Achmad Hariri
PUCUKMERA.ID — Perbudakan menjadi istilah yang sering digunakan pada zaman dahulu, untuk mewakili tindakan tidak manusiawi dalam suatu hubungan manusia dengan manusia. Lantas, bagaimana di zaman modern ini? Masihkah ada praktik perbudakan?
Ironisnya, sampai saat ini, perbudakan modern masih banyak kita jumpai. Terutama pada golongan tertentu yang memiliki stereotip termarginalkah, seperti pembantu rumah tangga yang seharusnya berhak atas perlindungan hukum dari negara.
Menyandangkan tindakan perbudakan modern pada praktik-praktik hubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan masih minimnya perlindungan hukum bagi mereka yang rentan terhadap tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya.
Kenyataannya, pembantu rumah tangga dianggap belum mendapat perlindungan hukum secara maksimal. Bagaimana tidak, aturan yuridis yang khusus melindungi pembantu rumah tangga (PRT) ini bisa dikatakan belum mapan. Dampaknya, profesi ini rentan sekali mengalami eksploitasi berupa tindakan kekerasan atau merugikan lainnya.
Padahal, kemapanan perlindungan hukum ini penting disegerakan legalitasnya oleh negara dengan membentuk undang-undang tentang perlindungan pembantu rumah tangga. Khususnya bagi mereka yang tinggal satu rumah dengan majikan.
Melalui legalitas ini, diharapkan potensi terjadinya perbudakan modern terhadap pembantu rumah tangga dapat dicegah atau diminimalisir. Apalagi angka kejadian ini cukup tinggi, khususnya di kota-kota besar.
Bagaimana Kata Konstitusi Kita
Pancasila sebagai ideologi negara kita sebenarnya sudah menjamin perlindungan bagi warganya. Melalui sila ke-2 dengan menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini dapat kita maknai bahwa setiap orang mempunyai derajat yang sama di hadapan hukum dan berhak diperlakukan secara manusiawi tanpa diskriminasi.
Selain itu juga jika kita membuka butir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2), kita juga akan menemukan payung perlindungan hak bagi para pekerja. Di situ ditekankan bahwa negara mengakui hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Senada dengan hal itu, Pasal 28H ayat (1) juga menggariskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, konstitusi di Indonesia sebenarnya telah meletakkan batu fondasi jaminan perlindungan HAM warga negara, tentu saja dalam konteks ini termasuk di dalamnya pembantu rumah tangga.
Lebih spesifik lagi tertuang dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun sayangnya, pasal tersebut tidak menjangkau profesi pembantu rumah tangga di dalam pengaturannya.
Kata “pekerja” di dalam pasal tersebut dimaknai secara luas sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain.” Nah, yang menjadi pertanyaan apakah majikan pekerja rumah tangga bisa digolongkan sebagai pemberi kerja? Sementara majikan bukanlah sebuah badan usaha. Dengan demikian, UU No. 13 Tahun 2003, menunjukkan bahwa perlindungan hukum pembantu rumah tangga masih sangat lemah.
Urgensi Perjanjian Kerja
Melalui percakapan secara kultural kepada beberapa pembantu rumah tangga di Kota Surabaya, saya mendapatkan fakta bahwa pengetahuan pembantu rumah tangga terkait pentingnya perjanjian kerja masih sangat minim. Perjanjian kerja ini bahkan jarang atau bahkan tidak dilakukan.
Hal ini juga dipicu karena belum adanya aturan yang mewajibkan kepada pemberi kerja pembantu rumah tangga untuk melakukan perjanjian kerja ini. Maka tidak heran jika perjanjian kerja disepelekan. Ujung-ujungnya, ketika ada persoalan hukum, maka posisi pembantu rumah tangga sangat lemah di depan hukum.
Belum adanya perjanjian kerja otomatis juga berdampak pada jam kerja yang tidak pasti. Banyak pembantu rumah tangga yang mengaku tidak mengenal jam kerja, dan bahkan ada potensi terjadinya eksploitasi.
Misalkan di saat tengah malam sang majikan membutuhkan bantuan, maka PRT harus ada dan melayani majikan. Hal ini tidak diatur, dan tidak bisa dibantah, karna memang tidak ada perjanjian kerja. Seharusnya pekerjaan di luar jam kerja itu terhitung lembur, sebab di Undang-Undang Ketenagakerjaan, jam kerja adalah maksimal 8 Jam.
Jaminan Sosial Pembantu Rumah Tangga
Hal lain yang tak kalah penting dan juga belum terlindungi adalah terkait dengan jaminan sosial bagi pembantu rumah tangga. Para pembantu rumah tangga kerap tidak mendapat perlindungan jaminan sosial maupun kesehatan.
Padahal PRT juga sebuah pekerjaan yang mulia. Akibatnya, apabila dari mereka ada yang sakit, mereka yang tidak memiliki akses BPJS akan membayar secara mandiri. Kalaupun memiliki BPJS, iurannya akan dibayar secara mandiri. Seharusnya ditanggung oleh pemberi kerja, yaitu majikannya.
Dari uraian persoalan PRT di atas seharusnya pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk memberikan kepastian dan juga mereduksi terjadinya perbudakan modern.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
Escactaps
National Institutes of Health, and involved 7, 541 women diagnosed with invasive breast cancer between 1990 and 2008 [url=https://fastpriligy.top/]priligy medication[/url]