Perihal Menulis: Tulisan-Tulisan Rekomendasi

Adi Fauzanto
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya


PUCUKMERA.ID – Salah satu instrumen untuk memulai menulis adalah dengan membaca. Sebelum menulis, kita bisa menggunakan metode dengan membaca 10 jenis tulisan sejenis. Kita hanya perlu mencari bahan-bahan yang sekiranya terhubung dengan apa dan bagaimana tulisan kita nanti.

Sebenarnya, ini langkah lanjutan jika kita ingin menulis sesuatu. Dalam mencari bahan-bahan dan jenis-jenis tulisan sejenis, saya merekomendasikan beberapa contoh. Yang pertama, jika kita ingin menulis sebuah esai populer.

Esai populer, memiliki banyak kelebihan, terutama karen enak dibaca dan berdampak. Bisa saja ini dijadikan dan digunakan dalam tugas kuliah selama dalam lingkup ilmiah–kalau dosennya open mind, jika tidak, bisa menggunakan esai ilmiah.

Saya biasa membaca esai populer dari laman Islam Liberal lebih khusus yang ditulis oleh Ulil Abshar–ya yang tidak setuju tidak apa-apa toh sekadar membacanya. Namun, sekarang, laman tersebut sudah tidak aktif. Bisa saja membaca yang lebih progresif–dalam arti Marxis, membaca laman Indoprogress lebih khusus kolom Oase yang diampu Geger Riyanto.

Atau jika ingin membaca dengan perspektif yang lebih luas dan juga kritis, bisa membaca Catatan Pinggir-nya Majalah Tempo dan juga tulisan di laman lainya yang ditulis oleh Goenawan Mohammad–biasa dipanggil GM.

Sekarang, beralih ke dalam esai ilmiah, atau biasa disebut tulisan ilmiah. Bisa disebut juga buku ilmiah, disebut juga sebagai buku teoritis –yang berisikan gagasan atau teori penulis. Biasanya terangkai masalah-tinjauan-bangunan gagasan. Atau bisa juga buku kuliah yang berisikan materi-materi selama perkuliahan–biasanya ditulis oleh dosen-dosen.

Atau buku ilmiah bunga rampai, yang berisikan tulisan-tulisan dengan topik tertentu dari pelbagai penulis. Atau bisa berbentuk jurnal ilmiah yang isinya paper-paper terkait topik yang diambil dalam judul besar.

Ada banyak sekali contoh, bisa saja yang ada di rak buku kamu–buku kuliah, yang kalau dicek setiap sub-bab merupakan isi materi kuliah. Atau buku teori atau gagasan –yang ini tergantung disiplin kamu– misal dalam ilmu hukum, buku dari Satjipto Rahardjo berjudul Gagasan Hukum Progresif, yang kalau saya bilang itu lebih kepada kumpulan tulisan ilmiah beliau, kemudian dirangkai oleh muridnya, dan jadilah buku tersebut.

Selain buku ilmiah bunga rampai, atau bisa Jurnal Ilmiah. Ini juga tergantu dengan disiplin keilmuan, tetapi ya saya tidak terlalu merisaukan terkait pendisiplinan tersebut merujuk kepada August Comte terhadap Positivisme Ilmu dengan kelompok-kelompoknya.

Kalau di Ilmu Sosial, yang menjadi arus utama adalah Jurnal Prisma punyanya LP3ES. Atau topik yang universal tentang perempuan misalnya, ada Jurnal Perempuan. Atau kalian mau lebih disiplin, bisa kunjungi jurnal-jurnal di setiap kampus –tetapi saya lebih memilih jurnal umum daripada jurnal yang ada di setiap kampus. Jurnal tersebut, walaupun sama-sama penulisnya dari kampus, namun ada hal yang berbeda, ntah apa menurut saya ada yang berbeda.

Atau juga bisa membaca majalah dengan topik-topik tertentu. Pada awalnya, kata ‘jurnal’ itu berawal dari majalah di ‘barat’ sana. Majalah yang dikeluarkan secara berkala oleh universitas, berisi gagasan-gagasan dari penulisnya. Kalau sekarang, umumnya majalah lebih condong kepada berita, tetapi ada juga deskripsi serta gagasannya. Ada yang bersifat informatif, kritis, ada juga yang partisan–bahasa lainnya ikut-ikutan atau pendukung tertentu.

Dengan digitalisasi, akses jurnal semakin mudah. Bahkan aksesnya bisa dijangkau di seluruh dunia. Tetapi, menurut saya itulah tantangannya. Kemudahan tersebut beririsan dengan ‘menggampangkan’ padahal jika kita lebih dalam membaca, percayalah jurnal-jurnal ilmiah tersebut berharga betul. Meskipun ada yang tidak berharga juga.

Tetapi saya agak aneh, ketika membaca tulisan ilmiah digital atau tulisan digital lainya. Ada rasa yang berbeda ketika kita membaca tulisan yang dicetak dan tulisan digital–ya mungkin ini perasaan saya saja. Kalian juga perlu membaca era di mana dunia penulisan dan gagasan dimulai –termasuk dunia percetakan, perpustakaan, media massa, hingga pada digital sekarang.

Selanjutnya, ada novel. Inilah yang kemungkinan paling enak dibaca–tetapi menurut saya tidak juga. Novel sastra, yang menceritakan suatu peristiwa, bercerita tentang kondisi, terkadang dibalut dengan kisah romantis, kisah inspiratif, kisah heroik, dan sebagainya.

Dari novel sendiri menurut saya juga mengandung keilmuan, atau keilmiahan yang memerlukan riset –baik itu kondisi lapangan, tokoh, ataupun jalan cerita. Cuman, bahasanya diganti lebih naratif, diubah menjadi sebuah cerita. Misal Bumi Manusia, di dalamnya terdapat ilmu sejarah, awal mula seorang intelektual bangsa bangkit melalui media massa yang mengkisahkan seorang Tirto, Bapak Pers Nasional.

Dalam menulis novel ini, seperti yang dikutip oleh Historia.id, seorang Pram, sapaan Pramoedya Ananta Toer, mendapatkan sumber referensi dari bahan kuliahnya sebagai dosen. Jadi, sebenarnya, novel juga berasal dari refrensi ilmiah. Hanya saya,bahasanya diganti.

Misal Laskar Pelangi, yang menggambarkan kondisi pendidikan di Belitong. Menurut saya, seorang Andrea Hirata, sang penulis, juga mengkaji permasalahan secara ilmiah di sana–karena memang berasal dari Belitong. Istilahnya dalam ilmiah, ‘dia melakukan penelitian di sana’.

Pun dalam sebuah wawancara, Andrea Hirata mengatakan, proses membuat satu novel terkhusus Laskar Pelangi, membutuhkan riset selama 3 tahun.

Itu dari 2 novel yang saya pernah baca, saya adalah tipe pembaca novel yang susah ‘move on’ karena menghayati betul kisah demi kisahnya dan saya bukan orang yang sembarang membaca sebuah novel. Beberapa kali saya menyesal, karena setelah selesai membaca, novel tersebut terkesan ‘terlalu romantis’, mungkin ini tidak apa, membangkitkan rasa percintaan saya yang kering ini.

Ada banyak novelis Indonesia keren yang namanya seliweran, seperti Habiburrahman yang menulis Ayat-Ayat Cinta. Dan nama-nama lain yang tidak saya sebutkan satu-persatu. Tetapi ada satu kutipan yang membuat saya terkesima. Dalam Novel Max Haveelar, kalau tidak salah begini, “Politik yang membelokkan, biar sastra yang meluruskan.

Intinya, menurut penafsiran saya, politik kadang belak-belok, artinya kadang politik itu rusak. Misal, mengambil contoh Max Havelar, perbudakan pada jaman penjajahan dan korupsi pada saat ini. Tetapi dari belak-belok tersebut, biar sastra dengan gaya naratif yang meluruskan. Menurut saya masuk akal saja, misal Laskar Pelangi, di mana politik pendidikan yang tidak merata di daerah pelosok, biar sebuah novel Laskar Pelangi yang meluruskan.

Kalau bicara gaya penulisan novel, jika Anda pembaca novel, pasti Anda akan mememukan karakter yang berbeda dari setiap novelis. Pasti Anda merasakan. Ada yang deskriptif, penuh angan-angan, berandai-andai dan metafora, ada juga yang naratif. Pun begitu juga dengan alurnya. “Ah ingin rasanya kembali membaca novel.” tetapi takut susah move on dan lebih-lebih jika saya salah membaca novel.

*tulisan ini telah disampaikan dalam Kelas Kepenulisan Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah Komisatiat Fuurinkazan Universitas Brawijaya


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka4Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment