Ramadan yang Lain

Azhar Syahida
Penulis Lepas


Kita sudah di pangkal Ramadan, yang ke-1.441, yang boleh jadi akan lain dengan Ramadan-Ramadan sebelumnya. Setidaknya itu bagi saya, dari 24 Ramadan yang pernah saya alami.

Saya melihat di grup-grup Whatsapp, baik grup Whatsapp keluarga, kantor, dan teman, ramai oleh pesan bertema “Ramadan”. Ucapan selamat datang untuk bulan Ramadan, lebih tepatnya.

Demi melihat pesan-pesan yang dikirim itu, saya spontan bergumam, “Ya Tuhan, Ramadan lagi. Bukannya baru kemarin, sudah datang lagi.”

Datangnya bulan Ramadan, bagi umat muslim, tentu amat ditunggu-tunggu. Bukan soal apa, di bulan itu semangat beragama membuncah. Seperti ada tiupan ruh baru yang mengembus masuk ke dalam jiwa lewat pori-pori raga.

Implikasinya: seorang muslim menjadi semangat bersembahyang.

Yang sebelumnya tidak pernah menyambangi masjid, malam pertama Ramadan grusak-grusuk ke masjid dengan pakaian terbaik, rambut klimis, baju koko anyar, sarung baru, dan parfum terbaik. Ya, walau parfumnya mungkin baru dibeli pada sore harinya di Indomaret.

Intinya: Ramadan itu bikin hidup begitu bergairah, seru, dan, asyik.

Dulu, sewaktu di sekolah dasar, malam-malam Ramadan adalah waktu yang paling ditunggu. Orang ramai. Berbondong-bondong ke surau. Termasuk, teman main yang juga riuh rendah pergi ke surau.

Di situlah kami (bocah-bocah ingusan) mencuri waktu. ‘Kembali’ bermain setelah siangnya tak bertenaga untuk bermain. Bagaimana mau main, lha wong lesu karena puasa. Maka, pergi ke surau atau musala untuk salat Tarawih adalah kompensasi waktu kami bermain.

Alhasil, bukan salat yang kami perbuat. Tapi, main sejadi-jadinya.

Tahun 2008, adalah tahun pertama saya tidak menikmati kekhusyukan Ramadan di kampung. Sebab sejak tahun itu saya mesti pindah ke sebuah sekolah berasrama di Jogja.

Kendati begitu, justru sejak tahun itu pula saya mengerti pernak-pernik Ramadan ala Jogja. Walau pada kenyataannya tidak jauh beda dengan Ramadan di kampung saya. Hanya tingkat keramaiannya yang tidak sama.

Tahun 2014 saya pindah ke Malang. Menempuh Pendidikan tinggi. Praktis, sejak tahun itu pula saya tidak lagi merasakan Ramadan ala Jogja, yang saat buka kita bisa memilih angkringan sesuka hati.

Oh iya, saya punya satu angkringan langganan di Jogja. Tepatnya di Jalan S. Parman. Lima puluh meter dari Kali Winongo. Baratnya Taman Sari, yang miliknya Keraton itu. Yang selalu ramai oleh pelancong di tiap liburan.

Ramadan di Malang juga tidak banyak beda dengan Ramadan di kampung. Pendek kata, pengalaman Ramadan selama lima tahun di Kota apel itu tak ada yang menarik saya ceritakan di celoteh kali ini.

Setelah setengah dekade saya ber-Ramadan ria di Malang, kali ini, menjelang umur saya yang ke dua puluh lima, nanti Juni, saya ber-Ramadan di Jakarta. Tidak ada beda. Sepintas, sama saja. Cuma, Ramadan kali ini harus menghadapi pagebluk. Itu yang bikin beda Ramadan tahun ini.

Ini menarik. Soal Ramadan dan pagebluk. Karena praktis, baru pertama kali ini saya akan merasakan “Ramadan yang lain”. Apa itu? Ramadan di tengah penduduk bumi yang tak diperkenankan berjalan ke mana-mana dalam gerombolan besar.

Orang takut, panik, dan stres. Presiden melarang mudik mulai 24 April 2020. Itu yang saya lihat di teve. Juga saya baca di koran.

Tapi, di tengah pagebluk begini, masih saja santer saya dengar orang-orang yang kerja ingin WFH, yang WFH ingin kerja di kantor. Yang libur ingin masuk, yang masuk ingin libur. Yang harus mudik, ingin tak usah mudik. Dan sebaliknya yang ingin mudik tak bisa. Begitulah, banyak maunya orang-orang itu.

Ini benar-benar Ramadan yang lain, di mana Ramadan kali ini saya tak salat Tarawih di masjid karena masjid tak menyelenggarakan, bukan seperti tahun lalu yang saya tak salat Tarawih di masjid karena memilih tidak ke masjid. Mungkin, saya malas waktu itu.

Ini Ramadan yang lain, yang orang-orang tidak bisa berkerumun untuk menikmati pasar kaget. Yang benar-benar kaget. Yang karena hanya dibuka saat Ramadan dan selalu rapat oleh pembeli.

Inilah Ramadan yang lain, yang mana kita tak sepenuhnya mengerti kapan pagebluk yang berawal dari Wuhan, Tiongkok Tengah itu, akan usai.

Kita semua baiknya benar-benar memahami hal itu. Yang ke-1441 adalah Ramadan yang lain. []

Jakarta, 23 April 2020
Pukul 18.23 WIB


Pucukmera.ID – Sebagai media tempat anak-anak muda Indonesia untuk berkreasi dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu saja, Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu untuk mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment