Rezza Deviansyah
CEO Bolehbaca.com dan Pustakawan di Boba Library
Globalisasi telah menjadi realitas sehari-hari. Ia menciptakan gelombang perubahan pada titik yang tak pernah terjadi sebelumnya di sepanjang sejarah manusia. Kecepatan, intensitas dan skala perubahannya begitu masif sehingga mengobrak-abrik berbagai tatanan lama untuk menciptakan tatanan-tatanan baru. Bidang-bidang yang terkena imbasnya pun bervariasi, termasuk literasi.
Dulu, lembaran kertas menjadi medium membaca. Kini, seiring kuatnya arus digitalisasi, membaca ribuan buku dapat dilakukan hanya melalui segenggam gadget. Alhasil, mulai bermunculan berbagai platform digital yang berusaha mengakomodasi aktivitas membaca, salah satunya Bolehbaca.com.
Melalui platform ini, siapa pun dapat meminjam atau membeli buku apa pun yang mereka suka (accessibility) dengan biaya yang sangat terjangkau (affordability). Harapannya, pola-pola lama seputar dunia perbukuan dapat mengalami pergeseran. Misalnya, akses terhadap buku-buku bermutu tinggi, yang sebelumnya dikuasai masyarakat perkotaan, juga dipunyai para pembaca di pelosok mana pun melalui mekanisme peminjaman.
Namun, data yang kami himpun selama enam bulan terakhir menunjukkan beberapa pola, yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap well-established, dalam kultur literasi kita.
Pertama, Bolehbaca.com sejak awal menetapkan pinjam-meminjam sebagai core business dan jual-beli sebagai supporting business. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa praktik ekonomi berbagi (sharing economy) kian menggeliat dan menunjukkan tanda-tanda akan menggeser praktik ekonomi berbasis kepemilikan aset (owning economy).
Pembaca tidak perlu repot lagi membeli dan menyimpan buku secara fisik, tetapi cukup meminjam buku milik orang lain. Pemilik buku tidak hanya memperoleh passive income dari setiap buku terpinjam, tetapi nilai kebermafaatan dan keberkahan buku tersebut juga semakin bertambah.
Namun, data kami menunjukkan bahwa aktivitas jual-beli justru paling digemari ketimbang pinjam-meminjam. Nilai transaksi peminjaman buku hanya sekitar 10 persen dari total transaksi penjualan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan ekspektasi awal kami. Tetapi ini justru membenarkan siklus umum dalam kultur literasi kita: membeli, membaca, lalu menimbun.
Kedua, data kami menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat pembelian terbesar adalah DKI Jakarta, baik secara intensitas maupun nilai transaksi. Temuan ini tentu tidak mengejutkan.
Dengan biaya hidup yang sangat tinggi, buku-buku dengan rentang harga 100.000-300.000 terbilang cukup terjangkau, khususnya bagi kalangan kelas menengah ibukota. Ditambah, iklim kompetisi di ibukota yang cukup ketat mendorong sebagian orang untuk membekali diri dengan menu bacaan berkualitas dan ‘membedakan diri’ dari khalayak umum. Sebab, kepemilikan atas buku-buku bermutu bisa menjadi simbol kelas tertentu dan, sebagai praktik budaya, menjadi parameter ‘budaya tinggi’.
Sementara itu, transaksi pembelian dari wilayah Malang, yang notabene domisili kami, tercatat hanya sebanyak dua kali. Ya, dua kali!
Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya, kurangnya intensitas dan efektifitas marketing kami. Banyaknya taman baca masyarakat (TBM) dan komunitas literasi yang memberikan akses terhadap buku bacaan secara gratis. Kebutuhan atas buku-buku impor berbahasa Inggris yang masih sangat rendah. Atau bahkan, harga buku di platform kami yang mungkin belum terjangkau bagi sebagian warga Malang.
Ketiga, Bolehbaca.com rutin mengadakan kegiatan-kegiatan seputar literasi seperti kelas menulis dan scholarship talkshow di Boba Library, perpustakaan sekaligus kantor kami. Jumlah pesertanya pun selalu memenuhi kuota, kurang lebih 25 orang, dan terkadang membeludak melebihi daya tampung perpustakaan.
Namun, data pengunjung di luar event menunjukkan, jumlah kunjungan ke Boba Library sangat rendah. Ada yang mau berkunjung saja, meskipun tidak membeli atau meminjam, kami sudah bersyukur. Apalagi, mayoritas pengunjung sekedar mencari buku-buku tertentu, setelah itu dipinjam dan dibawa pulang.
Hal ini seolah membenarkan anggapan bahwa perpustakaan adalah tempat yang membosankan. Perpustakaan, bagi sebagian orang, sekadar tempat menyimpan buku dan melakukan peminjaman. Kalaupun terpaksa di perpustakaan, biasanya untuk mengerjakan tugas atau sekadar mencari kesunyian. Karena itu, sebagian orang lebih memilih untuk membeli atau meminjam buku dan membacanya di rumah.
Data yang kami miliki jelas tidak representatif untuk menggambarkan iklim literasi nasional. Dibutuhkan kesediaan dari pihak-pihak lain, baik penerbit, toko buku, atau perpustakaan untuk membuka sedikit data (baca: dapur) yang mereka punyai. Tujuannya, kita dapat memetakan permasalahan dan tantangan iklim literasi di Indonesia, sekaligus menyiapkan solusi praktis dan strategis dalam rangka meningkatkan minat dan daya baca masyarakat Indonesia.
Namun, data ini saya rasa cukup untuk membenarkan beberapa pola lama yang masih bertahan dalam kultur literasi kita. Kalau pola lama itu baik, saya berharap kebaikannya terus bertahan selama mungkin. Kalau tidak, semoga keampuhan globalisasi dapat menggilas dan menggantinya dengan pola baru yang lebih baik. []