Romiz Alam, guru di pelosok desa
Salah satu isu yang tak pernah usang untuk dibahas selain pernikahan, adalah pendidikan dan seluk beluknya. Pendidikan menjelma menjadi kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap manusia, baik hidup di lingkungan perkotaan atau pedesaan. Tak ayal banyak menjamur lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dengan iming-iming karir cemerlang dan masa depan penuh dengan uang.
Dalam teori ekonomi apapun setiap kebutuhkan manusia pasti medatangkan uang, pendidikan menjadi kebutuhan dasar dan dimanfaatkan sebagian oknum untuk dijadikan komoditas bisnis. Sebenarnya keadaan ini sama halnya dengan menjamurnya bisnis esek-esek dari kelas “ekonomi” sampai “eksekutif”, tak bisa dipungkiri seks adalah kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Jika ingin mencari kambing hitam atas situasi ini, menurut saya karena semakin mewabahnya sistem kapitalis. Sistem yang mengharuskan manusia mencari uang sebanyak-banyaknya. Apapun dilakukan demi mendapatkan uang, budaya “mangan ora mangan sing penting kumpul” sudah hilang dan orang lebih mementingkan karir daripada keluarga.
Kembali ke topik bahasan pendidikan, saya ingin mengaitkan teori dari Paulo Freire. Kemudian teologi pembebasan yang diajarkan Ahmad Dahlan dengan surat fenomel Al-maun dan kurikulum berbasis realitas sosial yang diterapkan oleh Butet Manurung di Sokola Rimba . Menurut saya ketiga tokoh ini layak menjadi insiprasi para pendidik muda ditengah stagnannya pendidikan yang digarap oleh pemerintah.
Diawali kutipan Paulo Freire “education is love” atau pendidikan adalah cinta, bisa sepakati bahwa cinta adalah keberaian. Jika dianalogikan seperti cinta para remaja, cinta diungkapkan dalam kata dan diwujudkan dalam tindakan. Sama dengan pendidikan, kita yang mengaku berpendidikan harus berani mengungkapkan apapun dan selalu menjunjung kebenaran. Menilik “Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional, bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Undang-udang adalah pembahasan ideal, namun realita yang terjadi di lapangan kerap kali melenceng dari hal tersebut.
Saya ambil kasus tentang hubungan pendidikan dan profesi yang dilakukan. Kawan pertama hanya lulus Sekolah Mengenah Pertama, tidak belajar sastra mendalam namun bisa menerbitkan satu buku antologi puisi. Kawan kedua tamatan Sastra Indonesia, jangankan membuat buku, menulis satu puisi saja jarang. Sekarang sudah mapan dengan bisinis warung kopinya. Sebenarnya kita menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan pendidikan di Indonesia. Saya sempat berfikir, buat apa si sekolah? Kalau ujung-ujungnya hanya menghamba pada uang. Bukan underestimate, seperti yang diungkapkan Freire bahwa manusia terdiri dari beberapa kesadaran.
Pertama kesadaran transitif dalam kesadaran ini manusia hanya mementingkan kebutuhan fisik atau kebutuhan yang bersifat materi. Yang penting bisa sudah digaji banyak, yang penting sudah jadi PNS, yang penting sudah bisa makan enak dll, tanpa ingin mengerti realita yang ada di masyarakat. Menurut Freire dalam tahap ini sebenarnya manusia belum sadar sepenuhnya atau pra kesadaran. Naik ke kesadaran magis, tahap kesadaran magis hanya menerima yang sudah digariskan oleh Tuhan tanpa ada daya dan upaya ingin mengubah. Seperti dalam ungkapan jawa “trimo ing pandum”. Kemudian kesadaran naif, paham permasalahan yang ada di lingkungan namun tidak mau menyelesaikan bahkan lari dari permasalahan. Baru tahap kesadaran kritis, ini yang diharapkan oleh Paulo Freire bahwa orang berpendidikan harus kritis terhadap permasalahan dan tahu cara penyelesaian.
Menurut saya kesadaran kritis tidak dibangun oleh pendidikan Indonesia. Walaupun berulang kali berganti kurikulum, permasalahannya sama. Sekolah hanya mengedapankan aspek akademik yang menurut Freire pendidikan yang demikian disebut “Banking Education” atau sekolah yang menganggap anak sebagai celengan, anak dipaksa menerima ilmu yang mungkin tidak penting untuk kehidupannya. Imabasnya bukan budaya kritis yang terbangun, namun budaya bisu atau tunduk dengan apapun yang dikatan oleh gurunya.
Setelah anak tamat sekolah, dalam benaknya hanya ingin jadi PNS, tak heran saat ada lowongan CPNS pendaftar mencapai ribuan. Paradigma yang dibangun terkesan membelenggu, membentuk pola pikir sebagai pegawai yang kemudian dapat diatur kehendak penguasa. Dalam hal ini saya bukan bermaksud mengesampingkan aspek sikap atau budi pekerti terhadap guru, dalam proses pendidikan harus ada dialog antar siswa dan guru untuk saling berintropeksi.
Saya tertarik dengan model pendidikan yang dilakukan Ahmad Dahlan dan Butet Manurung, yaitu pendidikan yang humanis dan sesuai dengan realitas sosial. Ketika Muhammad Darwis atau Dahlan muda hidup ditengah-tengah masyarakat yang mengalami kejumudan atau terkooptasi TBC (takhayul, bid’ah, kurofat) beliau mempunyai inisiatif melakukan modifikasi ajaran agama Islam dengan memulai mengajarkan Al-Ma’un. Menariknya ajaran disampaikan berulang kali sampai muridanya paham dan melakukan. Mengapa Al-Maun? menurut beliau, surat ini akrab dengan keseharian masyarakat pada zaman tersebut. Kandungan ayat ini sangat dalam, tak hanya ancaman bagi orang yang mendustakan agama melainkan keharusan untuk membagi barang yang berguna secara berkelanjutan. Ahmad Dahlan mengajarkan kepada muridnya bahwa ilmu bukan hanya sebatas yang dihafalkan namun berimbas bagi kehidupan sekitar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Butet Manurung melakukan hal yang hampir sama terhadap anak-anak rimba yang hidup di Bukit Dua belas di pedalaman Jambi. Butet memberikan pemahaman terhadap anak-anak yang sangat sangat anti terhadap pendidikan. Bukan pendidikan seperti yang kita tahu selama ini, namun pendidikan yang sesuai dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Seperti diajarkan meramu makanan dari alam, membaca iklim dll.
Demikanlah, kita perlu pendidikan yang lebih humanis, lebih menyentuh permasalahan hidup dan bisa mendorong anak untuk mengoptimalkan potensi. Ibartakan seseorang memelihara burung, monyet, dan ikan. Jika hewan-hewan tersebut dilatih memanjat pohon, tentu hanya monyet yang bisa. Jika hewan-hewan tersebut dilatih untuk berenang tentu yang bisa hanya ikan. Sama halnya dengan anak atau peserta didik, punya potensi masing-masing yang tidak bisa diseragamkan.