Pelajaran dari Adik: Anak Kecil Lebih Kreatif dari Orang Dewasa

Wilda K Sari
Pucukmera.id


Untuk mengisi kegabutan#dirumahaja selama pandemi Covid-19, banyak hal sudah saya lakukan. Membaca, panggilan video dengan teman, bikin mie instan, dan hal-hal produktif lainnya. Termasuk, salah satu kegiatan favorit saya, yaitu mewarnai.

Aktivitas mewarnai sering saya lakukan sembari bermain dengan adik yang berusia tujuh tahun, namanya Fahmi, saya memanggilnya Ami. Kami sering membanding-bandingkan hasil mewarnai. Btw, usia saya cukup jauh di atasnya, 23 tahun.

Suatu hari, saya mengunggah foto hasil karya mewarnai kami di cerita Instagram karena iseng, sekaligus membuka jajak pendapat karya siapa yang paling disukai. Hasilnya, Ami mendapatkan 43 pemilih dan saya 27 pemilih. Ami menang telak, dengan mekanisme pemilihan yang baik tanpa mengetahui pemilik gambar, mana karya saya dan mana punya Ami.

Tentu, kami sama-sama senang, walaupun dengan polosnya adik saya bertanya, “kenapa aku yang menang ya?”. Ketika saya coba survei, seorang teman bilang, dia memilih gambar yang kanan (punya adik saya) karena lebih natural dan cukup unik, sementara yang kiri (punya saya) terlalu rapi, bosan melihatnya. Duh.

Dari dua hasil mewarnai tersebut, karya saya terkesan membosankan dengan pemilihan warna yang sesuai dengan aslinya, dan teknik pewarnaan yang standar. Lain halnya dengan karya adik saya bisa dibilang cukup acak-acakan, mencampuradukkan berbagai warna, menambah imajinasi sana sini sehingga cukup menarik perhatian parapengikut Instagram, yang tidak banyak-banyak amat.

Saya berasumsi, mungkin karena kreasi masa kecil yang tak terbatas? Dulu, sewaktu kecil, kita memiliki rasa ingin tahu yang besar, segala macam hal ditanyakan, bahkan ada pertanyaan yang terus menerus kita ajukan. Kita suka mencoba berbagai hal, salah pun tak apa, kita tak peduli. Begitu pula dalam hal kreativitas, seperti adik saya yang tidak terlalu peduli pada aturan standar. Baginya, dunianya adalah permainan.

Namun, saat dewasa setelah memiliki rutinitas cukup padat setiap harinya. Setelah diberitahu tak boleh ini dan itu, bisa jadi kita lupa akan imajinasi bebas waktu kecil.

Di sebuah potongan dialog film Yes Man (2008), Allison (Zooey Dechanel) suatu waktu berbicara tentang kekhawatiran manusia, ia berkata pada Allen (Jim Carrey), “The world is a playground. You know that when you are kid, but somewhere along the way, everyone forgets it.Dunia itu taman bermain. Kamu tahu itu ketika kamu masih kecil, tetapi entah dimana seiring berjalannya waktu, semua orang melupakannya.

Kutipan tersebut hendaknya mengingatkan bahwa hidup bukan melulu soal rutinitas, aturan-aturan, benar salah, hitam putih. Kehidupan adalah arena bermain, ruang untuk menghidupkan jatidiri yang natural, sehingga membebaskan diri untuk menghidupkan imajinasi, kreasi, inovasi yang otentik.

Sayangnya, di era digital dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, persaingan global memacu industri ke arah yang lebih pragmatis. Kita dituntut untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi namun praktis dan bisa menekan biaya produksi.

Sebut saja aplikasi transportasi, aplikasi pendidikan yang memanfaatkan teknologi digital saat ini mulai mendistrupsi industri-industri konvensional. Akibatnya, kita sebagai konsumen lebih suka serba instan. Apa yang mudah, cepat, kongkrit, itu yang dipilih. Imajinasi makin jarang terpakai.

Kata Pablo Picasso, “Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once he grows up.” Setiap anak itu seniman. Masalahnya adalah bagaimana untuk tetap bertahan menjadi seniman seiring bertambahnya usia.

Ternyata memang tidak mudah untuk tetap natural dan berjiwa imajinatif seperti halnya anak-anak. Namun, dengan meningkatnya kemampuan kognitif, kita dapat lebih fokus untuk meningkatkan kecerdasan, yang menurut Howard Gardner, penggagas Multiple Intelligences, merupakan seperangkat kemampuan yang memungkinkan individu untuk memecahkan masalah (problem solving)dan menciptakan pengetahuan baru (creativity).

Sepertinya harus kita akui, walau orang dewasa memiliki lebih banyak pengalaman, lebih banyak kemampuan teknis, tidak serta merta membuat mereka lebih kreatif. Orang dewasa perlu lebih banyak belajar dari imajinasi-kreatif anak-anak, sembari seiring waktu meningkatkan kecerdasan.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Cel mai bun cod de recomandare Binance
    Posted May 10, 2025 at 1:38 pm 0Likes

    I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.

Leave a comment