Rumah Masa Kecil

Holy Ichda Wahyuni
Seorang Ibu dan Penulis Novel “Ratih”


Saya menyebutnya sebagai buku harian pertama yang tak pernah usang. Karakter, rahasia, begitu juga sederet cerita saya terlukis jelas nan lekat di sana. Di sebuah bangunan tua berubin kuning, terletak di tepian pesisir pantai Utara, yang kemudian saya sebut ‘rumah’. Seberapa pun jauh langkah ini menapak, betapa banyak kenangan baru berpetualang menelusuri episode kehidupan, namun segala isi torehan di buku harian pertama tak ‘kan pernah lekang.

Kesederhanaan. Isi pertama yang saya ungkap tatkala membincang tentang rumah masa kecil. Rumah tua itu menjadi saksi, bagaimana saya dibesarkan dengan apa adanya. Menyenangi dan bersorak pada kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sederhana. Seperti bahagia memiliki mainan boneka yang meski tak seperti milik anak tetangga, menyantap ayam goreng meski tak seperti iklan di televisi. Sampai mengupas kacang rebus yang tersaji di meja lengkap bersama teh hangat dalam mug. Saya senang mengingat itu semua, begitu hangat dalam kenangan dan kebersamaan.

Saya percaya, setiap rumah masa kecil adalah buku harian pertama bagi penghuninya. Mengantarkan berbagai fase, terlahir dari rahim, lalu meraba pelan-pelan warna dunia yang mengajari banyak hal. Tentang jatuh bangun dan kegagalan, tentang tawa dan tangis, serta jangan lupa, tentang cerita tragedinya, perihal ditinggalkan dan meninggalkan. Kenangan senandung timang-timang oleh nenek yang kemudian mendahului kita kembali kepada Sang Pencipta. Namun nada dan melodi timang-timangnya seakan abadi.

Perjuangan. Bait ke sekian yang saya ungkap lagi-lagi saat berbincang tentang rumah masa kecil. Fajar menyingsing, langit masih gelap, matahari belum menyembul, hanya mengintip dengan isyarat jingganya.

Bapak sudah melaju mengarungi laut, dengan perahu kecilnya. Mengais rezeki yang benar-benar penuh kejutan, bukan nominal yang jelas tertera pada slip gaji setiap bulan. Menjadi nelayan memanglah sebuah peruntungan, berpasrah pada kebaikan semesta, yang kadang-kadang tak berpihak. Pulang dengan tanpa hasil tangkapan, pernah bapak alami, dan saya menyaksikan, dari beranda rumah, betapa gurat lelah kecewa itu tersirat di wajah tuanya.

Tetes peluh sering bersambut keluh, namun di balik tembok rumah, saya sering mendengar obrolan Ibu dan Bapak tentang sebuah harapan. Harapan yang ingin mereka perjuangkan, yakni pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya.

Di balik tembok rumah juga saya pernah menahan tangis, saat keduanya sendu oleh cibiran kerabat yang menertawai keinginan mereka yang gila. Benar, bagi sebagian kerabat, keinginan Bapak Ibu untuk menguliahkan saya adalah gila. Apa yang bisa diharapkan dari nelayan kecil seperti Bapak? Begitu cibiran mereka. Saya catat dengan rapi, pada setiap sudut rumah ini, tentang mimpi, tentang ketidakmungkinan yang selalu tersemogakan, nyatanya menjadi mungkin. Bahkan lebih dari yang tereja dalam imaji dan doa.

Rumah tua berubin kuning, dengan genteng yang mulai menghitam. Kini ia telah berubah menjadi bangunan megah dengan penghuni yang berbeda. Di usia tujuh belas tahun, saya pindah rumah. Sementara rumah masa kecil saya terjual. Sebuah rumah baru dan cerita baru. Namun, bukan buku harian pertama. Butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri. Pemandangan laut biru itu sudah tak tampak, kesunyian yang hadir kemudian. Memanglah benar, yang pertama adalah yang berkesan.

Sepuluh tahun telah berlalu, episode kehidupan saya berganti di tanah rantau, namun mimpi itu sering datang menemani lelap sepanjang malam. Aneh, pada mimpi yang sebagian orang menyebutnya bunga tidur, saya masih berada di rumah masa kecil itu. Seringkali, tampak jelas, seperti nyata, saya mendapati diri sedang duduk di kursi reot merah. Kadang, dalam mimpi saya juga seperti sedang bermain petak umpet, bersembunyi di sumur tua pekarangan belakang. Memang benar jika saya menyebutnya sebagai ‘buku harian pertama yang tak pernah usang’.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment