PSIKONYOLOGI : Keseimbangan antara Laki Laki dan Perempuan, Sama sama Manusia kan?

Laki-laki : Kau adalah perempuan yang selama ini kucari, akan kuperjuangkan kau wahai Rara Jonggrang. Akan kutepati janjiku ini, karena aku lelaki sejati.
Perempuan : Maaf mas, kamu bukan laki-laki, sementara aku pun bukan perempuan, namun kita adalah manusia 
Laki-laki : (frustasi) ya udah, bangun candi wae lah 

PUCUKMERA – Sebenarnya, legenda Rara Jonggrang yg sempat viral di SD kita dulu, merupakan kisah asmara antara lelaki romantis penuh bunga, coklat dan rayuan gombal dengan seorang perempuan feminis. Apa pasal? Raden Bandung Bondowoso yang berasal dari kerajaan Pengging itu hendak memperjuangkan Rara Jonggrang, sedangkan Rara Jonggrang justru malah memperjuangkan yang lain. (Aduuh sakiit kapten). Rara Jonggrang memperjuangkan pilihannya untuk tidak memilih Raden Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang terbebas dari prinsip ‘Laki-laki yang memperjuangkan dan perempuan yang diperjuangkan’. Tak tanggung-tanggung, muslihat Rara jonggrang untuk menolak Raden Bandung  Bondowoso sangatlah cerdas, “Aku bersedia kau pinang, asalkan kau mau membangunkanku seribu candi dalam waktu semalam,” kata Rara Jonggrang.

Nahlo, Mustahil bukan? Ini sama saja dengan seorang lelaki yang meminang perempuan dengan syarat mahar 3000 ekor kuda, 100 ekor unta kutub utara, dan ditambah dengan 2 ekor Godzilla.

Yah, meski legenda tersebut berakhir dengan tragis, alih – alih di bully netizen, ini (si Rara  Jonggrang) lebih parah, ia dikutuk jadi batu, (macam malin kundang aja) hihi. Namun, legenda tersebut memberikan kita pelajaran bahwa perempuan harus gagah berani untuk menentukan pilihannya sendiri, layaknya laki-laki.

Selama ini, kita seringkali menilai perempuan sebagai manusia lemah lembut, lemas tak bertenaga, tidak bisa merdeka dalam menentukan pilihannya, dan selalu diperjuangkan. Eheem. Sedangkan lelaki, lebih sering kita nilai sebagai manusia yang dominan, powerful, penuh tenaga, merdeka, dan pantas mengatur segala hal tentang diri dan lingkungannya.

Apa beda laki-laki dan perempuan sehingga mereka diperbedakan sedemikian rupa?

Pada dasarnya, secara psikologis ketika bayi terlahir ke dunia, mereka belumlah ditentukan sebagai laki – laki ataupun perempuan, mereka semua adalah manusia. Lalu muncul pertanyaan, ‘Lho, tapi kan bentuk kelaminnya beda?’  sangat murahan jika kita menganggap perbedaan laki-laki dan perempuan itu hanyalah diidentifikasi dari bentuk kelaminnya saja. Karena perempuan pun laki-laki adalah manusia yang punya  segala bangunan fisik, mental dan budayanya tersendiri.

Loh, fisiknya? Oke lah, secara fisik mereka berbeda, kita harus akui itu. Tapi, untuk menyebut ia sebagai laki – laki ataupun perempuan, kita juga harus mengidentifikasi bagaimana mental yang mempengaruhi internal frame mereka sehingga terwujud suatu sikap yang membedakan antara keduanya. Naah, berbicara soal mental yang terwujud pada sikap keseharian, maka kita harus percaya bahwa tidak ada satupun bangunan mental yang berasal dari ‘gawan lahir’ (re: bawaan dari lahir). Mental maupun aspek psikologis itu dibangun setelah manusia lahir.

See? Believe it or not, ketika pertama kali lahir, mereka memiliki mental yg sama, yakni mental lemah dan takut — sebab itu mereka semua menangis saat lahir, bayi perempuan menangis begitu pula laki-laki. Toh, tidak ada juga bayi lelaki tertawa terbahak bahak sambil mengacungkan jari tengah tanda congkak kan?

Keperbedaan sikap antara mereka berdua ini, terjadi setelah mereka lahir. Siapa sih yang memviralkan perempuan harus mainan boneka, bongkar pasang pakaian barbie, dan serentetan mainan lain yang kita anggap sebagai mainan perempuan. Belum lagi aturan yang kita buat untuk anak perempuan, dilarang keluar jauh dari rumah, dilarang lari-larian, dilarang manjat tebing (yaiyalah). Sedangkan laki-laki, mereka di beri kebebasan untuk mengeksplor dirinya pada dunia — contoh sepelenya adalah, panjang2an air kencing saat pipis (oww, pengalaman pribadi yg memalukan bagi para laki-laki, kalian juga ya? Hehe), dari aktifitas tersebut, mereka mulai belajar untuk berkompetisi, bebas berkehendak, dan mengeksplor dirinya pada dunia. Haha.

Sejak kecil perlakuan orang dewasa kepada mereka tidaklah sama, dan itulah sebabnya bangunan mentalnya pun berbeda. Oleh sebab itu, sesungguhnya kita lah, orang dewasa dan lingkungan yang paling menentukan apakah manusia itu laki-laku ataukah perempuan. Apabila kita menghardik orang-orang yang tidak menyerukan kesetaraan gender, kita perlu merefleksi diri, “Jangan2, kitalah penyebab dari tidak adanya kesetaraan gender itu,” hmmm.

Pada tulisan selanjutnya, saya akan menakar bagaimana kontribusi budaya secara psikososial termasuk agama tentang kesetaraan gender, sampai pada penilaian subyektif, “perempuan yang baik itu seperti apa?”

Penulis : Riki Anggrian
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment