Oleh: Rizqy Anwar Hidayatullah
@AnuarRizqy
Baru saja pulang dari melaksanakan hak demokrasi sebagai mahasiswa dan pelajar, mewakili suara masyarakat Indonesia, Datang berita duka gugurnya 2 korban meninggal dunia dari aksi demonstrasi mahasiswa. Salah satunya adalah kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Immawan Randi yang meninggal karena tertembak peluru tajam oknum aparat keamanan ketika menggelar aksi demonstrasi menolak revisi undang-undang (RUU) yang kontroversial di area DPRD Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tentu hal ini menjadi momen berkabung bagi aktivis mahasiswa dari seluruh daerah di Indonesia. Memantik berbagai respon dari aktivis Muhammadiyah. Ada yang langsung menuntut Kapolri, aksi susulan menuntut mengusutan pelaku penembakan, salat gaib bersama polisi, dan aksi sejenis lainnya. Tentu aksi balasan yang represif dari aparat kepada masa aksi tidak bisa dibenarkan. Menurut Kapolri yang disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Mabes Polri, bahwa dalam mengamankan demonstrasi, polisi dilarang menggunakan senjata, dilansir dari detik.com (27/9/2019). Apa lagi hal ini sampai menimbulkan korban jiwa.Tak gentar dengan risiko jatuhnya korban, perlawanan terhadap ketidakadilan harus dilanjutkan. Bukan semakin takut, semakin lantang suara perlawan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Bahkan diakhir masa bakti DPR RI periode 2014-2019 (30/9/2019), suara penolakan RUU bermasalah masih diteriakkan masa aksi lewat demonstrasi di beberapa kota di Indonesia. Karena sikap solidaritas juga membuat masa aksi menambah tuntutan kepada POLRI untuk mengusut tuntas penembakan Immawa Randi di Kendari. Hal ini menunjukkan gejala yang menarik, bahwa masih banyak mahasiswa, pelajar, dan masyarakat yang peduli terhadap hak konstitusinya dalam bernegara demokrasi.
Dalam suasana Indonesia yang sedang bergejolak, muncul statemen tidak mengenakkan dari Menkopolhukam, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto tentang adanya usaha kelompok Islam radikalisme menunggangi aksi demonstrasi mahasiswa. Menurutnya, “Gerakan gelombang baru ini kita harus waspada. Karena akan menggerakkan kelompok Islam radikal, kelompok Islam garis keras, istilahnya, akan dikerahkan di sana. Juga melibatkan suporter hati-hati, suporter bola kaki, juga akan disasar untuk dilibatkan itu. Kemudian teman-teman buruh, jangan sampai juga mau atau dipengaruhi oleh mereka-mereka yang akan membangun kekacauan ini,” dilansir dari merdeka (26/9/2019). Tidak habis pikir para mahasiswa mendengar statemen pak Wiranto yang menuai kontroversi, tidak jauh beda dengan sikapnya saat dulu beliau menjabat sebagai Menteri Hankam/Panglima ABRI di bawah rezim orde baru.
Isu-isu seperti radikalisme, ekstremisme, dan terorisme seakan menjadi senjata propaganda baru untuk menajamkan isu-isu demi menyerang rakyat. Contoh yang paling mencengangkan adalah internal KPK yang diserang isu radikalisme, isu ini juga yang dijadikan alasan memperkuat terpilihnya ketua KPK baru untuk memerangi radikalisme di KPK. Analis media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi, menyampaikan, “Isu radikalisme, yakni isu Taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan…” (nasional.kompas.com). Menurut penulis propaganda seperti ini tidak ada hubungannya dengan substansi KPK dalam pemberantasan korupsi.
Seakan takut dengan kekuatan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil, tokoh eksekutif pemerintah dan beberapa tokoh sentral DPR RI banyak bermanuver untuk menghentikan segala aksi protes yang ditujukan kepada pemerintah. Kekuatan lembaga pemerintah juga tak luput dari upaya ini. Seperti Menristekdikti, Prof. H. Mohamad Nasir, kamis (26/9/2019), pihaknya akan memberikan sanksi tegas kepada rektor yang ikut menggerakkan mahasiswa turun ke jalan. Sementara itu, bagi dosen yang mengizinkan mahasiswa ikut demo akan dikenakan sanksi oleh rektor. Selanjutnya ada tokoh DPR RI, Fahri Hamzah mendebat beberapa ketua BEM universitas yang mengikuti aksi demonstrasi penolakan RUU di acara televisi, seakan melemahkan dan menjatuhkan apa yang menjadi tuntutan mahasiswa. Sangat disayangkan cara-cara yang dilakukan untuk meredam aksi mahasiswa masih menggunakan cara lama yang tidak persuasif dan cenderung mengancam dan menakut-nakuti masyarakat.
Untungnya tak semua mahasiswa, pelajar, dan masyarakat terpengaruh oleh manuver-manuver elit politik untuk melemahkan kekuatan aksi menyampaikan pendapat di muka umum atau demonstrasi. Semua upaya pelemahan suara rakyat tersebut ditanggapi bijak oleh masyarakat. Aksi demonstrasi masih tetap dilanjutkan hingga detik-detik akhir masa jabatan DPR RI dengan masa yang lebih bervariatif. Harapan masyarakat semoga anggota baru DPR RI 2019-2024 dan kabinet baru Jokowi-Ma’ruf nanti mampu mewakili suara rakyat sepenuhnya dan praktik korupsi di dalam DPR dan kementerian dapat dikurangi sebanyak-banyaknya.
Esensinya sebagai pemerintah dan wakil rakyat yang dipilih sepenuhnya oleh rakyat haruslah mewakili kepentingan dan suara rakyat banyak. Bukan hanya suara partai dan segelintir pengusaha yang ingin menjadi penguasa. Jika jabatan politik itu melukai rakyat, tentu saja akan berimpas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan wakil rakyat. Dampaknya ketika ada calon wakil rakyat yang benar-benar ingin menyejahterakan rakyat akan kalah dengan calon yang menggunakan cara money politic demi mendapatkan kemenangan pemilu nantinya. Ini merupakan bahaya laten dari kehidupan demokrasi di Indonesia.
1 Comment
sign up binance
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.