Rumah Tanpa Garpu

Oleh: Mufardisah Arief (@mufardisah)
Redaktur Pucukmera


“Kau tahu akun gosip yang terkenal itu?” Tanya seorang pria kepada kawannya

“Oh, aku tahu. Sekarang orang tak perlu menonton televisi. Sebab tinggal klik, semua berita gonjang-ganjing di kota ini, ada semua. Orang macam mana yang bisa tahu segala hal sampai wallpaper hape seleb pun dia hafal,” jawabnya sambil sesekali menyeruput kopi.

“Iya, itu. Dia dibui sekarang!” Tatapan pria itu seketika kosong, mengelana entah kemana.

“Bagaimana bisa?” Tersedak kawannya mendengar kabar tersebut

“Tak cukup dibui, dia dikutuk!”


Hari itu cukup terik, matahari memanggang para pedagang pasar di Desa Selaut. Cukup terik hingga pas sekali untuk sekadar meminum air dingin sembari membicarakan orang bersama kawan seperdagangan. Atau, sekalian berkeluh kesah sebab kemarau panjang telah menghabiskan air sumur, namun membuat deras air keringat.

Desa Selaut memiliki para nelayan sekaligus pedagang ikan yang turun-temurun mereka hibahkan profesi itu kepada anak cucunya secara cuma-cuma, tanpa paksaan, dan dengan suka cita. Anak cucu mereka seakan hanya mempunyai dua pilihan hidup. Menjadi nelayan atau pedagang ikan. Apabila tak beruntung, maka nasibnya hanya akan menjadi pelayan warung kopi atau sekedar tukang sampah. Tak ada profesi lain, bahkan seorang guru pun mereka impor dari desa sebelah.

Selaut memang memiliki sisi istimewa. Selain desanya yang sungguh dekat dengan laut, juga ada sebuah keluarga yang satu keturunannya memiliki adat yang berbeda dengan yang lainnya. Masyar nama keturunan itu. Sungguh unik. Sebab, keturunan ini terkenal sebagai keluarga yang tak mengenal garpu, alat makan yang sangat lumrah di temui di seantero dapur di bumi itu. Alasannya cukup simpel, nenek moyangnya tak mau garpu berujung tajam itu melukai mulut-mulut mereka yang suci.

Keluarga Masyar memiliki adat untuk tidak berkata kotor, berkata yang tidak pantas, bahkan untuk mengeluh pun mereka tak boleh. Berkata baik, atau lebih baik diam. Itulah pepatah mereka.

Pernah suatu ketika salah seorang anak dari keturunan ini berbohong kepada temannya bahwa dia akan segera punya adik. Keesokan harinya dia langsung meriang, muntah-muntah, dan bersin-bersin secara bersamaan. Seminggu dia seperti itu, hingga begadang. Ibunya tak tidur hanya demi melakukan ritual permohonan maaf kepada nenek moyangnya. Nyawa anak itu selamat.

Sejak dulu, keluarga Masyar hanya menurunkan satu anak, kemudian besar dan menikah, kemudian beranak satu lagi. Begitu seterusnya. Tak heran apabila keluarga turun temurun itu hanya memiliki satu rumah di Selaut. Namun, tidak untuk sekarang.

Bashor begitu kalang kabut sebab istrinya tak henti-hentinya hamil. Hingga kini ia telah memiliki 6 anak. Tidak pernah ia mendapat ilmu dari pendahulunya bagaimana cara mendidik 6 anak sekaligus. Masa depan keluarga Masyar akan berubah semenjak itu.

Tahun demi tahun berlalu, anak-anak Bashor telah tumbuh menjadi para remaja yang baik dan bermulut bersih. Betapa leganya Bashor dan istri telah berhasil menjaga adat Masyar kepada 6 anaknya. Kini anak-anak Bashor memiliki jalannya masing-masing.

Si Sulung Jamal ingin merantau kuliah. Syahban, anak kedua, tak hanya sekadar ingin menjadi nelayan, ia juga ingin menjadi pelaut bersama kapal besar. Sarah, anak ketiga, ingin merantau ke desa sebelah untuk membantu di puskesmas. Mahe, anak keempat, ingin berdagang baju. Zaini, anak kelima, ingin ikut Syahban menjadi pelaut. Sedangkan Rini hanya ingin belajar banyak hal dari ibunya.

Bashor bingung bukan kepalang. Anak-anaknya ingin pergi dari rumah untuk mengejar impiannya masing-masing. Malam itu juga, Bashor bersama sang istri mengumpulkan keenam anaknya di ruang tengah. Malam itu mati lampu sehingga lampu ublik di tengah menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi. Semacam drama malam itu. Bashor menyampaikan pesan.

“Bapak tidak akan pernah membatasi apa yang kalian inginkan. Pergilah ke mana pun kalian mau. Lagi pula bapak dan ibu telah menanam hal yang berharga dalam diri kalian masing-masing. Jagalah, dan jangan sampai hilang.”

Bashor menatap mata anaknya satu per satu. Tiada keraguan lain selain Si Sulung yang hendak kuliah, tentunya memerlukan banyak biaya.

“Jamal, kau yang paling besar. Kuliahlah, tapi carilah biaya sendiri untuk menghidupimu”.

“Baik, bapak”, begitulah si sulung, sungguh taat kepada perintah bapaknya.

Anak-anak Bashor pun berangkat satu per satu. Meninggalkan Selaut untuk melunasi mimpinya masing-masing.

Jamal, Si Sulung merupakan anak yang paling jauh tujuannya. Ia telah diterima di salah satu Universitas di Bogor. Jauh sekali dari Selaut. Ia tak menyangka, kehidupan di luar begitu berbeda dari apa yang ia kira. Kadang ia waspada, kadang pula ia terlena. Namun, ia sangat ingat apa kata bapaknya, bahwa ia harus bertahan hidup demi mencapai cita-cita.

Di tanah perantauan itu, Jamal bertemu dengan kawan sekampusnya. Lelaki tambun bertompel sedang di pipi kanan. Ia bernama ‘Bro’. Entahlah, siapa nama aslinya. Yang jelas semua orang sering memanggilnya dengan nama singkat itu.

Singkat cerita, Bro kini telah menjadi kawan baik Jamal. Namun, ia jadi kekurangan waktu untuk sekedar hang out dengannya, karena Jamal sibuk mencari pekerjaan paruh waktu. Tak ingin seperti itu terus, Bro memperkenalkan Jamal dengan salah satu kawannya.

“Lo pasti suka kerjaan ini, cuy. Gak perlu tenaga banyak. Cuman perlu jari, smartphone sama paket data.”

“Pekerjaan apa itu, bang?”

“Admin akun gosip!”

“Jam kerjanya?”

“Bebas!”

“Kantornya?”

“Bebas!”

“Gajinya?”

“Lo mau berapa?”

“5 juta per bulan.”

“Deal!”

Tanpa basa-basi, Jamal langsung melahap pekerjaan itu. Ia pun diberi tahu bagaimana sistem kerjanya. Baginya, asalkan itu mudah dan menghasilkan banyak uang, mengapa tidak? Tak lama kemudian, kawan Bro yang bernama Frans itu pamit. Namun, tetiba ia membisikkan sesuatu ke telinga Jamal.

“Jangan lupa di kasih bumbu biar sedap!”


Setahun kemudian, Jamal telah menjadi mahasiswa kelas atas yang memiliki banyak uang. Karena banyak uang, ia juga jadi banyak teman. Bro pun juga kecipratan kepopulerannya. Semua orang tau bahwa Jamal adalah admin akun gosip kesayangan para warganet yang selalu update.

Bagi mereka, postingan Jamal adalah yang paling sedap dan selalu bikin ketagihan. Jamal selalu punya informasi untuk setiap orang yang membutuhkan. Ia membuat orang tertawa, ia membuat orang jadi tahu segalanya, ia telah memuaskan hasrat mulut-mulut yang ingin senantiasa berbicara.

Jamal yang rajin belajar dan sangat cepat dalam mempelajari sesuatu, dengan mudah mengikuti arahan Frans. Tugas Jamal hanya memposting informasi dari Frans yang telah dikemas dengan bahasa yang apik dan diberi bumbu agar sedap. Begitu seterusnya hingga Jamal telah terbiasa dengan pekerjaan itu.

Tak terbilang siapa saja artis yang telah dia bahas. Mulai dari artis lokal, nasional hingga mancanegara. Terkadang pula ia membuat postingan tentang teman-teman di kampusnya sendiri. Jamal telah menjadi admin akun gosip yang sungguh profesional.

Tiba-tiba malam itu, Jamal kaku di ranjang tidurnya. Jari-jemarinya tak bisa bergerak, sekalipun ia berusaha keras. Meminta tolong pun percuma, mulutnya seakan terkunci dan nafasnya tersengal-sengal. Seketika ia hanya berserah, menitikan air mata, dan berteriak memohon dalam hatinya.

Bapakku Bashor memberiku izin untuk bekerja, bukan salahku menerima pekerjaan itu untuk tetap kuliah. Frans!! Frans Kartanegara! Dia yang memberiku pekerjaan. Ampuni hamba! Aku akan pulang, aku janji akan pulang!

Lama sekali kejadian itu, hingga tak sadar hari telah pagi. Jamal terkulai lemas di lantai. Tangannya dingin dan masih sedikit gemetar. Seketika ia mengemasi seluruh barangnya. Seluruhnya hingga yang tersisa hanya barang-barang yang tak sanggup ia bawa karena terlalu besar.

Jamal sudah mantap untuk melakukan perjalanan ke Selaut, untuk pulang. Setelah semalam ia dihantui oleh nenek moyangnya yang seakan memergokinya bermulut kotor di media sosial. Tapi menurutnya apa yang ia katakan semalam ialah kejujuran. Sebab bapaknya tak membatasi ia bekerja apa, sedangkan Frans sungguh pandai menghasutnya.

Tapi salah tetaplah salah. Sesampainya ia di kampung halaman, Bapaknya telah berdiri di teras rumah bersama Ibunya. Matanya nanar melihat sang sulung berlari menghampiri rumah kecilnya. Pelukan hangat menjadi tanda kepulangan Jamal. Jamal dengan sigap merogoh tasnya dan mengeluarkan kertas dan pena. Ia lantas menuliskan:

Bapak, Ibu. Maafkan aku, Nenek Moyang kita Masyar, telah mengambil suaraku.


“Kenapa bisa dia dibui, Bro?”

“Kena UU ITE katanya, pencemaran nama baik”. Bro mengemasi laptop dan ponselnya yang dicas.

“Lalu, dikutuk?” Tanya kawannya lagi.

“Iya, setelahnya ditangkap ia meriang, muntah-muntah sekaligus bersin-bersin” jawab Bro lugas.

“Waduh, parah! Namanya siapa yang punya akun itu?” Rasa penasaran pun menggelayuti kawannya.

“Frans Kartanegara.”


What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Anonymous
    Posted May 26, 2019 at 8:16 am 0Likes

    Keren

Leave a comment