PUCUKMERA.ID – Saya masih dan selalu berkeyakinan, selain kebahagiaan, mimpi atau cita-cita adalah suatu hal yang relatif, bukan absolut. Sebagaimana kenyang, sehat, dan gembira yang merupakan kondisi normal bagi kita, menjadi suatu impian bagi mereka yang kelaparan, sakit, dan diselimuti kegelisahan. Maka merupakan tindakan gegabah bila ada yang mengkerdilkan mimpi seseorang hanya karena mimpi itu tak seberapa dibanding mimpinya.
Banyak orang menganggap dirinya subjek dan menempatkan orang lain sebagai objek hanya demi menggapai mimpi. Hal semacam ini yang kemudian memicu saya berpikiran bahwa seorang pemimpi –meski tidak semua– itu egois.
Ia hidup dengan konsekuensi yang lainnya mati. Kira-kira, orang lain dapat manfaat apa dari mimpinya yang tinggi sekaligus mahal konsekuensinya itu? Bukankah sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, dengan maupun tanpa mimpi.
Masa kanak-kanak ialah masa yang menyenangkan. Seseorang menangis karena terjatuh saat bermain. Bukan menangis sebab hati yang patah dan kerasnya persaingan yang tidak sehat. Sering kita dapati ungkapan, “Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil.” atau anggapan lain seperti beban terberat yang dipikul anak-anak ialah tas ransel yang menggantung di pundaknya. Sebagian memang demikian kenyataanya, tapi tidak bagi sebagian yang lain.
Suatu malam, di Jalan Mangkubumi, tepat di seberang The 101 Hotel Yogyakarta, seorang bocah yang semestinya sudah beristirahat di malam hari, masih keliling membagikan amplop dengan harapan, orang-orang mau mengisinya amplopnya dengan uang untuk membayar sekolahnya. Saya ingat betul, waktu itu bulan September dan orang-orang seolah berkabung atas peristiwa lampau G30S/PKI. Kejadian tragis itu memang ada, tapi sudah lama berlalu. Yang belum berlalu ialah bocah yang meminta-minta di jalan untuk bayar sekolah.
Di lain waktu, saat orang-orang menutup malam dengan makan nasi goreng notaris yang kelewat favorit, seorang bocah menghampiri kerumunan orang yang sedang makan untuk menjual kerupuk. Bocah itu bukannya tak lapar, tapi ia memang harus menukar kerupuk dengan uang untuk bisa makan.
Belum lagi kehidupan monoton Ibu-ibu buruh gendong yang setiap harinya bekerja hanya demi harapan esok hari bisa makan. Juga penjual gado-gado yang berkeinginan bisa membayar biaya SPP anaknya setiap bulan tanpa telat. Mimpi mereka ialah mimpi mulia, sebab bukan hanya untuk dirinya melainkan untuk anak-anaknya. Meski bagi orang yang berkecukupan, itu bukan sebuah mimpi melainkan kondisi hidup normal –bisa sekolah, bayar SPP tepat waktu, dan bisa makan enak setiap hari.
Ada sebuah jokes yang dalam pendekatan sosiologis merupakan cerminan kondisi kebanyakan orang saat ini. “Saat kecil cita-citanya jadi dokter, polisi, dan pilot. Ketika dewasa cita citanya mapan secara mental dan finansial.”
Beberapa hal –selagi bukan yang bersifat prinsipil– memang perlu dikompromikan, dan mimpi termasuk satu di antaranya. Meskipun setiap orang punya pilihan, antara mengganti strategi untuk meraihnya atau mengganti mimpinya ketika bersinggungan dengan realias dan berbenturan dengan keterbatasan.
Setiap orang punya hak untuk bermimpi, tapi tak jarang yang memilih untuk tidak menggunakan haknya. Bagi sebagian orang dengan keterbatasan akses, jangankan untuk mewujudkan mimpi, untuk bermimpi saja mereka perlu mengumpulkan keberanian terlebih dahulu.
Bagaimanapun, harapan adalah kepunyaan kita semua. Oleh karenanya, sekaya apapun bila tak memiliki harapan, sebenarnya ia miskin. Begitu pula sebaliknya, semiskin apapun bila punya harapan, sebenarnya ia kaya.
Saya memilih untuk terus membangun harapan. Sewaktu KKN, hal yang pertama saya sampaikan pada anak-anak di kelas bukanlah yang berkaitan dengan mata pelajaran, sebab saya yakin Bapak Ibu guru jauh lebih tuntas dalam menyampaikan soal itu. Saya memilih untuk membangun harapan setiap anak. Meminta mereka menentukan dan menyampaikan mimpinya di hadapan teman-temannya.
Sepakat dengan satu petuah yang tertulis di belakang bak truk, “Beberapa anak terlahir beruntung, dibesarkan di keluarga yang cukup materi. Sisanya lebih beruntung, diberi hati dan tulang yang kuat,” Maka berdamailah dengan nasib dan terus membangun harap. Ranah kerja kita selaku manusia ialah ikhtiar –usaha dan do’a. Sementara hasil ialah ranah kerja Tuhan.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.