Waktu itu pukul 02.00 dini hari. Saya masih berada di warung kopi dengan salah seorang teman yang umurnya 5 tahun lebih tua. Tidak lain, tujuan kami menunggu kepulangan Ai, anak seorang penjaga warung tempat kami nongkrong.
Ai atau biasa kita panggil Mas Gepeng, merupakan eks aktivis gerakan mahasiswa yang kini bergelut di LSM dan seorang petani. Dari Mas Gepeng inilah sewaktu saya duduk di bangku SMK dikenalkan dengan apa yang disebut sebagai tuan tanah, kapitalisasi pendidikan, serta banyak diceritakan kekejaman penguasa di negeri ini.
Saat itu Mas Gepeng masih menjabat sebagai ketua salah satu gerakan di kota kami, hingga pada suatu hari ia pulang dan menyodorkan padaku buku lusuh yang sampulnya sudah copot dan beberapa halaman hilang, buku tersebut berjudul “Sekolah Itu Candu”. Itulah buku menarik yang pertama kali saya baca selain buku sekolah.
Ketika jam menunjukkan pukul 02.40, Mas Gepeng belum juga pulang. Kami putuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun, ketika kami di pinggir jalan, terlihat cahaya lampu motor dari arah barat. Ternyata, itu laju motor seseorang yang sedari tadi kami nantikan.
Dengan kedatangan Mas Gepeng, kami batalkan niat pulang ke rumah. Kami bertiga balik menuju warung. Cekot yang usianya 5 tahun lebih tua dari saya diminta membuat kopi oleh Mas Gepeng. Segera kami mulai pembicaraan ngalor-ngidul, tak lupa membicarakan kabar janda kampung sebelah.
Hingga pada pukul 03.20 pagi, kita mulai pembicaraan serius atau sering dikenal sebagai diskusi, tetapi kami lebih senang menyebutnya ngrempolo.
Di sinilah, posisi saya yang paling muda terlihat dengan lebih banyak diam dan mendengarkan percakapan Ai dan Cekot. Awalnya saya bercerita kisah Pak Gatot dan anaknya, kemudian panjang lebar mereka berdua membahasnya.
Cekot yang merupakan eks aktivis salah satu gerakan Cipayung Plus, kini berprofesi sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah. Kemudian, ia menjelaskan persoalan tersebut dari perspektif pendidikan.
“Bahwa apa yang hari ini tengah terjadi di desa-desa, termasuk mulai ditinggalkannya profesi petani, akar permasalahannya adalah rendahnya tingkat SDM di masyarakat. Itulah kenyataannya. Angka pendidikan di daerah kami dan lebih spesifik lagi di desa kami, terbilang masih cukup rendah. Dengan mayoritas lulusan-lulusannya hanya setingkat SMP dan sebagian SMA, untuk tingkat sarjana sendiri masih dapat dihitung dengan jari.” Jelasnya.
“SDM masyarakat tidak bisa semudah itu diukur dari tingkat berapa jauhnya ia memperoleh pendidikan. Buktinya, orang-orang jahat yang merampas tanah, menggusur pedagang kaki lima tanpa kepastian, mereka memperoleh pendidikan dengan tingkatan tinggi. Tetapi hal itu tidak lantas menunjukkan SDM yang tinggi pula, dengan tingkah lakunya tidak mengenal manusia lainnya. Inilah kritik Pramodeya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia ‘Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.’” Bantah mas Gepeng atas apa yang dikatakan Cekot.
Saya yang masih khusyuk mendengarkan sambil menikmati sebatang rokok, hanya mengangguk-angguk atas apa yang dikatakan Mas Gepeng.
Lebih jauh ia menjelaskan, “Fenomena yang terjadi seperti apa yang dialami Pak Gatot tersebut tidak bisa dilihat hanya sebatas satu perspektif saja, seperti SDM tadi. Tetapi banyak faktor di sana; modernitas, politik, relasi kuasa, serta paradigma yang hari ini digunakan pemerintah untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat, juga mempengaruhi pola kehidupan rakyat.”
“Lalu sebenarnya kita harus melihat persoalan Pak Gatot ini seperti apa?” Tanyaku pada mereka.
“Bagi sebagian orang yang sadar, kisah Pak Gatot adalah alarm pengingat bahwa yang kita konsumsi hari ini sebagian besar berasal dari jerih paya petani. Di mana mereka merawat mulai barang mentah hingga menjadi produk jadi yang siap kita nikmati, buah, sayur mayur, nasi, lombok semua bermula dari petani. Padahal di balik kerja keras itu semua, banyak petani masih menderita, banyak petani masih takut esok makan apa. Maka istilah pahlawan tanpa tanda jasa, juga pas untuk disematkan kepada para petani.” Jawab Mas Gepeng.
Ngrempolo pagi buta itu ditutup dengan pertanyaan oleh Mas Gepeng, ”Dan hari ini siapa yang bisa menjamin, jika tidak ada Pak Gatot dan Ferry lainnya di luar sana? serta coba lihat lebih jauh dari itu, seandainya seluruh petani mengambil langkah layaknya Pak Gatot dan para anak muda mengambil langkah seperti Ferry, bayangkan apa yang terjadi jika hanya tinggal satu petani di bumi ini yang kita miliki?”
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.