebagai salah satu manusia terkuat di muka bumi ini. Maka silahkan menangis dan bersedihlah sendirian di kamar ini. Melihatmu lemah, akan membuat kepercayaanku padamu akan runtuh, Kawan.” balas Arga.
“Semoga badai segera berlalu, Boy!”
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
Anm"al dig f"or att fa 100 USDT
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.