PUCUKMERA – Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu dimulai sejak tahun 1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014 (KPU). Serta yang akan kita laksanakan di tahun ini, dalam kalender china tahun 2018 adalah tahun anjing bumi. Telah cukup jauh Indonesia merdeka, hampir tepat berusia 73 tahun pada 17 Agustus mendatang.
Perjuangan menuju kemerdekan didapatkan dengan cara yang tidak mudah, penuh lara, luka dan tak sedikit air mata bercucuran hingga mata mengering. Tak cukup rasanya dalam 73 tahun ini Indonesia sembuh total dari luka-luka kolonialisme.
Secara finansial bangsa tampak berubah begitu baik, tapi lebih jauh dan dalam adalah sosiologi masyarakat yang masih mengidap dampak dari kolonialisme atau sering disebut sebagai neo-kolonialisme. Negara-negara bekas penjajahan mengalami hal demikian, namun nasib berbeda dialami Negara bekas jajahan Inggris yang telah menjadi negara adidaya Amerika”. Pegaruh Amerika adalah sebuah hegemoni yang perlu dinegosiasi.
Negara-negara kolonial yang dulu melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap koloni mereka, berusaha untuk terus melakukan penjajahan tersebut. Akan tetapi, karena pendudukan kolonial sudah bukan pada zamanya, mereka menggunakan strategi dan praktik kolonialisme dalam bentuk baru yang lebih canggih dan modern.
Saat ini kolonialisme-imperialisme melakukan eksploitasi melalui sistem peraturan dan hubungan ekonomi politik di tingkat dunia. Mulai dari deregulasi ekonomi yang dipaksakan ke berbagai negara dunia, terutama negara dunia ketiga, hingga penjajahan dalam bentuk pengetahuan. Imprealisme pasca kemerdekaan berbentuk sistem dominasi kekuasaan dalam ekonomi dan politik.
Imprialisme dunia pertama melakukan berbagai upaya, baik melalui kebijakan politik, ekonomi, maupun sosial-budaya untuk kembali melakukan penjajahan. Istilah kolonialisme atau neo kolonialisme sebenarnya hanya berbeda pada modus yang digunakan. Karena tujuan dan watak dari kedua istilah tersebut tetap sama, yakni penindasan, penghisapan dan dominatif hegemonis (Rohman : 2009).
Masyarakat Indonesia mengalami dampak psikologis yang sangat besar dari kolonialisme, tampak pada masyarakat islam indonesia. Berbicara dalam hal ekonomi, di mana masyarakat di jauhkan dari rutinitas perdagangan dan selalu disibukkan dengan proses produksi. Justru pola berfikir dan kegemaran untuk menjadi buruh yang sangat digemari masyarkat Indonesia. Sehingga bangsa indonesia yang kaya akan berbagai sumberdaya alam kebingungan untuk mengolah sumberdaya alam yang sangat melimpah.
Justru perusahaan-perusahaan asing lah yang berhasil berdiri gagah di ibu pertiwi ini. Di sisi lain, mindset yang dibentuk adalah tingkat kepercayaan diri yang rendah. Masyarakat pribumi selalu menganggap dirinya lemah dan kurang jika dibandingkan penduduk asing yang telah menjajah sekian lamanya.
Dampak yang juga dirasakan dari masa kolonial adalah kegilaan terhadap suatu jabatan, orang akan sangat dipandang jika ia mengenakan pakaian yang rapi, mempunyai jabatan yang tinggi, bekerja dalam pemerintahan negara dan sebagai seorang bangsawan. Hal seperti ini yang membuat para khalayak masyarakat saling berebut jabatan dalam pemerintahan yang notabenenya adalah amanah umat yang tidak boleh disepelekan.
Akibatnya budaya saling sikut-menyikut terjadi dalam pertempuran-pertempuran perebutan jabatan. Tak lagi mengenal siapa kawan dan siapa lawan. Tak lagi murni perjuangan dan pengabdian pada bangsa, meski tak semuanya demikian adanya.
Lotion pemutih kulit dan operasi plastik laris manis di Indonesia gara-gara standar kecantikan hanya didasarkan atas kulit berwarna lebih putih dan hidung lebih mancung. Dua kriteria kecantikan yang distandarkan pada “tubuh orang Barat”. Kita mengejar “menjadi Barat” untuk bisa dikategorikan cantik (juga tampan). Seringkali rambut dicat dengan warna pirang lalu menjadi “londo namun kepalanya doang”.
Kontes-kontes ratu kecantikan merupakan salah satu bentuk pelegitimasian atas kecantikan “Barat”. Dari cita rasa makanan, tampaknya kita sering mengejar “western teste”.
Tidak sedikit orang Indonesia yang mau “memperbaiki keturunan” dengan menikahi orang-orang Bule seperti yang dilakukan para selebritas kita. Pengajaran-pengajaran bahasa asing di Indonesia, jika tidak disadari kita bisa terperangkap sebagai bentuk kepanjangan tangan sang kolonial (Nurhadi : 2007).
Teori poskoloial muncul sebagai bentuk kritik terhadap penjajahan beserta dampak-dampak ikutannya. Poskolonialisme merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas neo-kolonialisme serta hubungan hegemonis kekuasaan dalam bermacam-macam konteks (Rohman : 2009).
Pesta demokrasi yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun lamanya ini sejak kemerdekaan, rasanya seperti pergantian penguasa saat zaman kolonial. Penguasaan Indonesia oleh Belanda kemudian beralih ke Inggris, kembali lagi pada Belanda kemudian jepang.
Dalam pemerintahan Indonesia diwarnai dengan berbagai pergantian rezim penguasa yang tak jarang kondisi kepemimpinan mengarah pada penguasaan pribumi untuk memperkaya lingkungan pribadi. Ada sedikit kesamaan antara zaman kolonial dan pasca kemerdekaan ini, lagi-lagi masyarakat pribumi dianggap seperti debu.
Pada setiap daerah di Indonesia mempunyai otoritas masing-masing dan seorang pemimpin, terdapat kesamaan seolah hiduplah seorang raja-raja kecil di setiap daerah yang gagah akan kekuasaannya. Tak mau tergantikan perannya sebagai raja, jika meninggal sanak saudaranya yang harus menggantikannya melaui jalan apapun.
Jabatan menjadi keagungan manusia, kekuasaan menjadi alat pemuas diri, kekayaan menjadikan tindakan sewenang-wenang. Belum cukupkah bukti bahwa bangsa yang kita cintai ini masih sakit karena terjajah, bahkan pemimpin bangsa kita juga mengalami hal yang sama, bahkan sebagian telah menjadi penjajah dalam negaranya sendiri.
Sirkus dipertontonkan ulang dalam pemilu tahun ini, kebosanan dan rasa geram mulai tampak. Kali ini drama ditampakkan, seolah dalam suatu peperangan antar kubu. Menampilkan kedangkalan intelektual dengan membabi buta lawan. Menawarkan sebuah gagasan kemajuan bagai membangun sebuah jembatan yang tak ada sungainya.
Rakyat kembali dibuat bingung, kebingungan mempertahankan kehidupan, mencari rasa aman terjadi saat zaman penjajahan. Tampaknya kali ini juga tak jauh berbeda, kebingungan mempertahankan kehidupan dan mengharapkan kesejahterahan bangsa tak kunjung usai hingga kemerdekaan hampir berusia 73 tahun.
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit melawan bangsamu sendiri (Ir Soekarno). Sepertinya kata itu sangat tepat dengan kondisi bangsa saat ini. Sangat sulit mengidentifikasi lawan bangsa, bagai mencari jarum dalam jerami. Pekerjaan yang sangat sukar, keceroblohan akan menjadikan luka pada diri.
Begitu pula dalam pemilu kali ini, setiap pasangan calon mengumbar kebaikan. Semburan parfum nan wangi membasahi setiap langkahnya hingga sulit membedakan mana pande besi dan mana penjual parfum. Dibongkarnya borok kedua sisi, menjijikkan sekali. Manakah luka yang sudah lama dan luka baru yang telah dibuat hampir tak dapat dibedakan.
Tak jarang beberapa masyarakat kebingungan, jalan netral dipilihnya. Detik news 10 Mei 2014, jumlah golput pemilu tahun 2014 meningkat disbanding tahun 1999, dari angka 29,01% pada tahun 1999 menjadi 24,89 pada tahun 2014. Melihat berbagai upaya yang telah dilakukan KPU akankan jumlah golput meningkat atau justru akan turun karena masyarakat muak terhadap badut-badut sirkus.
Suatu kondisi yang sangat sulit, masyarakat kembali dibayangi oleh sebuah momok besar dari efek domino pemilu. Pemimpin yang diharapkan tidak dapat hadir di tengah mereka sebagai pengayom menuju kesejahteraan. Kehausan akan kuasa dan harta menyayat hati masyarakat, tak dirasakannya suatu perubahan melainkan dalam lingkup pemimpin belaka.
Saat ini kita kembali dihadapkan kondisi yang demikian, tak jarang yang saudara-saudara sebangsa kita telah tampak urat keputus asaannya, menjadi acuh !
Pertunjukan sirkus dengan pemain yang sama tak akan menarik lagi dilakukan dalam waktu yang berulang. Siapakah yang pantas menjadi obatnya. Pertunjukan wayang ataukah sebuah drama musikal !
Selamat menjadi warga bangsa yang cerdas. [Didin/Mufardisah]
