Adi Fauzanto
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya

Sebuah Usaha

Kata ‘memulai’ atau ‘mulai’ diperkenalkan kepada manusia sebagai mahluk hidup yang bernapas dan berjiwa, umumnya ketika balita –itu secara tidak sadar. Secara sadar ketika ingin melakukan sesuatu, misal lomba lari, “Satu, dua, tiga, mulai!” Awal di mana semua aktivitas ingin dilakukan dan tentu melakukannya.

Kata itu, akrab hingga dewasa ini, mungkin juga berlanjut hingga nanti ketika sudah tua. Kata ‘mulai’ akrab dengan padanan suatu aktivitas, “Yuk kita mulai belajar!” misalnya. Padanan objek aktivitas atau tujuan aktivitas itu harus ada, jika tidak, aneh struktur kalimatnya.

Jika menempatkan ‘menulis’ pada padanan objek aktivitas setelah ‘mulai’, bagaimana efeknya? Bagaimana konsekuensi aktivitas yang dilakukan? Apa kelanjutannya? Dan bagaimana akhirnya? Lalu apa dampaknya?

Sederhana, tidak perlu memikirkan hal tersebut, lakukan saja, kata iklan sebuah brand. Pertanyaan lanjutannya tersebut bisa kita bahas di beberapa tempat, di beberapa forum, bahkan bisa belajar sendiri.

Karena ini adalah forum “Untuk Memulai Menulis” bukan untuk membedah kisi-kisi tulisan kolom esai, ilmiah, laporan, buku, novel, sastra, atau apapun itu. Jika itu yang kalian cari, mudah, kalian hanya butuh baca tulisan sejenis, barang 10 atau 20 kali. Jika kalian ingin menulis buku, baca saja 10 buku yang sejenis.

Itu lebih mendingan atau lebih baik, ketimbang membaca buku “Tips dan Trick Menulis, 10 langkah Jitu” atau buku semacamnya. Ah, itu basi. Ketimbang baca seperti itu, lebih baik mempelajarinya sendiri dengan cara tadi. Atau kalau memang mau mendapatkan text book bisa mencari buku sejenis atau setipe dengan buku Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor oleh Muhidin M. Dahlan. Tetapi saya lebih prefer atau merujuk kepada cara sebelumnya.

Tetapi saya rasa, perlu ada instrumen atau hal yang tidak bisa dijelaskan secara berulang-ulang. Hal tersebutlah yang menjadikan sebuah tulisan berdampak. Bahasa saya, yang sering saya pikirkan, “Seberapa dampak tulisan kita terhadap berubahnya dunia ini menjadi lebih baik?” atau bahasa sehari-seharinya, “Tulisan gue harus mengubah sesuatu.” Sesederhana itu.

Ini klise sih bahkan sedikit menjijikan, saya buat pernyataan seperti ini, “Menulislah dengan panggilan jiwa, menulislah dengan hati, menulislah dengan jujur.” Walau kadang dalam praktik kita tidak dapat mempertahankan itu, misal skripsi atau tulisan titipan. Tidak apa, itu bagian dari cara kita hidup.

Sebuah Pertanyaan

Lalu, bagaimana menumbuhkan panggilan jiwa tersebut? Panggilan hati tersebut? Walaupun kelihatannya klise, tetapi tidak apa. Jika kalian tidak mau, ya silakan gunakan cara tadi.

Bagaimana bisa seorang Soekarno menuliskan hal-hal terkait Indonesia dalam bukuDi bawah Bendera Revolusi. Bagaimana bisa seorang seperti Adam Smith menulis The Wealth of Nations yang berdampak bagi saya. Atau bagaimana Karl Marx menuliskan anti-tesis dari gagasan tersebut dengan Das Capital-nya. Atau bagaimana kata ‘anti-tesis’ digagas oleh Hegel dalam sistem pemikirannya di Science of Logic.

Saya bertanya kenapa tulisan-tulisan tersebut bisa berdampak? Apakah dia berpikir nanti tulisannya akan berdampak seperti ini? Saya pikir tidak. Sama seperti yang dikatakan atau dipikirkan oleh pahlawan di Indonesia, dia harus berpikir dan siap untuk dilupakan. Untuk seterusnya, biarlah masalah itu selesai. Seperti kisah koboy yang dikisahkan Gie, dia datang kemudian hilang ketika masalah selesai.

Masalah dan Gelisah

Kalimat di akhir tadi, diakhiri dengan kata ‘masalah’. Inilah yang perlu dipahami, sebagai awal memulai –kembali lagi ke dalam kalimat di awal tulisan. Bagaimana seorang Mohammad Hatta dalam menulis Demokrasi Kita, melihat masalah dalam sistem pemerintahan pada saat itu (demokrasi terpimpinnya Soekarno).

Tetapi pertanyaannya, apakah masalah itu? Apa yang dikategorikan sebagai masalah? Apa jangan-jangan setiap hal yang ada merupakan masalah? Misal, ketika saya mulai mengisi daya laptop ini lalu sambil menulis. Mungkin, yang menjadi masalah ketika mesin dalam laptop yang memanas.

Melihat ‘masalah’ juga mungkin akrab dengan pembelajaran kita hari ini, kata-kata seperti ‘problem based learning’. Apalagi kalau kita menempuh ilmu sosial sejak dari bangku putih abu-abu, yang ‘seharusnya’ –dalam tanda kutip, karena kebanyakan tidak- peka atau tanggap terhadap masalah di sekitar.

Tidak hanya itu, ilmu alam pun juga sepertinya sama. Di biologi, kita diajarkan bagaimana ketika tumbuhan tidak tumbuh secara ‘normal’, misalnya. Itu adalah sebuah masalah. Ditingkat lanjut, di ranah teknik misalnya, jika konstruksi bangunan terjadi kerusakan fatal yang terus berlanjut, itu akan menjadi sebuah masalah.

Itulah yang menyebabkan perubahan dalam revolusi industri terus terjadi. Masalah yang ada terus dilengkapi. Atau masalah ketimpangan ekonomi yang terus terjadi, walaupun tidak ada jalan keluarnya, karena ilmu sosial tidak semudah itu menaklukannya, percayalah.

‘Masalah’ tersebut tentunya berdampak, yang diserang pertama ialah pikiran atau yang biasa kita sebut dengan akal. Mengapa seorang Soe Hok Gie, yang gelisah seperti yang diceritakan karibnya dalam Buku Soe Hok Gie, Sekali Lagi, karena ia melihat banyak permasalahan, penderitaan, dan kekecewaan. Kegelisahan ini yang menyerang hati dan jiwa kita sebagai manusia atau sebagai mahluk hidup yang bernyawa.

Masalah dan gelisah adalah kata yang tepat untuk memulai. Tetapi di balik itu, pikiran dan hati kita yang diserang, kita juga tidak boleh kalah dalam internal tubuh kita–kondisi psikologi atau jiwa, sebagai subjek utuh, yang bisa berpikir dan merasakan. Salah satu jalannya, kalau sekarang mungkin dengan cara melakukan hal-hal yang membuat kita senang. Dan masih banyak jalan lainnya, agar tidak kalah.

Tetapi perlu kita pertanyakan apa itu yang membuat kita senang? Dan apa itu kesenangan? Tetapi intinya kita tidak boleh kalah dengan kondisi internal tubuh –baik pikiran dan hati kita. Tetapi perlu kita pertanyakan juga pada akhirnya, apa itu pikiran? Apa itu hati?

Ide

Dari ‘masalah’ tersebut, tentunya tidak akan kita biarkan. Atau ada yang bilang “bodo amat” atau biasa disebut apatis. Sejatinya, kita juga menemukan masalah kecil dalam hidup, misal ketika dia memilih untuk bodo amat atau ternyata sudah ada masalah kecil dalam lingkaran kecil hidupnya.

Sejauh akal pikiran dan hati manusia terus terisi –bahasa lainya terus bergerak– dengan masalah-masalah, apalagi ditambah dengan instrumen lainnya seperti membaca dan berdiskusi–itupun juga bisa dikatakan masalah. Tentu dia memproduksi secercah cara atau harapan untuk cara mengatasinya. Setidaknya dapat menjabarkan duduk perkara –bahasa lainya mendeskripsikannya. Atau bahkan menemukan lawan atau anti-tesisnya. Bagaimana pun bentuknya!

Sederhana, ketika laptop saya mati (sebuah masalah), men-charger adalah solusinya. Tetapi, itu terlalu sederhana, dan sudah menjadi template. Namun, yang menjadi masalah besar ketika saya sedang meniliti korupsi di Papua, berkaitan dengan hutan adat, dengan segala subjek atau pihak yang terlibat. Seperti masyarakat hukum adat, pendatang, pemerintah, investor, dan pihak lainya. Tentu lebih kompleks.

Maka kita perlu instrumen tambahan. Membaca misalnya, yang berkaitan dengan Papua dan korupsi di daerah. Atau berdiskusi dengan subjek yang terkait dengan masalahnya. Dari situ kita mendapatkan instrumen tambahan, terkait masalah tersebut, yang tentu mengantarkan kepada sebuah ide dan solusi kalau memungkinkan.

Tetapi jangan lupa, kita sebagai mahluk yang berpikir, sebagai subjek yang utuh, berhak atas pikiran atau ide kita terhadap masalah tersebut. Selama kita mampu berpikir, maka kita berhak atas penyelesaian masalah tersebut.

Wujud

Berbentuk, bisa dilihat, dan dapat dirasakan, itulah arti kata wujud menurut hemat saya. Dari ‘masalah dan gelisah’, lalu ‘ide’ tadi, selanjutnya adalah bagaimana mewujudkannya. Dan, kalau bisa, wujud tersebut berdampak atau signifikan –sesuai dengan di awal tulisan tadi.

Cara mewujudkannya begitu banyak. Tidak hanya satu. Tulisan adalah satu bentuknya, dia lebih abadi, karena diingat dan masuk ke dalam pikiran. Selain itu juga bisa berbentuk buku yang bisa dibaca maksudnya dan tujuannya. Dan bisa diturunkan baik dalam tulisan kembali, cerita, ataupun perbuatan subjek tertentu. Itulah esensi dari tulisan.

Kembali lagi tidak hanya satu. Bisa saja, jika dia merupakan seorang dari pemerintahan, dia mengeluarkan kebijakan –walaupun kebijakan juga berisi tulisan. Atau yang lebih sederhana, ketika saya mengetik di laptop ini, jauh sebelum saya, ada seseorang yang mewujudkan ide dari masalah kenapa mesin tik berat dan susah dibawa, atau proses nya yang lama. Terwujudlah laptop yang saya gunakan untuk mengetik ini. Sederhana.

Atau yang lebih besar, ketika melihat di seluruh kota melanda kemiskinan, bahkan jika didata angkanya sangat tinggi. Harus ada yang diwujudkan, idenya adalah masyarakat sejahtera. Bentuk wujudnya bisa berbentuk konsep ekonomi, melahirkan kebijakan–mungkin pasar bebas atau terpimpin, atau bahkan yang lebih praktikal, adalah dengan membuka usaha mempekerjakan yang bertujuan menyejahterakan, atau lainya. Bisa berbentuk banyak. Tetapi yang saya tahu, semula berawal dari pikiran lalu dituliskan, apa pun ntah itu berbentuk coretan atau tulisan utuh.

4 Kata

Empat kata inilah–masalah, gelisah, idea, wujud– yang perlu kita ingat, dan perlu dipegang benar-benar, jika kita ingin menulis, atau bahkan memecahkan suatu masalah kecil ataupun besar, skala kehidupan kita, kehidupan masyarakat, bahkan lingkup negara atau antar-negara, atau bahkan alam raya kita.

Tetapi perlu diingat, panggilan jiwa yang membentuk kita masuk ke dalam tulisan yang berdampak atau signifikan. Mungkin ini menjijikan, tetapi ya harus. Dari situlah kita menjadi abadi, seperti kata Pramoedya Ananta Toer. Kalaupun tidak, ya tidak apa-apa kita menulis dengan terpaksa. Tidak ada salahnya. Mungkin dari situ barulah kita terpanggil jiwanya.

*tulisan ini telah disampaikan dalam Kelas Kepenulisan Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah Komisatiat Fuurinkazan Universitas Brawijaya

Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.