Ekonomi, Pemerataan dan Koperasi

Muhammad Alwin
Mahahasiswa University of Queensland


Melalui keadilan ekonomi, seluruh rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak, kebahagiaan dan kesejahteraan.

***
Tadi sore (18/05) saya diundang untuk berdiskusi terkait kemungkinan eskalasi pandemi menjadi ‘Reformasi Jilid II’ seperti disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 1998. Tandas, saya sampaikan krisis kali ini memang berbeda, ‘Supply Side‘ dan ‘Demand Side’ mengalami gangguan secara simultan, pemberlakuan work/school/pray from home menghendaki penurunan produksi, penurunan daya beli masyarakat secara agregat.

Jikalau Indonesia harus menghadapi kehancuran ekonomi, maka negeri sekali lagi menghadapi pahitnya resesi, walau kelak akan tumbuh kembali. Schumpeter menyebutnya sebagai siklus Crisis – Growth (Kasali, 2017:26). Namun, apakah proses tumbuh kembangnya ekonomi paska krisis kembali menghadirkan ‘old normal’?, di mana distribusi kekayaan masih berkutat pada segilintir kelompok manusia.

Cengkeraman sistem keuangan global tak membuat pemulihan ekonomi paska krisis kembali ke tampuk keadilan yang diharapkan, cita-cita kesejahteraan masyarakat, dan pemerataan distribusi ekonomi. General Director International Labour Organization menyebut ‘the lower echelons of labor markets’ kembali menjadi yang terbelakang ketika ‘Old Normal’ dijalankan pasca krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) 2008 (TheJakartaPost, 2020).

Dengannya, reformasi belum menjadi opsi ideal untuk memastikan cita-cita luhur, hadirnya pemerintahan baru belum tentu mampu mengafirmasi kesejahteraan rakyat lebih luas di tengah dominannya ideologi pasar bebas. Selain itu, mempertimbangkan juga  durasi recovery after crisis.

Sebagai contoh, krisis ekonomi 1998 baru bisa pulih dalam kurun waktu hampir satu dekade, di mana tahun 2006 perusahaan mulai produktif kembali (Kasali, 2017:150). Durasi tersebut sekali lagi mengabiskan biaya besar, energi, dan derita rakyat dalam tempo yang cukup panjang.

Lalu, kenapa tidak berupaya untuk melakukan penyadaran lebih masif di momen pandemi ini, perubahan dicapai melalui jalan yang lebih santai melalui penumbuhan kesadaran masyarakat yang gradual dan sistematis. Sehingga perubahan ditempuh dengan jalan yang tidak berbiaya besar dan tumbuh dari keinginan terdalam masyarakat sendiri. Peluang tersebut diupayakan melalui penerapan konsep ‘Cooperatives/Koperasi selaku penjelmaan konsep Gotong Royong dan ‘Filantropi Islam’ yang menghendaki hadirnya entitas usaha milik umat.

Kepemilikan Koletif Melalui Koperasi Start-up
Di tengah semakin cepat bergesernya pola perilaku hidup masyarakat saat pandemi terhadap adaptabilitas media digital, hal tersebut mengkonfirmasi kembali wajah masa depan dunia yang tak akan terlepas dari teknologi. Dalam hal ini, entitas usaha yang mengintegrasikan teknologi kekinian akan terus tumbuh berkembang, usaha tersebut biasa dikenal dengan Start-up atau usaha rintisan.

Dalam konteks ini, tak hanya mendisrupsi usaha lama, pun Start-up memungkinkan pasar yang inklusif lagi memungkinkan efesiensi harga (Kasali, 2017:156). Dengan kata lain, kelak Start-up akan jadi entitas usaha mayoritas lagi menyediakan produk dan jasa yang terjangkau lagi memudahkan, maka tidak heran jika kemunculan para Millenial yang berlomba untuk mendirikan usaha rintisan sangat masif, walau mereka sadar betul akan resiko tinggi di mana hanya satu dari sepuluh Start-up yang berhasil scaling-up ide bisnisnya (Techinasia, 2019).

Potensi tersebut justru jangan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memiliki kapital, tumbuhnya Start-up selalu diiringi dengan kucuran modal cukup besar baik dari Angle Investor ataupun Capital Venture, sehingga memperkenankan para pemodal untuk menjadi entitas yang diuntungkan secara material dari potensi. Pada akhirnya, berakhirnya pandemi akan menggiring tumbuh suburnya Start-up berikut mempertahankan Old Normal eksistensi para pemodal.

Untuk itu, kehadiran koperasi menjadi upaya penting untuk menjaga aset kekayaan intelektual dan material bangsa. Melalui koperasi yang menjunjung tinggi kepemilikan rakyat, Start-up dapat menjaga jati dirinya, pendiri eksis untuk mengembangkan bisnisnya sekaligus mengafirmasi sumber daya masyarakat secara menyeluruh dengan maksud memberikan manfaat seluas-luasnya. Upaya kolektif ini pun memberikan dignitas lebih bagi karyawan, mereka dimungkinkan untuk menjadi pekerja sekaligus pemilik dalam konsep Worker Coop (Firdaus Muslim, 2018).

Dalam konteks ini penulis berpikiran bahwa Start-up Coop/koperasi mampu mengkonsolidasikan distribusi ekonomi yang lebih ideal, pun kehadirannya menjadi respon terhadap dominasi konsep Korporasi yang cenderung mendewakan eksistensi modal, pengambilan keputusan bersifat One Share One Vote karena pemodal menjadi penguasa tertinggi dalam menentukan arah gerak perusahaan.

Berbeda dengan Koperasi yang menjunjung tinggi Demokrasi Ekonomi, setiap orang memiliki dignitas dan hak suara setara tanpa memandang modal yang disertakan, untuk menentukan masa depan perusahaannya melalui penerapan One Man One Vote.

Poin penting dari upaya penerapan konsep koperasi terhadap Start-up ialah bagaimana distribusi kekayaan di Indonesia dan ketimpangan ekonomi dapat dikurangi sekaligus merespon masifnya perkembangan pendirian Start-up. Sehingga, melalui penjelmaan jatidiri koperasi dalam entitas bisnis Start-up, diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang merupakan buah dari perekonomian kapitalisme.

Dengan kata lain, hadirnya Koperasi Start-up mendukung upaya tumbuhnya embrio gotong-royong dalam sistem perekonomian Indonesia.

Kepemilikan Umat Melalui Filantropi Islam
Adiwarman Karim, dalam diskusi Hijrah Ekonomi (2020) menjelaskan bahwa terlepas terjadinya penurunan daya beli seperti Properti dan Otomotif sebesar 44 % dan 33% (Data Nielsen, 2020), angka donasi/derma masyarakat Indonesia justru mengalami peningkatan. Tren demikian tidak hanya terjadi di kala pandemi, pun demikian saat musibah melanda beberapa wilayah, kedermawanan masyarakat indonesia meningkat tinggi.

Tren peningkatan tersebut perlulah diimbangi dengan implementasi konsep ‘Wakaf Produktif’ yang merupakan bagian dari filantropi/kedermawanan Islam. Wakaf Produktif menghendaki tercapainya return/pendapatan yang berkelanjutan lagi maslahat, dalam artian dana yang didapat tidak diperkenankan untuk digunakan habis, sehingga dana tersebut bersifat abadi dan boleh dipergunakan untuk tujuan kemaslahatan.

Sebagai ilustrasi, Dian, Amil Badan Amil Zakat Kab. Tasikmalaya (2020), dulu pernah ada Wakaf berbentuk institusi kesehatan bernama ‘Bhimarisntan’, yang memberikan pelayanan kesehatan secara Cuma-Cuma.

Dian menjelaskan, biaya operasional rumah sakit didapat dari keuntungan bisnis yang dijalankan dari dana Wakaf. Dapat dikatakan, di masa tersebut entitas bisnis yang dimiliki umat Islam bermodalkan dana Wakaf sangat banyak, sehingga mampu menggratiskan pelayanan sosial, termasuk dalam sektor pendidikan dicontohkan dengan Universitas Al-azhar, kala itu.

Namun, sebagian besar wakaf di Indonesia masih cenderung tidak produktif, masyarakat Indonesia lebih mengenal wakaf dalam bentuk bangunan yang manfaatnya digunakan sebagai sarana ibadah. Di sisi lain, secara konsep wakaf memiliki dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi (Putra, 2020), sehingga wakaf memungkinkan pemberdayaan harta yang disalurkan sebesar-besarnya untuk kemajuan perekonomian.

Dalam hal ini, kesadaran ekonomi perlu dimunculkan untuk menjawab tantangan zaman, sekaligus merespon peningkatan kedermawanan masyarakat Indonesia yang mampu mengakselerelasi penyembuhan krisis. Poin pentingnya, bagaimana potensi derma tersebut dapat disalurkan melalui mekanisme wakaf produktif, Husni Amriyanto Putra dalam IBTimes (2020) menyebutnya sebagai Wakaf Tunai. Sehingga, kelak pengelolaan dana wakaf diprioritaskan kepada pembentukan entitas usaha yang profit lagi berkelanjutan, sehingga profitnya bisa didisitribusikan untuk kepentingan umat.

Kelak, dengan banyaknya entitas bisnis bermodalkan dana wakaf dapat menjadi indikasi hadirnya sosiopreneur yang lebih mengutamakan kepentingan khalayak daripada memperkaya individu. Keuntungan usaha wakaf tidak lain dan tidak bukan diprioritaskan untuk kalangan yang selama ini termarginalkan. Poin pentingnya, kebahagian tidak dapat dicapai hanya melalui besarnya jumlah kekayaan, namun melalui keadilan ekonomi seluruh rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak, kebahagiaan dan kesejahteraan niscaya bisa diupayakan secara konkrit.

***
Dengan demikian, upaya pemerataan ekonomi melalui Koperasi dan wakaf diharapkan dapat terealisasi seiring dengan potensi berkembangnya teknologi digital dan kesadaran masyarakat Indonesia dalam berderma.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Utivafe
    Posted August 31, 2024 at 2:50 am 0Likes

    buy priligy without a script Worse, the incompetence of the Lisbon testing laboratory in failing to store the sample correctly had been compounded because the documents that would have proved that the sample had been kept securely were missing

Leave a comment