M. Rizqi Surya W
Alumni Program Studi Kesejahteraan Sosial, FISIP UMM
Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maupun Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan fenomena sosial ekonomi yang populer di Indonesia.
Jumlah PMI menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BNP2TKI) sepanjang 2014 sampai Maret 2019 mencapai 1,55 juta jiwa yang tersebar di antaranya: Malaysia (55%), Arab Saudi (13%), China dan Taiwan (10%), Hongkong (16%), Singapura (5%) dan negara lainnya. Di samping itu, World Bank menyebutkan bahwa jumlah uang remitansi dari PMI mencapai Rp. 118 triliun atau setara dengan 1% total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Maka wajar saja jika pekerja migran disebut sebagai “Pahlawan Devisa Negara”.
Migrasi warga Indonesia untuk bekerja ke luar negeri sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Kolonialisasi dan imperialisme mendorong pemerintahan Hindia Belanda saat itu mengirimkan buruh kontrak dari Indonesia ke Suriname, Amerika Selatan sejak tahun 1890.
Buruh dari Indonesia disiapkan sebagai pengganti buruh dari Afrika yang telah dibebaskan dari perbudakan pada 1 Juli 1863 sebagai wujud politik penghapusan perbudakan. Bahkan hingga hari ini, jejak kultural masyarakat Indonesia sudah berakulturasi dengan budaya Suriname bahkan hingga mencapai gerakan politik identitas di sana.
Memilih bekerja ke luar negeri tentunya didorong oleh beberapa alasan. Faktor ekonomi menjadi faktor dominan di tengah kondisi perekonomian makro dalam negeri yang fluktuatif.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan per Februari 2020, pengangguran bertambah menjadi 60.000 jiwa. Meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan 4,99 %. Maka dari itu, pendapatan yang tinggi dan impian hidup sejahtera menjadi motivasi dalam menghadapi gelombang pengangguran yang terjadi.
Di samping alasan ekonomi, faktor lainnya juga mendorong terjadinya proses migrasi seperti faktor sosial, politik dan geografis. Lingkungan mempengaruhi konstruksi berpikir individu.
Rizqika Tri Utami (2011) dalam risetnya yang berjudul “Pengambilan Keputusan Bermigrasi Pekerja Migran Perempuan:Kasus di Desa Jangkaran, Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo” menemukan beberapa alasan mengapa orang memilih bekerja di luar negeri antara lain: a)kebutuhan ekonomi, b) tidak terdapat lapangan kerja, c) ingin menambah pengalaman, d) ada kerabat di negara tujuan, e) negara tujuan dekat dengan daerah asal dan f) syarat pendidikan tidak diutamakan.
Temuan ini apabila diklasifikasian mencakup faktor sosial dan geografis. Sedangkan faktor politik seperti yang terjadi pada masyarakat Indonesia ketika dikirim ke Suriname seperti penjelasan sebelumnya.
Penyebaran PMI di Indonesia tersebar di berbagai daerah dengan beberapa daerah kantong tertinggi diantaranya: Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, Trenggalek, Blitar, Malang, Lombok Timur, Sumba Barat Daya, Sumba Timur dan daerah lainnya. Banyaknya jumlah tenaga kerja yang dikirim tentunya menyimpan persoalan yang kompleks, mulai dari pelanggaran kontrak kerja, kasus penganiayaan, kesalahan dokumen hingga human trafficking tidak terhindarkan.
Sementara itu, keluarga pekerja migran yang ditinggalkan juga berpotensi mengalami kerentanan, termasuk pemenuhan hak anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Realita ini patut diprioritaskan mengingat institusi sosial keluarga berperan penting dalam menjamin tumbuh kembang anak.
Menyoal Nasib Keluarga Pekerja Migran
Dunia Terbalik, sinetron bergenre drama komedi karya sutradara Jonggi Sihombing yang ditayangkan RCTI ini mengangkat kisah tentang para suami yang ditinggalkan istrinya bekerja di luar negeri. Sinetron ini dapat menjadi referensi bagi kita yang ingin melihat realita kehidupan keluarga pekerja migran di televisi.
Dinamika keluarga yang terjadi seperti anak yang merindukan kehadiran seorang ibu, suami yang rentan tergoda oleh wanita lain hingga isu perceraian menjadi skenario yang tidak dapat dihindarkan. Sebuah karya pemantik yang patut dikaji secara kritis dalam memotret realitas.
Potret sosial yang nyata terjadi di Kabupaten Malang. 27 November 2018, Malang Times menyebutkan bahwa Kabupaten Malang menempati peringkat ke-3 kasus perceraian tertinggi di Indonesia setelah Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Indramayu.
Tercatat per 2017, Pengadilan Agama Kabupaten Malang menerima 6752 perkara: 2107 pengajuan talak dan 4645 pengajuan cerai gugat. Faktor utama yang tercatat, perceraian yang terjadi di tenggarai oleh alasan ekonomi dan keretakan hubungan rumah tangga. Menariknya, kasus tersebut didominasi oleh kaum hawa yang berprofesi sebagai PMI.
Kerentanan menjadi realitas yang tidak terbantahkan ketika seseorang memutuskan untuk bekerja ke luar negeri. Peranan dari kantor perwakilan Indonesia di luar negeri serta jejaring pekerja migran sangatlah strategis dalam memantau kondisi para pekerja yang mencari nafkah di negeri orang. Keterbukaan informasi, pengorganisiran pekerja migran dan pendidikan ketenagakerjaan menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi supaya wawasan para pekerja yang disana mampu meminimalisir kondisi yang tidak diharapkan terjadi.
Selain pekerja migran, terdapat masalah juga yang dialami oleh anak pekerja migran. Lembaga Pengkajian Masyarakat dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur (2019) merilis delapan masalah yang dialami oleh anak pekerja migran, antara lain: 1) Tanpa pengakuan keluarga dan negara, 2) Stigma biang masalah, 3) Stigma “anak oleh-oleh”, 4) Multi stigma bagi anak perempuan, 5) Pengasuhan ala kadarnya, 6) Pengasuhan yang permisif, 7) Rentan eksploitasi dan kekerasan dan 8) hilangnya kesempatan belajar dan bermain.
Analisa ini didapatkan dari hasil temuan lapang di beberapa daerah di Indonesia. Permasalahan multi-kompleks dimulai dari persoalan suami-istri, anak, keluarga hingga masyarakat. Variabel ini menguatkan kita bahwa ketahanan keluarga pekerja migran rentan sekali mengalami masalah sosial yang membutuhkan upaya penyelesaian.
Hadirnya UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran memuat misi perlindungan sosial bagi pekerja migran maupun keluarga. Perlindungan tidak hanya sebatas bantuan hukum semata, akan tetapi menjamin keberfungsian sosial dalam keluarga pekerja migran berjalan dengan optimal.
Kompleksnya masalah yang dialami tidak hanya dipandang sebagai persoalan parsial, melainkan secara komprehensif yang melibatkan elemen-elemen dalam masyarakat. Ketahanan keluarga dan pemenuhan hak anak menjadi skala prioritas dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Pekerja Sosial: Sebuah Seni Profesi Pertolongan
Bicara tentang krisis dalam keluarga, kita tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tokoh bernama Marry Ellen Richmond. Richmond merupakan perempuan perintis pekerja sosial professional dan tokoh perempuan dalam sejarah Amerika Serikat. Pekerja Sosial sering disalah artikan sebagai gerakan kedermawanan sosial atau kerelawanan yang bisa dilakukan oleh siapapun.
Padahal, definisi dari pekerja sosial yang disadur dari kata social worker menurut National Association of Social Workers (NASW-USA) ialah pertolongan professional kepada seseorang, kelompok dan masyarakat untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan melaksanakan fungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut.
Richmond menyumbang berbagai pemikiran dalam praktik pekerjaan sosial diantaranya gagasan Person in Environment (PIE). PIE adalah konsep yang memiliki filosofi bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya sebagau suatu ekologi sistemik.
Dasar pemikirannya berangkat dari teori sistem dan teori ekologi yang menjelaskan bahwa kehidupan manusia akan dinamis dengan berbagai asperk seperti psikologis, sosial, ekonomi, politik hingga kebudayaan. Pendekatan inilah yang akan menjadi tool of analyze dalam membangun ketahanan keluarga yang baik dalam lingkungan pekerja migran.
Dalam praktiknya, pekerja sosial tentunya memiliki metode yang berfokus pada tiga level yaitu: mikro (individu), mezzo (kelompok) dan makro (masyarakat). Kompleksitas persoalan yang dialami keluarga pekerja migran tidak dapat diselesaikan secara parsial, akan tetapi saling terintegrasi. Adapun metode pekerjaan sosial yang dilakukan pada setiap levelnya mencakup: social case work, social group work dan community organize/community development. Melalui tiga metode inilah persoalan keluarga pekerja migran dapat dipecahkan dengan peranan dari pekerja sosial.
Pertama, level mikro. Individu yang dimaksud adalah melakukan personalisasi masalah yang dialami meliputi kondisi biologis, psikis, sosial dan spiritual. Hal ini bisa ditujukan kepada anak, istri maupun suami dari keluarga pekerja migran tersebut. Hak dan kewajiban menjadi mekanisme yang harus dijalankan agar kebutuhan dasarnya sebagai manusia dapat dipenuhi seperti hak pendidikan, hak partisipasi, hak sipil dan hak lainnya yang berbasis pada Hak Asasi Manusia (HAM).
Maka pekerja sosial akan melakukan pendampingan dalam rangka melakukan transformasi perubahan perilaku individu sesuai dengan nilai yang hidup didalam masyarakat seperti melakukan konseling contohnya.
Kedua, level mezzo. Keluarga pekerja migran merupakan bagian yang integral dalam lingkungan masyarakat. Tentunya kehidupan yang inklusi harus diciptakan dalam upaya membangun dukungan sosial yang harmonis. Stigmatisasi yang terjadi tidak akan pernah hilang apabila tidak adanya penyadaran secara kolektif terhadap keluarga dan tetangga.
Maka, intervensi level kelompok berorientasi pada persoalan konstruksi sosial yang diintervensi melalui spirit edukasi dan partisipasi. Pekerja sosial pada level ini melakukan proses assessment terhadap kondisi lingkungan sosial sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan melakukan perencanaan intervensi.
Hal ini bisa dilakukan dengan pola kepengasuhan bersama, pendidikan berbasis masyarakat, pengembangan kapasitas orang tua asuh hingga pemberdayaan berbasis komunitas yang sama-sama memiliki spirit progresif mewujudkan social order.
Ketiga, level makro. Level ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada level individu dan kelompok. Mencakup penciptaan ekosistem sosial yang berlaku secara keseluruhan. Produk kebijakan publik seperti perundang-undangan harus memperhatikan kelompok rentan secara sosial ekonomi seperti keluarga pekerja migran.
Proses advokasi menjadi hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial dan profesi lainnya berbasis partisipasi dalam rangka menciptakan kebijakan yang aspiratif. Persoalan grass root yang terjadi harus menjadi dasar basis pertimbangan dalam menciptakan ketahanan keluarga bagi keluarga pekerja migran di seluruh Indonesia.
Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran ke berbagai negara memiliki pekerjaan yang tidak mudah. Kerentanan yang dialami oleh para pekerja migran serta keluarga yang ditinggalkan harus sama-sama menjadi skala prioritas dalam pembangunan sosial.
Selain itu, fenomena pekerja migran menjadi oto-kritik terhadap ekosistem ekonomi yang belum optimal dalam menciptakan lapangan kerja dan pengelolaan sumberdaya yang ada. Sehingga perlu adanya sinergitas antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bangsa: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id