Sesegera mungkin tadi pagi setelah pergi ke pasar, ia membeli kayu dan paku untuk memperbaikinya. Ia bernafas lega, sebab dua kursi di teras rumahnya merupakan media baginya untuk berbagi cerita bersama gadis kecilnya.
Tak lama setelah seteguk kopi hitam membasahi tenggorokannya, ia melihat dari kejauhan. Sesosok anak kecil dengan kuncir dua dan tas merah mudanya, tertunduk lesu dan berjalan sempoyongan. Pria itu lantas berdiri kemudian menghampirinya dengan wajah yang sangat cemas. Melihat ayahnya menghampiri, gadis itu justru berlari kencang hingga ia melewati ayahnya dan lurus masuk kedalam rumah. Pria itu semakin cemas. Dihampirinya putri kecilnya itu yang kini duduk dipojok ruangan sambil memeluk lutut. Pria itu menatap dalam putrinya, kemudian duduk dan menggenggam tangan mungil anaknya.
“apa yang terjadi?” tanyanya pelan sambil mengusap halus rambutnya.
“Dini sudah capek, Ayah”, jawabnya dengan sesenggukan.
“Teman-temanmu mengganggumu lagi?”
“Ayah, bagaimana Dini tidak diganggu jika Ayah tak pernah mengantarkan bahkan menjemput Dini ke sekolah. Sejak Dini kelas 1 sampai kelas 4 sekarang. Mereka pikir Dini tidak punya siapa siapa”, tegasnya yang kini mulai menatap mata ayahnya.
“Ayah kan punya otot besar, badan Ayah juga tinggi. Mereka pasti takut sama Ayah”, lanjutnya.
Pria itu hanya terdiam memikirkan apa yang seharusnya ia katakan kepada anaknya. Hal ini sudah berkali-kali dia dengar darinya. Pelukan yang hangat adalah satu-satunya cara meredam segala kecemasan dan kegalauan yang ada pada Dini, putri satu satunya yang ia punya. Sakit dan perih ia rasakan tatkala Dini selalu berkata bahwa Nathan dan kawan kawannya selalu mengejek Dini sebab ia tak pernah diantar oleh kedua orangtuanya, sebab bekal makan siangnya selalu memiliki menu yang sama yaitu nasi goreng dan telur ceplok, sebab kuncir duanya selalu tak rapi saat diikat, sebab bajunya terkadang tidak licin sebab kurang disetrika. Sepulang sekolah hampir setiap hari Dini menangis kepada ayahnya. Namun, semua itu akan lenyap tatkala ayahnya memeluknya kemudian menyanyikan lagu yang biasa ia nyanyikan kepada Dini.
Gadis kecil berlari di awan
Memetik bintang dan mulai tertawa
Gadis kecil ialah putri impian
Cantik rupa dan juga hatinya
Oh Ayah sungguh sayang
Oh Ayah sungguh cinta
Gadis kecil kini mulai dewasa
Namun cinta itu ada selamanya…
Hari itu tak seperti biasanya, Dini sungguh bahagia luar biasa. Pagi itu Ayahnya membisikkan padanya suatu hal yang ia impikan selama ini. Hari ini Ayah akan mengantarkan Dini sampai depan sekolah, ya?, begitulah kira kira yang ia bisikkan sehingga Dini langsung bangun dan mandi dengan girangnya. Iapun membantu Ayahnya menyiapkan sarapan dan bekal makan siangnya.
“Dini, jika nanti Ayah bertemu dengan Nathan dan teman temannya Ayah akan bilang untuk tidak mengganggumu lagi”, hibur Pria itu kepada putrinya sambil merapikan seragamnya. Dinipun tersenyum kemudian menggandeng tangan Ayahnya dan berangkat ke sekolah. Sesampainya di depan sekolah Ayah Dini melihat segerombolan anak yang menghadang di depan gerbang. Ia langsung yakin kalau itu adalah Nathan dan teman temannya yang suka mengganggu Dini. Ia menatap Dini, kemudian menghampiri anak-anak itu.
“Saya Ayahnya Dini, jangan ganggu Dini lagi atau nanti kalian akan menerima akibatnya”, bentak pria itu. Nathan dan teman-temannya langsung lari ke dalam kelas. Mereka tak mengucapkan satu patah katapun, hanya sesekali menengok kebelakang dan menatap Dini dengan wajah yang penuh dengan dendam. Dinipun memeluk Ayahnya, apa yang dia harapkan telah terwujud. Tak akan ada yang berani mengganggu dirinya lagi. Iapun masuk ke dalam kelas sambil melambaikan tangan kepada Ayahnya. Pria itupun tersenyum lega, akhirnya dia mampu mewujudkan keinginan anaknya. Namun, ia menyadari bahwa di kanan kirinya wali murid lain yang juga mengantarkan putra-putrinya menatap Pria itu dengan tatapan yang sinis.
“Bukannya itu Roma, mantan narapidana yang mencelakakan istrinya sendiri?”, bisik salah satu Wanita disana.
Obrolan itu sangat terdengar ditelinganya meskipun hanya berbisik. Ia tau bahwa ini akan terjadi. Ia bergegas pulang ke rumah dan mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan.
Siang hari pun tiba, Pria itu tak sabar menanti cerianya wajah Dini di teras rumah. Ia sangat yakin kali ini Dini tidak akan menangis karna dirisak temannya. Namun, ia harus menerima kenyataan. Dini sampai di rumah dengan tatapan yang kosong dan lebam di pipinya. Dini tak menangis, namun hatinya pasti telah runtuh dan hancur berkeping keping hingga ia tak sanggup berucap apapun kepada Ayahnya. Dini pun masuk kedalam rumah sesekali ia berpegangan pada benda disekelilingnya. Ayahnya khawatir, sungguh sangat khawatir.
“Di…Dini.. apa yang terjadi? Kenapa wajahmu? Siapa yang melakukan ini padamu,Nak?” tanya Pria itu gemetar. Dini tak menjawab, ia pun tak mampu untuk menatap wajah Ayahnya. Pria itupun memeluknya, namun tak disangka Dini mendorongnya dan memilih untuk pergi kedalam kamar. Pria itu menangis seorang diri, bukannya menuju kamar putrinya Ia malah berlari keluar rumah. Berlari sangat kencang melewati sawah, melewati lapangan dan pasar, hingga sampailah ia ke sekolah Dini dengan wajah berurai air mata namun penuh dengan amarah. Dia pun berkeliling sekolah itu, membuka satu persatu ruangan dengan tangannya yang besar. Namun tak ia temui satupun orang disana. Hingga ia membuka salah satu ruang dengan kerasnya. Seluruh guru yang sedang melaksanakan rapat disana kaget bukan main mendapati seorang Pria besar yang menangis garang sudah di depan mereka.
“Apa yang kalian perbuat kepada anak saya!!! Kenapa anak saya sampai terluka seperti itu! Mengapa kalian membiarkan berandalan kecil itu menjadi penjahat yang selalu membuat anak saya menangis setiap pulang sekolah, HAH!!!!”. Suara Pria itu menggelegar membuat seluruh orang diruangan itu terdiam. Pria itu masih menangis dengan matanya yang melotot penuh amarah. Salah satu guru akhirnya membawakan segelas air putih kepadanya kemudian mencoba untuk menenangkannya. Pria itu tertunduk lesu, ia menangis tak henti-hentinya memikirkan betapa berat beban yang Dini pikul selama ini.
‘’Putri saya adalah anak yang baik, dia tidak mungkin nakal. Tapi mengapa dia harus seperti ini. Saya tau saya adalah Ayah yang bodoh, tapi saya selalu berharap Bapak Ibu gurunya menjaganya dengan baik di sekolah. Dia tak semestinya seperti ini.. Pak.. Bu.. Tolong anak saya”. Kata katanya membuat beberapa dari guru yang disana menangis. Akhirnya merekapun mencoba berbicara kepada Pria itu untuk meluruskan semuanya.
Semenjak kejadian itu, Dini tak mau lagi berbicara kepada Ayahnya. Ia berfikir bahwa Ayahnya tak mampu lagi untuk menolongnya, apapun yang dia lakukan. Dini tak lagi menangis saat pulang sekolah, namun Ayahnya tau dia sedang menahan sesuatu yang tak ingin dia ungkapkan kepada Ayahnya. Gadis kecil itu kini belajar untuk menyetrika bajunya sendiri dan memasak sendiri. Dia menyadari bahwa Ayahnya tak akan mampu untuk melakukan yang terbaik untuknya. Meskipun Pria itu selalu mencoba untuk mendekati Dini, namun Dini selalu mempunyai cara lain agar dia menghindar.
Bersambung… [Mufardisah/Ifan]