PUCUKMERA – Pada suatu hari, setelah pembukaan tahun ajaran baru, saya menyempatkan diri bertemu ayah, kebetulan sedang ada kunjungan di Jogja. Untuk itu saya minta bantuan teman mengantarkan, Fahmi yang bersedia mengantar ke terminal Ponorogo. Panas matahari mulai terik, saran teman-teman kampus untuk naik bis, bukan kereta.
Jarak Ponorogo-Jogja hanya 96 kilometer, namun perjalanan bis memakan waktu hampir 5 jam. Matahari terbenam sebelum sampai tujuan, transit dan memilih melanjutkan perjalanan menggunakan kereta dari stasiun Solo. Saya memesan kereta untuk melanjutkan perjalanan selama satu setengah jam dengan biaya 15 ribu. Alhamdulillah, keretanya kosong dan kebetulan baru kelompok saya yang masuk, sehingga dapat duduk dengan nyaman. Pengalaman yang menarik, menuju Jogja dari Ponorogo dengan sendiri. Dan, hanya ditemani satu tas Asus hitam yang terpasang dipunggung saya belakang. Selama satu setengah jam saya duduk di kursi panjang berhadapan bersama penumpang dan tas bawaannya. Saya turun dari pintu tengah. Saya merasa seperti delegasi yang dikirim ke universitas saat menjejakkan kaki di stasiun kereta. Ini selingan menarik dari awal perjalanan saya setengah hari baru.
Tiba di kota Yogyakarta dengan selamat, segera bergegas menemui ayah saya. Turun dari kereta dilanjutkan berjalan menyusuri jalan Malioboro menuju ke Hotel Muara. Suasana Malioboro tampak ramai dengan deretan para pedagang pakaian hingga makanan. Perjalanan masih berlanjut, sampai pada suatu lorong dimana saya dapat melihat hotel tempat menginap ayah.
Kesejukan AC terasa saat saya masuk dalam hotel. Tidak lebih dari 5 menit saya duduk diruang lobi, terlihat ayah saya dari sebelah kanan lobi hotel, saya diminta segera meletakkan barang di kamar. Kami berjalan menuju kamar di lantai tiga. Sesampai di kamar ayah bertanya, sudah sholat isya belum. Apa boleh buat, saya menyegerakan wudhu. Bersyukur saya sempat menunaikan sholat Isya sebelum habis waktu Isya di hotel itu.
Ayah berbaik hati mengajak saya jalan ke Malioboronya, kira-kira 100 meter dari kompleks hotel kami menginap. Kami menikmati suasana malam, sambil menyantap pecel lele diiringi permainan alat musik khas Jogja, angklung meiliki daya tarik tersendiri.
“Harga ini murah, gak kayak biasanya,” kata ayah. “Padahal, yang kita makan itu kan makanan biasa, nasi ayam dengan dua cangkir teh dingin dan panas. Seringkali, kata ayah saya lagi, kalau kita mau makanannya disini, terlebih dahulu bertanya apakah ada brosur atau tidak. Jika ada, maka kita tak masalah untuk jadi makan.
“Bagi saya, enak tidak suatu makanan ada di rasa kita masing-masing. Jadi, tidak ada yang perlu dibohongi. Kalau sudah banyak bukti, dimanapun orang berkata enak. Bisa di jalan, bisa juga di Universitas. Kelezatan seperti inilah yang tak perlu dibohongi. Kita selalu merasa enak, meskipun sebenarnya yang memasak adalah penjualnya sendiri,” kata saya.
Malam itu juga kami harus kembali ke hotel dengan berjalan kaki yang berangkat tepat pada pukul 21.30. Esok pagi, setelah sarapan, kami berjalan meninggalkan hotel berbintang empat menuju tempat pemberhentian becak motor, ia membawa kami ke Universitas Gadjah Mada yang terletak di Bulaksumur, Yogyakarta. Disambung dengan berjalan-jalan menikmati suasana Jogja di pagi itu. Serta mampir ke UIN Sunan Kali Jaga, seorang teman mahasiswa UIN berbaik hati mengantar saya ke gedung filsafat, dia seorang mahasiswi semester akhir, mahasiswi Aqidah Pemikiran Islam di UIN Suka. Ditemaninya keliling UIN suka, hingga adzan dhuhur berkumandang, saya pamit izin dan sholat Zuhur berjamaah di Masjid kampus.
Pada hari terakhir, setelah jamuan makan pagi, saya menyempatkan diri untuk mengambil gambar di depan hotel. Mobil Avanza hitam itu telah datang, kami akan dibawanya sebentar keliling Kawasan Jogja. Pastinya, kami diberhentikan di pusat oleh-oleh-oleh. Tetapi saya harus segera balik ke Ponorogo, saya sedikit binggung mau balik dengan kendaran yang sama seperti sebelumnya, atas saran ayah, saya pun mengiyakan untuk naik bis lagi. Meskipun perjalanan kereta lebih tak terasa lamanya. Perjalanan di bis juga lebih dari cukup telah membuat saya tertidur lelap, sampai terlewat tujuan saya. Bis berhenti di terminal di Nganjuk, seharusnya berhenti di Madiun. Akhirnya saya naik bis tujuan Madiun lagi. Teringat hadist Nabi SAW yang mengatakan bahwa seorang mukmin jangan sampai masuk lubang dua kali. Jadi, tidak ada kata untuk tidur lagi buat mata saya.
Malam itu juga saya tiba di terminal Madiun. Untuk menuju Ponorogo kendaraan yang ada saat itu ojek, tukang ojek itu menawarkan 70 ribu saja biayanya. Saya mengabaikannya, menunggu bis tujuan Ponorogo jadi pilihan. Hampir 2 jam menunggu, hari semakin gelap, saya putuskan untuk naik ojek. Dengan bayaran 50 ribu. Meskipun jarak Madiun-Ponorogo 30 kilometer, perjalanan ojek memakan waktu kurang dari 1 jam. Alhamdulillah, ternyata saya sampai juga di kampus tepat pada pukul 01.00 WIB. Dari samping lapangan saya berjalan naik ke lantai 2 di kantor UKM Luqmanul Hakim, di depan lapangan yang menghadap sawah hijau dengan latar gedung-gedung kampus, saya mulai menaruh barang bawaan berisi pakaian dan oleh-oleh Jogja itu, di sebelah lemari buku.
Sudah terlalu malam, dan tak ada lagi yang bangun semuanya sudah terlelap dalam tidurnya kecuali satpam kampus yang bergiliran menjaga. Melihat jam yang ada di tangan kanan telah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Saya langsung berbaring di tempat tidur dan tak lupa membaca doa. Tak beberapa lama berbaring, akhirnya saya pun tertidur.
Oleh : Alfi Huda
Editor : Didin Mujahidin
Illustrator : Mila Maulida Rohma