PUCUKMERA – Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran pendahulunya. Tentunya melalui perjuangan dan kesadaran ketertindasan kaum perempuan yang puncaknya pada abad ke-19. Diskriminasi pada kaum perempuan yang diatur oleh adat istiadat cenderung mengekang dan mengeksploitasi kaum perempuan, baik dari segi tenaga dan juga biologisnya.
Perempuan kala itu dituntut untuk mampu mengaplikasikan diri di sektor domestik maupun ekonomi. Hal tersebut dapat kita lihat di beberapa daerah seperti kaum perempuan yang ada di jawa dan di bali, selain mereka berada di ranah domestik merekapun juga di tuntut untuk mampu membantu keluarganya di sektor produksi yakni bertani, sama halnya dengan para perempuan di kalimantan, mereka juga dituntut produktif dalam hal ekonomi, hingga perempuan di sana selain bekerja di ranah domestik juga di ranah eksternal seperti berdagang di pasar.
Kondisi sosial waktu itu, kaum peribumi mengalami kemunduran dari berbagai aspek. Khususnya segi ekonomi. Penerapan kebijakan Tanam Paksa menyebabkan kesengsaraaan bagi kaum peribumi. Banyaknya para pekerja yang mati karna kurangnya waktu istirahat, menjadi penghambat berkurangnya hasil produksi perkebunan. Nasib para perempuan dari kaum buruh pun sama buruknya, mereka yang tidak memiliki status dalam masyarakat dijadikan budak atau gundik. Tidak sedikit pula yang diperjualbelikan sebagai alat pemenuhan kebutuhan seks para tentara kolonial. Hal ini menambah mirisnya kondisi kaum pribumi, terkhusus kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan di masyarakat.
Dari pengalaman sejarah kaum perempuan kala itu, menggambarkan betapa timpangnya keadilan yang ada. Mirisnya kondisi kaum perempuan waktu itu akhirnya membangkitkan kesadaran dan mendorong para tokoh-tokoh perempuan seperti R A Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis dan beberapa tikoh perempuan lainnya. Mendobrak aturan-aturan adat dan budaya yang mengurung kaum perempuan masa itu, hingga saat ini kitabisa merasakan kebebasan dan kesetaraaan dalam hal pendidikan maupun kedudukan masyarakat. Mengikis konstruk bahwa perempuan hanyalah konco wingking.
Dari beberapa pemaparan kondisi perempuan kala itu dapat kita bandingkan betapa banyaknya kemudahan yang didapatkan oleh kaum perempuan saat ini. Aturan-aturan dan kondisi sosial yang sedikit banyak telah mengangkat kaum perempuan dari jurang ketertindasannya.
Membuat kita harusnya paham dan menjaga nilai ataupun esensi dari kesetaraaan perempuan itu sendiri. Tanpa kita mengunggulkan salah satu pihak. Karna kesetaraan yang berusaha di wujudkan oleh pendahulu kita adalah hilangnya ketimpangan dan penindasan dari kaum laki-laki dan kaum perempuan itu sendiri.
Oleh : Mifatahul Husnah
Illustrator : Mufardisah