PUCUKMERA – “Itu iconnya Lombok mbak, tugu yang bentuknya masjid itu”, kata bapak yang setia mengantar jemput kami para relawan yang datang silih berganti dari berbagai wilayah di Indonesia, saya lupa namanya, tapi yang jelas kali ini bapak yang baik hati itu, sebut sajalah begitu, mengantar saya pulang kembali ke tanah rantau. “oh iya pak bagus ya”, jawab saya sambil melihat masjid yang sebenarnya tugu itu di tengah-tengah jalan bypass akses masuk dan keluar Lombok, jadi seakan-akan bangunan masjid itu menyambut kedatangan dan juga melepas kepergian kami. “Iya mbak, kan Lombok terkenalnya pulau seribu masjid, makanya tugunya bentuknya gitu mbak”. “Tapi sekarang jadi pulau seribu tenda ya mbak”, ujar beliau sambil tertawa. Mendengar itu saya langsung terdiam, ingin menimpali perkataan beliau yang berusaha mengajak bercanda, tapi sesungguhnya saya tahu, bahwa kata-kata itu bukan hanya sekedar candaan, tapi ungkapan terdalam melihat kondisi tanah tercintanya sekarang.
Lombok seperti kita ketahui bersama, kurang lebih satu bulan digempur gempa habis-habisan, seakan belum memberi ruang bernafas untuk para penduduknya yang sebelumnya selalu berdamai dengan keindahan tanah mereka.
Selama sepekan saya diajak untuk melihat kenyataan yang lebih menyakitkan daripada yang hanya ditampilkan di layar kaca. Berangkat dari pusat kota Lombok, yakni Mataram, dan bergerak makin ke timur ke tempat dimana saya ditugaskan, membuat sepanjang perjalanan menjadi perjalanan menyedihkan macam lagunya Ebiet G Ade yang biasa diputar bapak saya sore-sore.
Saat di Mataram, semuanya terasa sedikit biasa, mungkin karena wilayah ini tidak kena dampak terlalu parah. Namun tetap saja pemandangan tenda berdiri di beberapa tempat sudah terlihat, walaupun masih banyak bangunan yang tegak berdiri. Saya tidak tahu perjalanan ini mengarah kearah mana, karena kali itu pertama kalinya saya menginjak tanah Lombok, yang jelas semakin saya menjauh dari pusat kota, semakin sedikit saya melihat pemandangan bangunan berdiri. Hingga akhirnya saya sampai di satu wilayah, yang semuanya rata. Ya, rata seakan tidak pernah ada kehidupan disitu satu-satunya yang memberi penanda ada kehidupan disana adalah tenda-tenda yang berdiri di sepanjang jalan yang saya lewati, dan pemandangan rata nan kosong ini hanya berhias tenda yang berlanjut hingga saya mencapai posko penempatan tugas saya di Lombok Timur. Lagi-lagi saya melihat tenda, saya mendapat posko yang berupa tenda, karena sekitar 50% bangunan yang kami tumpangi dari rumah warga sebagai posko, sudah hancur, sehingga tenda didirikan sebagai tempat berlindung. Mengingat gempa masih terus terjadi, tenda menjadi lebih aman daripada bangunan untuk saat ini. Dari tenda inilah, cerita-cerita saya tentang tenda-tenda yang lain bermula.
Selama satu pekan disana beberapa tenda saya datangi, tujuannya satu yaitu memberi dukungan psikososial bagi para korban. Gempa yang terus menerus terjadi tentulah memberi efek trauma kepada para korban, terutama teman-teman kecil saya selama disana. Selama disana di Lombok bagian timur yang merupakan pusat gempa dan gempa masih terus terjadi selama saya disana, saya kira saya yang akan mendukung, tapi ternyata saya yang malah didukung. Terimakasih ya kalian.
Dari tiap tenda banyak pelajaran yang saya dapat. Waktu itu saya ajak teman-teman kecil saya untuk menggambar bersama. Tapi nyatanya ibu-ibu mereka sebagian ikut menggambar juga bersama kami. Malamnya, saya lihat satu persatu gambar-gambar mereka, saya cuman tersenyum karena gambar mereka gambar tipikal anak kecil pada umumnya.
Pemandangan dua gunung, dengan matahari dan sesekali ditambah dengan pemandangan sawah ataupun jalan. Senyum saya terhenti saat tiga gambar terakhir yang saya lihat di hadapan saya. Saya langsung teringat bahwa ada ibu-ibu mereka yang ikut menggambar tadi. Dari gambaran itu saya langsung tahu bagaimana perasaan mereka, perasaan seorang ibu yang berusaha tegar, kuat tanpa takut di depan anaknya, tapi sebenarnya butuh tempat untuk mengadu bahwa mereka tidak selamanya kuat, bahwa mereka ada saat tertentu lepas dari kepura-puraan, bahwa mereka masih manusia biasa yang bisa tidak baik-baik saja. Seketika itu langsung saya peluk 3 kertas gambar tadi, kertas gambar yang jadi saksi, kertas gambar yang jadi petunjuk ada lelah dan ketakutan yang tergambar disana. Doaku untuk kalian para ibu-ibu atau kalian para orangtua yang berjuang menjadi kuat untuk anak-anaknya. Terimakasih untuk bab pelajaran menjadi kuatnya.
Dari tiap tenda masih banyak ketakutan dan kekhawatiran yang terlihat. Tentang bagaimana hidup setelah ini, tentang bagaimana kalau ada gempa lagi, tentang apa yang harus dilakukan saat semuanya menjadi terbatas, tentang berapa lama mereka harus terus berjuang melawan rasa takut dan khawatir. Cerita-cerita yang mereka bagi, tiap saya sekedar menyapa dan menepuk pundak seraya bertanya pertanyaan sederhana “sudah berapa lama disini?”, akhirnya menjadi cerita-cerita yang membuat saya bersyukur soal masalah hidup, bahwa kadang kita merasa bahwa hidup kita paling menyedihkan atau paling bermasalah, tapi sebenarnya banyak yang lebih daripada apa yang sekedar kita alami. Bahwa kita tidak ada apa-apanya di banding mereka. Mengingat itu semua menjadi malu saat kita banyak mengeluh tentang hidup yang kita punya, apalagi saat para korban dengan segala keterbatasan kondisinya, masih bisa tersenyum ramah dan mengajak saya yang “orang asing” ini untuk mampir ataupun membagi yang mereka punya ke saya, seperti sore itu saya diberi sekantong plastik penuh kacang hasil panenan mereka yang Alhamdulillah masih berlimpah ditengah kondisi saat ini, saat saya mampir mendistribusikan hak yang mereka punya dari dapur umum posko. Terimakasih untuk bab pelajaran bersyukur dan berbaginya.
Dari tiap tenda masih ada jutaan semangat yang butuh untuk dihidupkan lagi. Semangat untuk bangkit, semangat untuk melanjutkan hidup yang lebih baik dari sebelumnya, semangat untuk menjadi harapan bangsa. Teringat pada tiap teriakan semangat teman-teman kecil saya, saat saya bertanya kalau sudah besar mau jadi apa?. Dokter, polisi, tentara, guru dan cita-cita yang lain mereka teriakan dengan semangat. Semangat yang muncul dari tenda-tenda yang berdiri ini menjadi pengingat bahwa hidup adalah perjuangan yang harus terus dibarengi dengan semangat. Bahwa setiap kesulitan yang ada pasti akan ada kemudahan setelahnya. Bahwa Rabbmu pun yang maha cinta telah menjanjikan hal itu juga pada tiap-tiap hambanya yang percaya, bahwa hidup tidak hanya sekedar hidup. Bahwa hidup adalah perjuangan. Terimakasih untuk bab pelajaran semangatnya teman-teman kecilku.
Dari tiap tenda masih banyak cinta, kasih sayang dan perhatian antar sesamanya. Bantuan logistic yang tidak pernah henti menjadi bukti bahwa masih banyak orang-orang baik di luar sana, masih banyak mereka yang peduli pada saudaranya yang kesusahan walaupun belum pernah bertemu atau kenal sekalipun. Satu bangsa, satu tanah airlah yang menjadi pengikat untuk menjadikan mempunyai kewajiban membantu saudara seibu pertiwi. Atas nama kemanusiaan menjadi alasan mendasar bagi mereka yang bukan saudara setanah air untuk ikut membantu. Dari tiap tenda cinta itu masih ada, bagaimana mereka menyambut saya, bagaimana mereka teman-teman kecil saya, selalu menggandeng tangan saya tiap saya hadir di tenda-tenda mereka, bagaimana kalimat pertanyaan “kakak masih lama kan disini?” menggambarkan bahwa mereka tidak ingin ditinggal pergi oleh saya yang “orang asing” ini, bagaimana ucapan terimakasih yang sangat tulus didengar diucapkan oleh mereka setiap saya selesai di satu tenda. saya merasa hangat tiap masuk ke tenda-tenda itu, bukan karena hawanya yang memang panas, bukan, tapi hangat di dalam perasaan saya. Terimakasih untuk bab pelajaran cinta dan kasihnya.
Lombok memang sekarang berubah menjadi pulau seribu tenda seperti kata bapak baik hati yang sudah saya ceritakan di atas sebelumnya. Tapi percayalah pak, dari tenda-tenda itu banyak pelajaran yang saya dapat, banyak cinta yang saya dapat, banyak semangat yang masih dan akan terus hidup disana. Percayalah pak, suatu hari nanti seribu tendanya akan hilang, berganti menjadi seribu kebaikan untuk tanah yang bapak cintai. Percayalah pak, Lombok pasti bangkit, karena saya percaya pak, seperti jargon yang diajarkan teman-teman FK di Mataram waktu itu ke saya, Lombok Bangkit!
Oleh : Sekar Rizqy A.R
(RelawanMRI Bali yangditugaskan di Desa Obel-Obel, Kecamatan Sambelia Lombok timur)
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Mufardisah